Konten dari Pengguna

Menilik Fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) : dalam berbagai Perspektif

Kevin Putra Pranata
Mahasiswa Universitas Sumatera Utara
11 Oktober 2024 18:59 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kevin Putra Pranata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Canva
ADVERTISEMENT
mena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) : dalam berbagai Perspektif
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Rumah tangga sudah semestinya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua anggota keluarga. Sebab rumah tangga tempat utama untuk memberikan suatu kebahagiaan, bila sebuah rumah tangga tidak menciptakan rasa aman, maka dimungkinkan perpecahan akan terjadi. Dalam Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dilakukan dengan alasan apapun merupakan bentuk kejahatan yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, sekecil apapun kekerasan yang dilakukan dapat dilaporkan sebagai tindak pidana yang dapat di proses hukum. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Istilah KDRT sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tersebut sering kali disebut dengan kekerasan domestik. Kekerasan domestik sebetulnya tidak hanya menjangkau hubungan antara suami dengan istri dalam rumah tangga, namun termasuk juga kekerasan yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam lingkup rumah tangga. Pihak lain tersebut adalah 1) suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); 2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut. 3) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
ADVERTISEMENT
Legalitas
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini menetapkan bahwa KDRT adalah tindak pidana yang serius dan memberikan sanksi pidana bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku KDRT dapat dihukum dengan pidana penjara hingga 20 tahun dan denda yang mencapai ratusan juta rupiah.
Bentuk KDRT
Isu kekerasan perempuan dalam rumah tangga di Indonesia masih dipandang biasa, dan menganggap itu sebuah dinamika kehidupan yang harus dijalani. Sehingga banyak perempuan rumah tangga yang tidak berani untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya karena beranggapan itu sebuah aib dalam keluarga yang tidak seharusnya orang lain mengetahuinya. Artinya bahwa kasus yang terungkap (publik) hanyalah sebagaian kecil dari bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang belum terekspos kepermukaan. Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yakni:
ADVERTISEMENT
1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Ps 5 jo 6). Kekerasan fisik dapat dicontohkan seperti menendang, menampar, memukul, menabrak, mengigit dan lain sebagainya. Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit tersebut tentu harus mendapatkan penanganan medis sesuai kekerasan yang dialaminya
2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7). Dapat dicontohkan seperti perilaku mengancam, mengintimidasi, mencaci maki/ penghinaan, bullying dan lain sebagainya. Kekerasan psikis ini apabila terjadi pada anak tentu akan berdampak pada perkembangan dan psikis anak, sehingga cenderung mengalami trauma berkepanjangan. Hal ini juga dapat terjadi pada perempuan.
ADVERTISEMENT
3. Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Bentuk kekerasan seksual inilah yang biasa banyak terjadi pada perempuan, karena perempuan tergolong rentan.
4. Penelantaran Rumah Tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, serta pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Ps 5 jo 9).
ADVERTISEMENT
Faktor Penyebab KDRT
Sedikitnya ada dua faktor penyebab kekerasan KDRT adalah Pertama, faktor internal akibat melemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga diantara sesamanya, sehingga cenderung bertindak diskriminatif dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah. Kedua, faktor eksternal akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, yang terwujud dalam sikap eksploitatif terhadap anggota keluarga lain, khususnya terjadi terhadap perempuan dan anak. Selain itu Rocmat Wahab menyimpulkan bahwa KDRT ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut sering kali terjadi karena kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, serta ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun. Dalam banyak kasus terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap isterinya karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.Hal ini biasanya terjadi pada pasangan yang belum siap kawin (nikah muda), suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap untuk mencukupi kebutuhan, dan keterbatasan kebebasan karena masih menumpang pada orangtua/ mertua.
