Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Stunting dan Perekonomian
16 Januari 2024 11:59 WIB
Tulisan dari Fanny Yolan Tamba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dari yang Kecil, Menjadi Masalah Besar bagi Ekonomi Indonesia
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka stunting di Indonesia mencapai angka 21,6% pada tahun 2022. Angka ini telah turun dari yang semula 24,4% pada 2021. Meski begitu, angka ini masih jauh dari target yang telah ditetapkan pemerintah pada RPJMN 2020-2024, yakni pada tingkat 14%. Adapun stunting ialah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis. Isu ini telah menjadi topik serius bagi pemerintah. Meski hanya menjangkit anak-anak kecil, siapa sangka isu stunting dapat menjadi bom bagi ekonomi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia telah berada pada status darurat stunting. Selain pertumbuhan yang terhambat, stunting juga menjadi masalah berkepanjangan bagi kesehatan dan sosial sang anak. Dampak yang ditimbulkan dari stunting pada anak diantaranya ialah peningkatan potensi sakit dan kematian, perkembangan yang terhambat dan tidak optimal, dan dalam jangka panjang tentunya menyebabkan produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal saat dewasa. Dalam lingkup yang lebih luas, hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran bagi kondisi perekonomian Indonesia di masa depan. Meskipun Indonesia akan menghadapi era bonus demografi, kesempatan ini mungkin tidak dapat dibarengi dengan lonjakan produktivitas perekonomian di Indonesia. Orang-orang yang berada pada usia produktif justru tidak dapat berkontribusi bagi perekonomian Indonesia.
Stunting sangat merugikan perekonomian. Potensi kerugian yang ditimbulkan dalam satu tahun bahkan dapat mencapai Rp300 Triliun (membebani PDB 2017 sejumlah Rp13.000 Triliun), yang disebabkan naiknya biaya kesehatan akibat penanganan stunting. Selain itu, akibat dari penurunan produktivitas pasar kerja, stunting juga turut menyebabkan hilangnya 11% GDP. Dalam jangka panjang, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sekitar 2-3% dari PDB per tahun. Jika dilihat dari lingkup ekonomi makro, ada setidaknya tiga hal yang menyebabkan terjadinya stunting, yakni kemiskinan, melemahnya ketahanan pangan, dan tidak tercapainya kehidupan yang sehat dan sejahtera (merupakan agenda pertama dan ketiga dari SDGs).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sihite, N dkk (2022), didapatkan data bahwa dari total sample yang diuji, 78,8% balita yang mengalami stunting berasal dari keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil penelitian juga menunjukkan 76% keluarga balita stunting memiliki pendapatan dibawah UMR, sedangkan 24% lainnya tidak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara kemiskinan dengan kejadian stunting. Artinya, terjadi ketidakmampuan dari sisi ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan yang bergizi. Idealnya, seorang anak tentu harus mendapatkan makanan yang terdiri dari sumber yang bervariasi, seperti karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah. Selain itu, gizi seorang ibu yang sedang hamil juga harus terpenuhi untuk mencegah anak stunting. Sayangnya, dengan kondisi ekonomi miskin, jangankan untuk memenuhi asupan gizi seimbang, untuk makan sehari-hari saja rasanya masih menjadi beban yang sulit terpenuhi setiap harinya. Inilah yang menjadi penyebab kondisi stunting umumnya terjadi pada anak yang berasal dari keluarga miskin.
