Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Neoliberal, Kapitalisasi, dan Aktivis Pendidikan
13 Januari 2024 10:57 WIB
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kapitalisasi pendidikan menjadi senjata bagi para pemerhati dunia pendidikan untuk mengkritik sistem pendidikan modern. Konsep tersebut mengasumsikan bahwa sistem pendidikan hanya dijadikan sebagai alat pemuas hasrat finansial para pemangku wewenang dalam mencapai kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Kapitalisasi pendidikan juga berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri. Dengan mengedepankan logika pasar, pendidikan menjadi lebih terfokus pada hasil daripada proses. Hal ini dapat mengurangi ruang kreativitas, kritisisme, dan inovasi di dalam dunia pendidikan. Pada akhirnya, logika pasar tersebut hanya akan membunuh intelektualitas dari peserta didik itu sendiri.
Selain itu, kapitalisasi pendidikan juga dapat menimbulkan ketimpangan akses dan kesempatan pendidikan bagi masyarakat. Hanya mereka yang mampu membayar biaya pendidikan yang dapat menikmati pendidikan berkualitas, sedangkan mereka yang kurang mampu harus puas dengan pendidikan yang rendah atau bahkan tidak mendapat pendidikan sama sekali.
Neoliberalisme Pendidikan Peter Fleming
Sistem pendidikan modern sendiri cenderung mengarah kepada institusi neoliberal. Peter Fleming dalam bukunya yang berjudul Dark Academia: How Universities Die mendefinisikan sistem neoliberal sebagai kebangkitan kapitalisme yang mengadopsi kebijakan liberalisasi yang melibatkan privatisasi, deregulasi, dan prinsip-prinsip perdagangan bebas untuk mencapai surplus anggaran oleh pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Neoliberalisme pendidikan muncul ketika terjadi Revolusi Akademis dari perguruan tinggi Amerika Serikat yang mulai menggeser hegemoni perguruan tinggi Humboltian—model perguruan tinggi ala Wilhelm von Humboldt yang berfokus pada kombinasi holistik antara riset dan studi.
Pendekatan liberal Amerika Serikat membawa perubahan yang signifikan, yaitu menggencarkan honor untuk akademisi muda.
Kontradiksi akademis yang radikal mulai terjadi ketika Lord Lionel Robbins mengangkat F.A Hayek sebagai direktur London School of Economics. Hal ini mengakibatkan adanya label yang ditempelkan untuk mendapatkan gelar akademik, dan pada akhirnya membuat perguruan tinggi hanya sebagai kompleks mega industri dengan intelektual-intelektual palsu sebagai komoditasnya.
Kampus Merdeka dan Edu-Factory
Peter Fleming tidak hanya menekankan betapa cacatnya sistem pendidikan modern. Kritik Fleming bukan sebuah kritik yang dihasilkan ketika melamun di siang bolong.
ADVERTISEMENT
Dengan susah payah Fleming mengumpulkan data dari Prancis, Inggris, hingga Amerika Serikat agar berhasil menguak kegelapan sistem pendidikan modern.
Dalam bukunya, Fleming memilih istilah edu-factory untuk menggambarkan perguruan tinggi yang beroperasi layaknya pabrik, bukan lagi institusi layanan publik.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ialah salah satu contoh nyata dari edu-factory ini.
Faktanya, dalam kasus ini, industri dan korporasi dapat dengan mudah mencari pekerja yang sesuai dengan kriteria perusahaan, namun dengan tarif yang relatif lebih rendah.
Hal demikian akan menyebabkan pergeseran orientasi pendidikan yang semula mengantarkan seseorang untuk memiliki kecerdasan dan memiliki kontribusi bagi lingkungan sekitar, menjadi sarana kapital untuk mencetak komoditas pekerja.
ADVERTISEMENT
Cacat Nalar Produk Edu-Factory
Ketika berbicara mengenai liberalisme pendidikan, tumpulnya intelektualitas peserta didik menjadi sebuah potensi yang panas untuk diperbincangkan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2021 bernama Muhammad Supratman melakukan kritik yang ditujukan kepada mata kuliah Bahasa Asing di program studinya sendiri.
Sayangnya, kritik yang dikemukakan tidak memiliki landasan teoretis dan ideologis yang jelas. Penulis pun juga pernah mengkritik Prodi HI UMM dalam tulisan yang berjudul “Dosen yang Jarang Mengajar Terkadang Perlu Digampar ”.
