Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Alkisah Fakultas Undang-Undang
15 Januari 2023 21:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alarm berbunyi. Kelopak mata Tetron terbuka mengawali hari sebagai mahasiswa Fakultas Hukum . Tetron segera bergegas. Ia pun pamit dan segera berangkat menuju kampus. Tak lupa, Tetron membawa kitab suci KUHP dan KUHPer pesanan kating sebagai tiket masuk.
ADVERTISEMENT
Tetron dengan polosnya membawa kedua barang tersebut. Dalam benaknya, hukum itu sama saja dengan Undang-Undang . Ditambah, kakak tingkat Tetron yang sedari awal menyempitkan pandangan Tetron. Hukum yang sedemikian luas itu dibuat sekat dalam wujud KUHP dan KUHPer.
Pandangan Yuridis-Normatif tersebut sudah mengakar ketika pertama sekali masuk Fakultas Hukum. Akibatnya hukum kemudian dipersempit hanya dalam wujud Undang-Undang. Dominasi Mazhab Positivistik kemudian sangat mendominasi paradigma berpikir mahasiswa Fakultas Hukum.
Mazhab Positivistik atau tegasnya disebut aliran positivisme memberikan perhatian lebih kepada hukum normatif. Tegasnya, mereka memandang hukum secara integral sebagai norma-norma tertulis dalam sistem perundang-undangan.
Acap kali gembala-gembala positivis menganggap Undang-Undang itu seperti dewa. Ia sakral sehingga tidak dapat diganggu gugat, bahkan jikalau bisa disembah. Atau barangkali ada yang menganggapnya seperti kitab suci, di dalamnya termaktub ayat-ayat penuh dogma yang apabila dilanggar, berdosalah ia.
ADVERTISEMENT
Paradigma berpikir tersebut pada akhirnya mengisolasi Ilmu hukum. Ilmu hukum yang notabene nya adalah rumpun sosial seolah-olah kaku seperti ilmu eksakta. Hukum yang harusnya dinamis mengikuti perubahan sosial, menjelma menjadi teks yang terisolasi dari akarnya yaitu masyarakat.
Hukum yang dipandang kerdil hanya takaran teks, membuatnya jauh dari konteks. Karena takarannya kecil, maka porsi kemanfaatannya ke seluruh elemen masyarakat menjadi minim jua. Akibatnya, produk hukum dan kebijakan yang buruk akan terlegitimasi oleh Undang-Undang.
Muara Regresifitas
Salah satu alasan terjadinya penyempitan memandang hukum tersebut bermuara dari Fakultas Hukum itu sendiri. Di Fakultas Hukum, jarang sekali dibahas sebenarnya filosofi hukum itu.
Pertanyaan mendasar seperti “kenapa kita bisa dibunuh atas nama hukum?” jarang sekali dibahas. Bahkan, kedudukan hukum itu sendiri tidak bisa dimaknai mendalam. Memaknai teori, asas, dan filsafat hukum dalam pendekatan masyarakat menjadi barang nihil. Padahal, hal tersebut jauh lebih esensial dibanding pasal-pasal yang anak hukum hafal.
ADVERTISEMENT
Barang kali, saya tidak mau menggeneralisasi semuanya. Pengalaman saya sendiri di Fakultas Hukum, lagi-lagi Hukum hanya dipandang sebagai rangkaian kata tertulis. Mahasiswa langsung dicekoki pasal-pasal, dan disuruh menghafal adagium-adagium fafifu wasweswos.
Menjadi permasalahan selanjutnya adalah kadar kecerdasan Mahasiswa pun hanya diukur dari jumlah pasal dan adagium yang dihafal. Lagipula FH adalah Fakultas Hukum, bukan ‘Fakultas Hafal’. Tidak beragamnya perspektif memandang kebijakan dan kecenderungan hanya berpaku pada Undang-Undang, maka tak berlebihan apabila Fakultas ini cocoknya dipanggil Fakultas Undang-Undang saja.
