Konten dari Pengguna

Mengawal Imparsialitas Presiden

Rizky Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
11 Februari 2024 6:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Januari silam di Istana Bogor publik dipertontokan sebuah tindakan dari seorang Presiden Jokowi yang menklarifikasi bahwa Presiden boleh memihak dan juga melakukan kampanye. Tentunya setiap kata dan perbuatan yang dilontarkan oleh kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki konsekuensi tertentu dalam politik. Oleh karena itu, setiap lisan yang keluar dari mulut Presiden wajib dikawal seksama untuk menghindari terjadinya kemudharatan.
ADVERTISEMENT
Bukan pertama kalinya Presiden Jokowi mengeluarkan statement kontroversial, pada Juli 2023 lalu di Sekolah Partai PDIP ia turut mengatakan bahwa cawe-cawe menjadi kewajiban moril bagi seorang Presiden. Sederet jejak digital inilah yang pada akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan; “Etiskah seorang Presiden menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu Paslon dalam Pemilu?”
Hak Politik
Sumber foto: unsplash,com
Sejatinya hak berpolitik memanglah dimiliki setiap orang sesuai dengan amanat Pasal 28 konstitusi, akan tetapi dalam konteks Presiden hal ini harus dicermati secara lebih komprehensif dan juga holistik. Bukan tanpa sebab, dikarenakan dalam situasi seperti saat ini amat sulit membedakan antara kedudukan Presiden sebagai personal dan kedudukan sebagai institusi. Tidak asap kalau tidak ada api, situasi seperti ini tak lain dan tak bukan dikarenakan pada saat yang sama putra dari Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming ikut terlibat dalam kontestasi pemilihan Calon Wakil Presiden, hal inilah yang menjadi indikator utamanya.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itulah mengapa setiap langkah yang diambil Presiden Jokowi saat ini haruslah dikawal ketat lewat etika politik. Sejatinya rambu-rambu hukum untuk menerangi langkah Presiden tersebut agar tidak menuju jurang kesesatan telah tersedia, mulai dari Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 yang merupakan sumpah dan janji yang dipegang teguh oleh Presiden dalam menjalankan tugasnya, Pasal 22E yang menghendaki terjadi Pemilu yang Luber Jurdil, hingga Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Presiden harus mampu bersikap sebagai negarawan dan menjadi teladan dalam etika, dalam artian segala tindakannya harus merepresentasikan kehendak negara yang tentunya tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu. Seorang negarawan bertindak atas nama segenap bangsa bukan karena kepentingan politik tertentu. Lembaga Kepresidenan tidak boleh dijadikan sebuah alat dan lebih parahnya dinormaliasasi sebagai tunggangan politik. Tak heran para guru besar yang tersebar di seluruh Indonesia turun tangan menanggapi iklim demokrasi yang tidak sehat ini.
ADVERTISEMENT
Teater Kekuasaan
Sumber foto: pixabay.com
Gema suara masyarakat yang menggaungkan keberlangsungan politik dinasti dan nepotisme di rezim Jokowi bukanlah menjadi nada yang baru di telinga. Politik dinasti sendiri cenderung membudidayakan oligarki dan menciptakan iklim yang tidak sehat dalam regenerasi kepemimpinan. Sebagaimana kita tahu, cengkraman kekuasaan dinasti Jokowi selama masa pemerintahannya terus menguat.
Teranyar sang putra mahkota Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Calon Wakil Presiden sebab Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang terbukti cacat secara etik dan dinyatakan dalam Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023, sang putra lainnya Kaesang Pangarep yang menjadi Ketum PSI dalam hanya tempo dua hari setelah bergabung, sang menantu Bobby Nasution yang terbutki melanggar kode etik partainya karena secara terang-benderang menunjukkan dukungannya terhadap sang putra mahkota, dan terakhir sang ipar Anwaru Usman yang baru saja dipecat sebagai Ketua MK karena melakukan pelanggaran saat mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya yang timbul ialah apakah kita harus memaklumi atau menormalisasi situasi politik seperti ini? Kondisi ini kian diperkeruh dengan fakta bahwa terdapat 271 pelaksana jabatan (pj) kepala daerah baik Bupati, Walikota, maupun Gubernur di seluruh Indonesia yang ditunjuk secara langsung oleh Presiden. Situasi ini merupakan konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengisyaratkan untuk diadakannya Pemilu serentak.