ADVERTISEMENT
Selain kemiskinan, stunting juga dapat disebabkan karena melemahnya ketahanan pangan. Tidak terpenuhinya standar kualitas makanan dan kesulitan masyarakat untuk menjangkau pangan, menjadi masalah ketahanan pangan di sejumlah daerah. Inilah mengapa melemahnya ketahanan pangan umumnya sebanding dengan kondisi stunting di suatu daerah. Sulitnya akses pangan bergizi, sanitasi yang buruk, dan infrastruktur yang belum memadai, turut melatarbelakangi masalah ini. Akibatnya, daerah yang memiliki kondisi ketahanan pangan yang buruk cenderung rentan menjumpai sejumlah masalah stunting. Misalnya saja di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang menempati 57% persen stunting (jauh lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional 37%, 2016). Selain disebabkan oleh masalah kemiskinan, ketersediaan pangan yang rendah juga turut menjadi faktor masalah ini. Konsumsi pangan balita masih sangat rendah, yakni 52,6% balita mengonsumsi kurang dari empat jenis pangan/kelompok pangan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 93,8% balita yang mengalami stunting berada pada kondisi rawan pangan. Sehingga, kemiskinan tentu menyebabkan berkurangnya daya beli terhadap bahan makanan baik secara kualitas dan kuantitas. Dalam hal ini tentu saja naiknya angka stunting akan berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Jika dibiarkan begitu saja, permasalahan ini dapat menjadi momok menakutkan bagi perekonomian Indonesia di masa depan.
ADVERTISEMENT
Permasalahan stunting memerlukan andil dari berbagai pihak dalam penanganannya. Hasil survei menunjukkan bahwa pencegahan stunting jauh lebih efektif dibandingkan pengobatan stunting. Sebelas intervensi spesifik stunting bahkan difokuskan pada masa sebelum kelahiran dan anak usia 6-23 bulan. Langkah intervensi ini telah diterapkan pada tiga kelompok masyarakat, yakni remaja putri, ibu hamil, dan balita. Pada remaja putri, intervensi dilakukan dengan skrining anemia dan konsumsi tablet tambah darah (TTD) remaja putri. Untuk ibu hamil dilakukan dengan pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah (TTD) ibu hamil, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu Adapun sejumlah langkah seperti pemantauan pertumbuhan balita, ASI eksklusif, pemberian MPASI kaya protein hewani bagi baduta, tata laksana balita dengan masalah gizi (weight faltering, underweight, gizi kurang, gizi buruk, dan stunting), peningkatan cakupan dan perluasan imunisasi, dan edukasi remaja, ibu hamil, dan keluarga termasuk pemicuan bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS), telah diberlakukan dengan balita sebagai sasaran utamanya. Selain langkah-langkah di atas, pemerintah mengambil langkah pengentasan kemiskinan dan penguatan ketahanan pangan, sebagai akar permasalahan dari isu stunting.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya telah dibahas bahwa terdapat keterkaitan erat antara stunting dan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai stimulus agar kemiskinan dapat teratasi. Adanya program bantuan sosial (bansos), bantuan langsung tunai (BLT), program sembako murah, dan program keluarga harapan (PKH), merupakan beberapa langkah yang telah diterapkan pemerintah untuk menangani kemiskinan. Harapannya tentu saja agar keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan dapat terbantu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Namun, dalam penerapannya, program bantuan ini menjumpai sejumlah hambatan. Masih banyak pihak yang justru memanfaatkan momen ini untuk keuntungan pribadi semata. Banyak masyarakat yang berada dalam kategori “sangat layak dibantu justru tidak dapat mencicipi bantuan yang digelontorkan pemerintah. Misalnya saja untuk program sembako murah. Pelaksanaan ini dianggap belum mampu menjangkau penduduk miskin secara merata di seluruh Indonesia. Di sisi lain, banyak oknum tak bertanggung jawab yang membeli produk sembako murah untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Padahal, program sembako murah dilakukan untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan makanan dasar. Bantuan lain berupa bantuan tunai dalam bentuk PKH dan BLT juga seringkali digunakan untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. Budaya buruk dalam masyarakat yang lebih mementingkan gengsi dan gaya hidup dibandingkan membeli makanan bergizi masih sering terjadi. Masyarakat terkadang lebih memilih menggunakan dana PKH dan BLT untuk membeli gawai keluaran terbaru dibandingkan membeli susu anak. Oleh karena itu, pemerintah masih perlu meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan program bantuan. Pemerintah perlu suatu mekanisme yang dapat memastikan bahwa bantuan diterima oleh orang yang tepat dan digunakan secara tepat, khususnya dalam hal penanganan stunting.