Tulisan tersebut penulis tujukan untuk mengevaluasi kinerja dosen eksternal—berasal dari fakultas lain—yang diamanahi untuk mengampu mata kuliah Hukum Internasional oleh Prodi HI UMM.
Dalam tulisan tersebut, penulis mengadopsi gaya sinis Fleming—dengan kontekstualisasi—dalam membangun sebuah kritik terhadap Prodi HI UMM, yaitu dengan mewawancarai beberapa mahasiswa yang berasal dari tiga kelas (A, B, dan C) hingga mencapai kejenuhan data lalu diinterpretasikan menggunakan analogi kritis.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan penulis, Muhammad Supratman dalam tulisannya di laman Times Indonesia yang berjudul “Kapitalisasi Pendidikan ala Prodi HI UMM ” berusaha mengkritik Prodi HI UMM dengan cara yang berbeda. Pendekatan yang digunakan olehnya ialah ambigunologi non kritis—konsep lelucon yang merujuk pada perpaduan antara konsep yang ambigu dan metode yang tidak jelas.
Saat membacanya, kalimat pertama yang muncul di otak penulis ialah, “jelek saja belum”.
Klaim Luar Biasa Supratman
Nukilan dari paragraf ketiga tulisannya, ia menyebut terdapat kebijakan kenaikan biaya pendidikan di Prodi HI UMM. Tidak hanya itu, Supratman juga menyebut kemunculan kebijakan tersebut berorientasi pada finansial semata, tepatnya di paragraf keempat.
Hal ini lantas membuat penulis bernafsu untuk melakukan investigasi terkait klaimnya. Penulis berhasil mewawancarai beberapa dosen yang di antaranya merupakan pejabat struktural Prodi HI UMM.
ADVERTISEMENT
Melalui wawancara tersebut, penulis menemukan titik temu bahwa klaim Supratman terkait adanya kebijakan kenaikan biaya pendidikan ialah false claim yang fatal.
Penulis sekaligus astrofisikawan kenamaan, Carl Sagan, menegaskan dalam acara televisinya yang berjudul Cosmos pada tahun 1980 bahwa "klaim luar biasa membutuhkan bukti yang luar biasa". Kalimat tersebut saat ini dikenal sebagai Standar Sagan.
Klaim-klaim lain layaknya Prodi HI UMM yang tidak mampu menjadi fasilitator dan mempersempit akses pendidikan juga cenderung mengarah kepada fitnah subjektif yang tidak mencerminkan sosoknya sebagai mahasiswa sama sekali.
Melalui investigasi yang cukup rumit, penulis menemukan fakta bahwa Prodi HI UMM justru membebaskan peserta didik untuk memilih program kursus bahasa yang dapat dikonversikan menjadi nilai mata kuliah Bahasa Asing.
ADVERTISEMENT
Penulis juga menemukan pengakuan salah satu mahasiswa angkatan 2021 terkait kursus bahasa asing, ia menjalani kursus Bahasa Arab secara dalam jaringan (daring) selama satu bulan hanya dengan biaya 150.000 rupiah.
Pertemuan kursus tersebutlah yang nantinya dapat dikonversi menjadi nilai mata kuliah Bahasa Asing melalui lembar kontrol yang telah disediakan.
Mahasiswa atau Hamasiswa?
Dengan demikian, kemunculan sistem pendidikan modern berupa edu-factory dapat menyebabkan mandulnya nalar proaktif mahasiswa, baik dalam kelas ataupun kepenulisan. Kecacatan moral dan intelektual merupakan konsekuensi dari sistem ini. Bahkan, untuk mendalami struktur kritik saja tidak bisa.
Tidak dapat dipungkiri, universitas dan program studi hanyalah kaki tangan sistem yang hanya bisa menghamba. Meskipun sistem memang berfokus pada industrialisasi yang materialistis, para dosen Prodi HI UMM mengaku bahwa tidak pernah sekalipun mencicipi uang mahasiswa dari—yang katanya—kapitalisasi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, apakah muncul dalam otak Supratman bahwa tulisan kritik fitnah tersebut berpotensi akan mempersulit angkatan di bawahnya atau bahkan mengancam posisi para dosen sebagai person in charge?
Ketika angkatan di bawahnya menjadi tidak bebas dalam menentukan arah untuk menyelesaikan mata kuliahnya melalui konversi, apa yang bisa dilakukan oleh Supratman?
Lalu, apa yang akan ia lakukan ketika para dosen dicurigai telah melakukan pungutan liar (pungli) terhadap mahasiswanya?
Sungguh, oknum tolol dengan predikat ‘hamasiswa’ itu nyata adanya.