Sehingga apabila aparatur-aparatur ini dimanfaatkan dan dimobilisasi untuk kebutuhan politik praktis tentu akan sangat berbahaya bagi iklim demokrasi. Presiden yang secara terang-terangan menujukkan keberpihakannya berpotensi menimbulkan efek domino terhadap kecurangan sistematis mulai dari pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah yang memiliki relasi secara langsung maupun tidak langsung.
Tak sampai disitu, konstitusi juga memberikan kekuasaan tertinggi pada Presiden atas atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Potensi abuse of power oleh Presiden inilah yang harus kita pahami bersama, sebab apabila kekuasaan dibiarkan menjadi sebuah alat politik maka istilah negara demokrasi di Indonesia niscaya hanya menjadi omon-omon belaka. Logika sederhananya, bagaimana bisa ASN dituntut untuk tetap netral apabila di puncak atau kepala dari kekuasaan itu saja sudah memihak, hal yang wajar apabila pada akhirnya kebijakan ini dicap sebagai standar ganda. Mau sampai kapan kerapuhan imparsial dipertontonkan tanpa malu seperti ini?
ADVERTISEMENT
Aturan Kampanye
Sumber foto: pixabay.com
Dalam melakukan intepretasi ataupun penafsiran hukum diperlukan berbagai macam metode agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti sesuai dengan makna sesungguhnya. Ilmu perundangan-undangan mengajarkan bahwa ada sebuah pengelompokan dan penataan dalam urutan norma. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan intepretasi merupakan metode penemuan hukum yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Salah satu jenis penafsiran ialah intepretasi sistematis, dimana dengan model ini suatu undang-undang atau lebih spesifiknya setiap pasal dianggap berkaitan dengan pasal-pasal lainnya atau tidak berdiri sendiri. Setiap pasal bahkan ayat merupakan suatu sistem yang menghidupi perangkat peraturan perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang dengan hanya membaca satu atau dua pasal sejatinya belum mampu untuk memberikan pemahaman nyata dibalik rumusan tersebut.
ADVERTISEMENT
Bila kita memabaca Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan metode sistemastis maka dapat ditemukan bahwa pernyataan Presiden boleh berkampanye yang diucapkan oleh Jokowi adalah statement yang menyesatkan. Pertama, bila kita tinjau Pasal 269 Ayat (1) jelas dinyatakan bahwa pelaksana kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ialah pengurus Partai Politiknya. Dimana Jokowi sejatinya hanya bisa berkampanye untuk untuk paslon yang diusung partainya yakni PDI Perjuangan, sehingga Jokwi secara hukum tidak dapat berkampanye untuk pasangan Prabowo Gibran dikarenakan sampai saat ini belum ada pengunduran diri secara resmi olehnya.
Selanjutnya ayat yang tidak ditunjukkan oleh Jokowi ialah Pasal 299 Ayat (3) huruf a, dimana dinyatakan bahwa apabila pejabat negara yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye akan tetapi yang bersangkutan haruslah merupakan Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden itu sendiri. Dalam hal ini Jokowi bukanlah seorang pertahana, padahal yang dimaksud dari Pasal 299 yang diumbar Presiden Jokowi ke media sebagai pledoi nya diperuntukkan untuk Presiden yang hendak mencalonkan diri kembali.
ADVERTISEMENT
Dilanjutkan dengan Pasal 272, dimana dinyatakan Pelaksana Kampanye Pemilu dan tim kampanye haruslah didaftarkan pada KPU. Apabila Jokowi hendak melaksanakan kampanye maka ia harus terdaftar dalam tim kampanye resmi terlebih dahulu dari paslon yang didukungnya. Disini kita lihat jelas fakta bahwa mengambil kesimpulan dengan membaca undang-undang dari beberapa pasalnya saja hanya akan menimbulkan kemudharatan.
Lantas apa gunanya belajar hukum apabila hukum hanya dipandang sebagai teks kosong?