Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keadilan untuk Pekerja Rumah Tangga
22 Mei 2023 18:48 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang selanjutnya disebut RUU PPRT pada akhirnya mendapatkan titik temu.
ADVERTISEMENT
Pada hari selasa 21 Maret 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati RUU PPRT ditetapkan menjadi RUU Inisiatif DPR. Sikap politik DPR tersebut sontak mendapatkan respons positif dari para Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Diskursus perlindungan pekerja rumah tangga tentunya bukanlah hal baru yang mengemuka. Hal ini dikarenakan RUU PPRT sejatinya sudah diajukan untuk dibahas sejak 2004. Artinya, RUU PPRT sudah berusia 19 Tahun mandek di DPR. Empat kali periode DPR berganti, RUU ini seolah berjalan di tempat dan tidak kunjung mendapat pengesahan.
Pekerja rumah tangga tanpa disadari memiliki peranan yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan rumah tangga. Namun, keberadaan mereka kerap disisihkan dan diabaikan dalam struktur sosial masyarakat.
Hanya karena semata-mata mereka mencuci, membersihkan rumah, memasak, merawat anak, berkebun, dan mengemudi mereka termarginalisasi. Akibatnya, para pekerja rumah tangga rentan mengalami diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi.
ADVERTISEMENT
Selama ini PRT dianggap berada pada wilayah privat, yaitu rumah tangga. Hal ini dapat dimaknai bahwasanya keluarga mempunyai domain penuh, sehingga akan menimbulkan masalah apabila dicampuri pihak luar.
Dalam titik ini, hubungan antara PRT dan majikan adalah hubungan kekerabatan, bukan hubungan kerja. Dalam kacamata Ilmu Hukum, hubungan yang sedemikian dapat disebut sebagai hubungan hibridis.
Hubungan hibridis adalah hubungan yang terjadi antara PRT dan Majikan tidak semata-mata didefenisikan sebagai hubungan hukum, melainkan lebih mengedepankan terbentuknya hubungan yang bersifat kekeluargaan.
Oleh karena itu, mekanisme kontrol yang ada hanyalah pada norma sosial dalam masyarakat. Walhasil, norma hukum kurang diprioritaskan sehingga negara tidak ikut andil dalam perlindungan kepada mereka.
Pada titik ini, posisi PRT menjadi mengkhawatirkan. Kedudukan antara PRT dan Majikan sesungguhnya adalah tidak setara, di sana ada relasi kuasa yang sangat timpang antara kedua pihak. Maka menjadi tidak mengherankan, apabila PRT diperlakukan seperti komoditas yang bekerja tiada henti. Tidak mengenal jam kerja layak, upah murah, dan ketiadaan jaminan sosial.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang Mengkhawatirkan
Berdasarkan data yang diambil Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), pada periode 2015-2022. Ada sebanyak 2.637 PRT yang melaporkan berbagai kasus.
Sebanyak 1.148 kasus di antaranya berupa kekerasan ekonomi, seperti upah tidak dibayarkan, upah dipotong sepihak, pemecatan sepihak, dan tunjangan hari raya (THR) tidak dibayarkan. Nasib mereka pun semakin memburuk. Mulai dari tahun 2001, kondisinya hampir sama hingga sekarang. Dari data terakhir tahun 2022, dalam sehari ada dua korban PRT yang melapor.
Dalam hasil riset Jala PRT 2019 juga menunjukkan bahwa PRT di Indonesia hanya menerima upah sebesar 20-30 persen dari UMR. Ditambah lagi kebanyakan PRT belum memiliki BPJS Ketenagakerjaan ataupun Kesehatan,
Masalah semakin berkelindan di masyarakat ditambah fakta di lapangan menunjukkan dominasi perempuan menjadi Pekerja Rumah Tangga. Mengutip laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada 2015 jumlah PRT yang berhasil di data sejumlah 13.081 orang yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2018, sebanyak 84,27 persen PRT adalah perempuan. Banyak faktor PRT diisi perempuan, namun budaya masyarakat yang menganggap pekerjaan domestik sewajarnya dikerjakan perempuan menjadi faktor utama.