ADVERTISEMENT
Permasalahan kedua terkait faktor penyebab stunting yakni terkait pelemahan ketahanan pangan. Terkait isu ketahanan pangan, sebenarnya pemerintah telah mengangkat visi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia 2045. Dalam hal ini, terdapat lima pilar yang diusung pemerintah untuk mewujudkan visi ini, yakni penguatan infrastruktur pertanian, peningkatan produksi dan diversifikasi dan daya saing, penelitian dan pengembangan, SDM pertanian, dan reformasi birokrasi. Hal ini bertujuan untuk diversifikasi pangan lokal, pengembangan pertanian modern, peningkatan kapasitas produksi, dan penguatan cadangan dan sistem logistik pangan. Dalam hal peningkatan kapasitas produksi, pemerintah melakukan beberapa program seperti percepatan tanam padi, pengembangan lahan rawa, perluasan area tanam baru untuk padi, jagung, bawang merah, dan cabai di daerah defisit, dan peningkatan produksi gula, daging sapi, dan bwang putih untuk mengurangi impor. Dalam lingkup diversifikasi pangan lokal, telah dilakukan sejumlah upaya seperti pengembangan diversifikasi pangan lokal berbasis kearifan lokal yang fokus pada suatu komoditas utama, pemanfaatan pangan lokal secara masif (ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang, dan sorgum), dan pemanfaatan lahan pekarangan dan marjinal. Dalam al penguatan cadangan dan sistem logistik pangan, pemerintah berupaya melalui program penguatan cadangan beras, pengembangan LPM (Lumbung Pangan Masyarakat) berbasis desa, dan penguatan sistem logistik pangan nasional untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan. Pemerintah juga melakuakn sejumlah terobosan dan inovasi dalam pengembangan pertanian modern, yakni pengembangan smart farming, pengembangan dan pemanfaatan screen house untuk meningkatkan produksi komoditas hortikultura di luar musim tanam (cabai, bawang, dan komoditas bernilai ekonomi tinggi), pengembangan food estate untuk peningkatan produksi pangan utama (beras/jagung), dan pengembangan korporasi petani. Untuk ketahanan pangan, pemerintah sendiri telah memiliki organisasi yang fokus pada ketahanan pangan, yakni BPN, Badan Pangan Nasional. BPN dibentuk untuk melakukan peningkatan tata kelola sistem pangan yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah langkah yang telah diambil oleh pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan penguatan ketahanan pangan, sebagai faktor pendorong terjadinya stunting, tidak terlepas dari tanggung jawab dan kontribusi berbagai pihak. Berbagai bantuan dan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah akan berujung sia-sia jika masyarakat masih memelihara budaya egois dan tidak peduli. Pemenuhan kebutuhan pangan yang berkualitas sejatinya adalah hak mendasar bagi seluruh manusia. Masyarakat harus menyadari bahwa isu stunting adalah masalah serius bagi perekonomian kita. Di samping biaya penanganan kesehatan yang terus naik dan menjadi beban kerugian PDB, stunting pada anak-anak di masa sekarang akan menjadi penghambat serius bagi generasi emas di masa depan. Generasi usia produktif yang justru tidak produktif, tentu bukanlah sambutan yang kita harapkan dalam menghadapi era bonus demografi di masa depan. Melonjaknya angka pengangguran, tingkat kemiskinan, bahkan kriminalitas, akan menjadi bayang-bayang hitam perekonomian Indonesia akibat stunting yang tidak diobati sejak dini.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Cholida, F. M. (2016). Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Dan Hubungannya Dengan Status Gizi Balita. IPB University, 1-5.
Faraiesa Nurahadiyatika, D. R. (2022). PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENGENTASAN STATUS KEMISKINAN DALAM KONVERGENSI PENURUNAN STUNTING. Media Gizi Indonesia, 1-6.
Kementerian Kesehatan. (2023, Januari 25). Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku. Retrieved from Prevalensi Stunting di Indonesia Turun ke 21,6% dari 24,4%: https://www.kemkes.go.id/id/rilis-kesehatan/prevalensi-stunting-di-indonesia-turun-ke-216-dari-244
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. 1-7.