ADVERTISEMENT
Perspektif Pekerjaan Sosial
Terkadang permasalahan sepele dapat mengakibatkan kekerasan terhadap Perempuan, itulah indikasi awal penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan. Berawal dari hal - hal sepele, terkadang dapat menimbulkan permasalahan yang serius. Namun selama ini permasalahan KDRT cenderung dianggap sebagai masalah pribadi dan aib keluarga, sehingga cenderung tertutup dan tidak berani untuk diungkapkan. Oleh karena itu, pekerja sosial harus mampu benar-benar meyakinkan korban perempuan untuk berani mengungkapkan permasalahan dan memberi rasa aman dan nyaman. Selain itu dalam menolong korban KDRT harus memiliki pengetahuan dan keberpihakan kepada korban bahwa kekerasan sekecil apapun, dengan bentuk apapun dan dilakukan oleh siapapun merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan. Perspektif itulah yang nantinya menjadi dasar pertolongan bagi korban kekerasan KDRT yang marak terjadi di masyarakat. Secara garis besar, penanganan KDRT dalam perspektif pekerjaan sosial dapat dilakukan dalam 2 tingkatan, yakni mikro (individu, keluarga, kelompok) dan makro (organisasi dan masyarakat). Keterkaitan kedua tingkatan tersebut merupakan sebuah level intervensi pekerjaan sosial yang paling utama, karena pada dasarnya pekerja sosial adalah jembatan dalam upaya penyelesaian masalah sosial, baik pada tingkat mikro, mezzo, maupun makro. Sehingga pekerja sosial dituntut untuk dapat menguasai metode dan strategi dalam upaya mewujudkan keberfungsian sosial di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perspektif Sosiologi Hukum
Pada hakikatnya larangan melakukan tindakan kekerasan ialah untuk melindungi satu sama lain khususnya dalam ruang lingkup keluarga. Rosce pouns membahasakannya dengan hukum merupakan sarana untuk merekayasa sosial (law is tool of sosial engineering). Dalam perspektif ini, maka larangan dalam melakukan KDRT dapat dikatakan merupakan suatu alat untuk merancang masa depan masyarakat yang saling menyayangi satu sama lain terutama masyarakat yang terikat oleh hubungan keluarga. Indonesia merupakan negara hukum yang dimana penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan masyarakat yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, dan penegakan hukum. Namun proses penegakan hukum mempunyai aturan yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan perilaku manusia serta hubungan dengan manusia lain secara luas. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa masalah hukum yang akan selalu menonjol adalah problem law in action bukan pada law in the books. Di dalam Undang-Undang no. 23 tahun 2004 juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan (pasal 53).
ADVERTISEMENT
Sosiologi hukum mempunyai gambaran bahwa pengenalan hukum kedalam ruang sosial dalam masyarakat, Ketika sebuah undang-undang masuk ke suatu ruang sosial maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, hal ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati - hati. Pendekatan sosiologi hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu - satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, hukum-hukum lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal dan dipatuhi karena sudah menjadi peraturan yang ditetapkan oleh sebuah negara. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara titik bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak korban.
ADVERTISEMENT
Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam, aspek hukum pidana materiil tentu menyangkut soal suatu perbuatan yang berdasarkan syari’at yang telah ditetapkan (digariskan) sebagai suatu tindak pidana. Pembuat hukum, dalam hal ini Allah SWT telah menggariskan berbagai jenis perbuatan (kejahatan) dikategorikan sebagai tindak pidana, seperti pencurian, penganiayaan, makar, pembunuhan, dan perkosaan (kekerasan seksual). Ketimpangan relasi suami istri memang sangat potensial timbulnya kekerasan terhadap istri. Pada kenyataannya memang sulit dinafikan, bila terjadi pertikaian antara suami istri yang muaranya berasal akibat kekerasan fisik maupun psikis. Dalam pandangan Islam, kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam rumah tangga atau di luar rumah tangga adalah bentuk kejahatan. Apalagi jika suami menyakiti istri dengan memukulnya hingga terluka. Hal ini jelas masuk dalam kategori tindakan kekerasan terhadap istri kepentingan - kepentingan yang ada di Masyarakat, setiap aturan maupun norma yang ada di dunia ini mempunyai tujuan. Sama halnya dengan norma hukum atau hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum Islam, tujuan hukum menurut para ulama yaitu diantaranya: mendidik jiwa, mensucikan manusia, menegakkan keadilan, merealisir kemaslahatan, dan kebahagiaan di dunia-akhirat. Tujuan ini sejalan dengan pemberian hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum disyaritkannya hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Perspektif Etika Kristen
Etika Kristen terkait dengan prinsip bersikap dan berperilaku yang benar berdasarkan Alkitab. Orang Kristen mendasari hidupnya melalui keutamaan-keutamaan perilaku yang sesuai dengan prinsip etika Kristen terutama dalam hubungan antar sesama sekaligus dengan Tuhan. Prinsip tersebut melahirkan sebuah pedoman yang otentik dalam menilai dan menyikapi persoalan bagaimanakah pandangan etika Kristen terhadap KDRT yang terjadi dalam keluarga Kristen.