Perlindungan PRT lemah karena PRT belum diakui sebagai pekerja . Dalam kehidupan sehari-hari, terjadi pengkelasduaan terhadap mereka. Umumnya mereka disebut sebagai pembantu, asisten, ataupun sebutan lain dalam ranah informal.
Belum ada aturan khusus setingkat Undang-Undang yang mengatur PRT. Sampai saat ini, baru ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Sayangnya, Permenaker tersebut memiliki banyak problematika yang tidak menjangkau UU Ketenagakerjaan serta tidak merinci ihwal standardisasi upah, pengaturan jam kerja, cuti mingguan dan tahunan, dan hak berserikat.
ADVERTISEMENT
Pun daripada itu, perlu diingat Peraturan Menteri juga tidak bisa memuat sanksi pidana yang justru dibutuhkan jika PRT mendapatkan perlakuan yang semena-mena
Jala-PRT juga melaporkan bawa ribuan kasus yang melanda PRT seringkali berhenti di tangan kepolisian, tak sampai kejaksaan, apalagi pengadilan, sehingga keadilan bagi PRT ibarat jauh panggang dari api.
Dan lagi, penyebab hal itu karena ketiadaan pengakuan mereka selayak-layaknya pekerja. Mereka tidak tahu mengadu ke mana ketika mengalami penyiksaan, mereka juga tidak tahu ke mana saat mereka dipecat secara sepihak.
Tidak ada lembaga yang menerima aduan mereka, pun tidak ada lembaga yang bisa menyelesaikan perselisihan hubungan mereka. Lantas, ketika mereka ditindas dan diperlakukan secara serampangan seperti itulah, dibutuhkan peran negara. Pengesahan RUU PPRT adalah wujud konkritnya.
ADVERTISEMENT
Keadilan untuk PRT
Perlindungan terhadap PRT selama ini belum diakomodir di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Ketentuan di undang-undang tersebut lebih banyak mengatur hubungan antara buruh dan pemberi kerja dalam sektor formal. Hal ini tentunya berbeda dengan PRT yang dalam praktiknya ada dalam sektor informal.
Dengan melihat kompleksitas dan masalah yang menimpa PRT, adalah penting bagi DPR dan Pemerintah untuk mengesahkan RUU PPRT. Dengan mengesahkan RUU tersebut, PRT tidak lagi dipandang sebatas komoditas tetapi mengakuinya sebagai pekerja; bukan pembantu ataupun asisten.
Secara yuridis-konstitusional, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Amanat dan cita-cita para founding fathers yang dirumuskan dalam norma tersebut dipandang agar PRT merupakan pekerja yang berhak atas hak-hak normatif yang diterima pekerja pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, melalui RUU PPRT diharapkan akan mengatur hak-hak pekerja rumah tangga sebagai bagian dari pekerja dan warga negara yang juga berhak untuk memperoleh pekerjaan dan hidup layak.
Beberapa di antaranya seperti pengaturan mengenai perjanjian kerja, upah, THR, waktu kerja, cuti, usia kerja, berserikat, jaminan sosial ketenagakerjaan, dan pelatihan terhadap PRT. Sehingga perlindungan sebelum, selama, dan sesudah bekerja mereka dapatkan.
RUU PPRT sebagai ius constituendum merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan dalam rangka mengisi kekosongan hukum (rechtvacum). Adanya UU PPRT sejalan pula dengan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No 189 Mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.
Konvensi ini meminta negara berperan dalam menciptakan keadilan melalui Undang-Undang untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan hidup PRT.
ADVERTISEMENT
RUU PPRT sesungguhnya mempunyai kemendesakan untuk segera disahkan. Selama RUU ini belum disahkan, artinya sama saja melanggengkan praktik perbudakan modern yang menyerang martabat kemanusiaan.
Kini, semua menanti akhir perjuangan RUU PPRT. Sudah saatnya negara hadir mewujudkan keadilan yang dicita-citakan dengan kebenaran; bukan alasan pembenar. Sahkan RUU PPRT!