Kecenderungan anak hukum yang memandang teks dan kata-kata tidak melihat hukum itu secara utuh. Terlalu sibuk mendebat hal yang terlihat, tetapi buta terhadap hal lain di belakang. Hukum tentunya bukan apa yang di dalam teks saja, ada juga pemberlakuannya. Apakah memang akses keadilan antara staff khusus presiden dengan pengamen dari cipulir sama? Kita kerap abai terhadap kondisi dan kelas sosial yang padahal nyatanya pengadilan berpihak kepada kelas borjuasi.
ADVERTISEMENT
Dalam perdebatan memandang sebuah masalah, anak Hukum biasanya berargumen “kan Undang-Undangnya bilang gini, loh, kan ada putusan pengadilan bilang begitu, wong ada pasal ini mengatur demikian”. Argumen demikian menjadi warna homogen yang menjauhkan mahasiswa hukum untuk berfikir kritis dan mendekatkan diri pada realitas.
Bahkan para akademisi tidak ubah jawabannya dengan mahasiswa umumnya. Pernah satu waktu di mata kuliah hukum ekonomi, teman saya bertanya tentang Undang-Undang Penanaman Modal. Kekhawatiran teman saya dalam pertanyaannya tersebut adalah perlakuan diskriminatif antara pemodal dalam negeri dengan pemodal asing.
Lantas, dosen saya langsung bilang begini, “Karena saya dosen hukum, saya menjawab dari aspek normatifnya saja. Harusnya tidak ada diskriminasi antara pemodal dalam negeri dengan pemodal luar negeri. Itu jelas tertuang pada Undang-Undang tersebut. Saya tidak mau menjawab selain daripada yang tertulis tersebut,” ucap beliau.
ADVERTISEMENT
Jawaban demikian membuat saya tergeleng-geleng sejenak, apakah memang hukum sesempit itu? Padahal di hati saya paling dalam, harusnya jawaban seorang akademisi tidak sekonservatif itu. Jawaban tersebut hanya bersumber dari Law in Books, tidak sama sekali menyentuh Law in action.
Dalam praktiknya, apa yang tertuang dalam buku kerap kali berbeda dalam praktik. Kembali kepada Undang-Undang Penanaman Modal tadi, secara normatif memang disebutkan tidak ada diskriminasi. Tetapi, secara praktik dia bermasalah. Adanya diskriminasi, kesenjangan, bahkan eksploitasi lingkungan, adalah buah dari disahkannya Undang-Undang tersebut.
Satu dari runyamnya masalah tersebut adalah gambaran Fakultas Hukum hari ini. Saya sendiri berpandangan hukum tidak sesempit itu. Hukum harus mempunyai korelasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Sebagai Ilmu, Hukum tidak bisa berdiri sendiri. Memang, dalam beberapa hal doktrin normatif diperlukan, tetapi menjadikannya panglima di segala lini sama saja mendiskreditkan dan mengkerdilkan Hukum itu sendiri, di mana ia tak bisa dilepaskan dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Interdisipliner Hukum
Berbicara tentang hukum, tentunya tak sebatas undang-undang saja. Ada teks, penafsiran, dan konteks hukum itu sendiri. Hukum selalu berkembang, tidak stagnan, dan tidak kaku pula. Sehingga mazhab hukum tentunya berbeda-beda.
Saya sendiri tidak mau mendaku dan menjadi anak domba kaum positivis. Hukum itu harus dipandang secara holistik, tidak boleh parsial. Ilmu hukum yang komprehensif akan mengakomodir perspektif ilmu lain. Sehingga pada akhirnya, cara pandang kritis dalam diri mahasiswa hukum bertumbuh.
Dengan kesadaran tersebut, ada upaya mengembalikan hakikat hukum yang tak sekedar doktrin normatif. Ilmu hukum tidak boleh dipisahkan dari displin ilmu lain, keduanya merupakan kesatuan yang berkesinambungan. Hukum haruslah dipandang sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang terbingkai indah dalam kiasan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, langkah tersebut menjadi awal untuk memberangus kemiskinan kita memandang hukum. Secara lebih lanjut, julukan Fakultas Undang-Undang yang melekat lambat laun hilang dari fakultas hukum. Mungkin itu harapan Tetron dan mewakili harapan saya pula.