1. KDRT Adalah Tindakan Melawan Perintah Allah
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), telah menampilkan sebuah gagasan bahwa perlakuan tersebut bersifat kejam dan tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam Alkitab. Allah yang adil tentunya tidak menyetujui kekerasan, sebab hal ini bukan cara hidup yang baik untuk menyelesaikan masalah dalam keluarga. Allah tidak pernah memerintahkan untuk melakukan tindakan kekerasan, tetapi membangun dan mewujudkan hubungan kasih sayang dalam keluarga (Gal. 5:22-23). Dengan demikian segala sesuatu yang diperintahkan Allah tidak pernah bertentangan dengan sifat keAllahan-Nya. Kekerasan dalam rumah tangga keluarga Kristen merupakan pola perilaku yang menghambat pertumbuhan rohani dan kedewasaan di dalam Kristus. Kekerasan tergambar dalam pandangan keluarga Kristen bahwa hal tersebut melanggar perintah atau kehendak Allah yang ditetapkan bagi setiap keluarga Kristen.
ADVERTISEMENT
2. KDRT adalah Pelanggaran Hak Azazi dan Martabat Manusia
Penting ditegaskan bahwa mengenai KDRT adalah pelanggaran terhadap hak mendasar dan martabat manusia. Mengenai hak azazi manusia ialah hasil rancangan, bukan hasil upaya manusia. Hak tersebut telah diperolehnya dari semulanya. Ia mendapatkannya bersama hidupnya dari tangan sang kreator yaitu Allah sendiri. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan ditunjukkan dengan pelanggaran hak dan martabat terhadap seorang istri dalam sebuah rumah tangga, sehingga setiap manusia diciptakan Allah memiliki hak untuk menerima perlakuan yang baik dari manusia lain tanpa adanya penguasaan bahkan kekerasan terhadap sesamanya dan apabila terjadi perlakuan yang tidak baik maka hal itu disebut sebagai pelanggaran terhadap hak dan martabat sesama manusia.
3. KDRT Merupakan Pelanggaran Terhadap Prinsip-prinsip Pernikahan Kristen
ADVERTISEMENT
Pernikahan kristen yang dimaksud disini adalah kebulatan tekad kedua insan menjadi satu, mempersatukan dua afeksi menjadi manusia yang berperan agar saling melengkapi sisi manusia yang tak sempurna dalam merealisasikan sumpah sehidup semati bagi insan masing-masing dalam terang kebenaran Alkitab, tidak melihat dan menjadikan perbedaan sebagai sesuatu yang harus dipermasalahkan. Oleh sebab itu, pernikahan Kristen dibangun berdasarkan kasih yang terjalin dalam hubungan suami-istri, haruslah didasari oleh kasih eros, filia dan agape. Tidak adanya kasih eros dalam hubungan antara suami-istri, menyebabkan hilangnya kegairahan dalam hubungan mereka (hubungan intim suamiistri). Hal ini berlaku bagi setiap pasangan Kristen, suami-istri harus menjaga daya tarik masing-masing dan rasa tertarik pada pasangannya.
Upaya Penanggulangan KDRT
Upaya pencegahan KDRT merupakan kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat, Menurut Barda Arief Nawawi, upaya penanggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu :
ADVERTISEMENT
1. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application).
2. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara : Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata
Secara sederhana dapat dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur nonpenal lebih menitik beratkan pada sifat preventif (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Mengingat upaya penanggulangan lewat jalur nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah mengenai faktorfaktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menciptakan kejahatan.
ADVERTISEMENT