Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pelajaran Moralitas Politik Pejabat Negara dan Racun Politik
1 November 2022 6:12 WIB
Tulisan dari putri sintawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dimulai dengan kebijakan ekonomi Liz Truss, dimana adanya pemotongan pajak , Inggris menjadi heboh dan sedikit demi sedikit Inggris mulai tidak mempercayainya. Liz Truss kemudian juga membahas menaikkan batas bonus bankir. Downing Street akan mengikuti, juga mengembalikan usulan kenaikan pajak perusahaan dan kenaikan terbaru dalam premi asuransi nasional. Itulah sebabnya kemudian dikenal sebagai racun politik karena pada saat itu warga negara Inggris sedang menghadapi krisis biaya hidup. Dan faktor penting dalam pengunduran diri Liz Truss adalah bahwa Menteri Keuangan Inggris yang baru, Jeremy Hunt, membatalkan hampir semua kebijakan atau program ekonomi yang diusulkan Liz Truss.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya adalah karena kurangnya kebijakan fiskal, Perdana Menteri Inggris Liz Truss akhirnya mengundurkan diri. Dari visi Liz Truss, yang bertujuan untuk mewujudkan visi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pajak yang rendah. Namun pada akhirnya, Liz Truss mengaku tak mampu mewujudkan visinya. Liz Truss memutuskan untuk membatalkan rencana kenaikan tarif pajak penghasilan yang semula direncanakan Boris Johnson, dari 19% menjadi 25%. Liz Truss juga menawarkan insentif khusus bagi perusahaan yang berinvestasi di sektor KEK. Dan di kawasan tersebut, investor bisa membeli tanah atau bangunan tanpa harus membayar pajak yang biasanya dikenakan di luar KEK.
IMF (Dana Moneter Internasional) juga menanggapi perdebatan tentang pemotongan pajak, yang dipandang akan memperburuk ketidaksetaraan. Dan dengan demikian, Bank of England melihat melemahnya perjuangan Inggris melawan inflasi, yang mendekati 10% pada bulan Agustus. Dan akhirnya, ketika agenda politik penuh Liz Truss dibacakan, nilai pound anjlok. Hal ini membuat publik kurang percaya diri dengan apa yang dilakukan Perdana Menteri Inggris tersebut. Dan munculnya ketidakpercayaan baik dari masyarakat maupun partai politik. Dan dari situ, Liz Truss mengundurkan diri setelah gagal menghidupkan kembali perekonomian di Inggris di tengah krisis biaya hidup.
ADVERTISEMENT
Jadi Liz Truss melakukan apa yang seharusnya dilakukan pejabat pemerintah ketika mereka tidak dapat menangani masalah. Dan ini memang sesuai dengan moralitas politik yang berlaku, di mana kekuasaan politik harus diberikan kepada orang-orang yang dapat melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan. Liz Truss melakukan hal yang benar dengan mengundurkan diri, karena jika dia terus dipaksa keluar, Inggris akan menderita kerugian baik dari pemerintah maupun warganya. Dan berdasarkan itu, pejabat publik harus bisa memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dari mereka.
Moralitas politik sangat penting dalam politik karena kita sering dihadapkan pada etika politik yang sangat minim. Pengunduran diri seorang pejabat publik merupakan rasa tanggung jawab atau kebesaran dalam melaksanakan tugas. Oleh karena itu, berbagai persyaratan keterampilan manajemen seseorang juga harus dipenuhi ketika menyelesaikan tugas. Dan ini tentunya berlaku bagi pegawai negeri yang melalui mekanisme yang dipilih. Maka itulah yang disebut moralitas dalam kepemimpinan, lalu siapa yang bertanggung jawab, jika dia benar-benar harus disalahkan atau tidak mampu menyelesaikan masalah, dan dia harus mengumumkan pengunduran dirinya dari posisinya saat ini. Karena itu bagian dari etika. Dan dalam hal ini, kebijakan Liz Truss menunjukkan bahwa dia tidak bisa menghadapi krisis di Inggris. Dan jika terus berlanjut, itu akan melumpuhkan Inggris.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat Indonesia belakangan ini, banyak kasus yang melibatkan pejabat pemerintah. Dan dalam hal ini banyak sekali moralitas politik yang terabaikan. Mengenai tragedi Kanjuruhan beberapa minggu yang lalu, setelah kejadian yang menyebabkannya dan bagaimana itu bisa terjadi, masih banyak bagian cerita yang belum selesai. Dalam kasus ini, berbagai pihak yang terlibat termasuk Menpora, PSSI, Panpel, Polri, PT LIB dan Emtek membuat pernyataan janggal dan membingungkan. Kita akan melihat ini ketika kita menyelami lebih dalam penyebab tragedi itu. Saat PSSI diwawancarai, Ketua PSSI Mochamad Iriawan selaku Ketua Persatuan Sepak Bola Liga seharusnya tidak melepaskan tanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan di Panpel dan sebaliknya. Dia harus menjadi Ketua PSSI dengan moral politik yang baik, dia harus berani menilai dan bereaksi bahkan bertanggung jawab atas tragedi itu. Jadi antara Ketua PSSI dan Panpel, mereka harus berpikir lagi jika mereka cukup mampu untuk mengatasi tragedi ini. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan Menpora. Jika seseorang menjadi pemimpin, berarti ia harus mampu mengimplementasikan masalah yang ada dan mampu memberi atau menyelesaikannya. Dan jika Anda tidak mampu membelinya, lebih baik menyerahkan kursi Anda. Apalagi posisi Mochamad Iriawan sebagai ketua PSSI kini terancam dari berbagai penjuru akibat imbas dari tragedi Kanjuruhan.
ADVERTISEMENT
Dalam tragedi itu, berbagai pihak saling menyalahkan. Saya dapat melihat bahwa tidak ada akuntabilitas dalam tragedi ini karena moralitas politik setiap pemimpin tampaknya menghilang. Karena tragedi adalah celaan terhadap situasi politik kita. Akhlak bangsa ini sudah tidak berlaku lagi di sini dan terbukti selama ini tidak ada pihak atau pemimpin yang mau mengaku sebagai tuannya. Dan jika dikaitkan dengan pengunduran diri Perdana Menteri Inggris, maka dapat diasumsikan bahwa Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang merupakan ketua umum PSSI mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden PSSI dan menegaskan etika PSSI. Karena tragedi ini tidak bisa disebut tanggung jawab bersama, karena jika pemimpin mengatakan itu, berarti dia tidak ingin menyalahkan siapa pun atas tragedi ini. Dan itu menunjukkan moral pemimpin.
ADVERTISEMENT
Apalagi ketika hasil kajian BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) tentang gas air mata, polisi memastikan bahwa gas air mata tidak menimbulkan banyak korban. Namun, hal itu tidak menghilangkan fakta bahwa kematian massal Kanjuruhan disebabkan oleh gas air mata. Kemudian sebuah artikel yang menekankan bahwa tidak ada gas air mata yang ditembakkan di tribun menunjukkan bahwa polisi juga tidak ingin menargetkan tersangka dalam kasus ini. Kita juga belajar dari kenyataan bahwa banyak pemimpin dan pejabat pemerintah mencoba memanipulasi sesuatu yang sebenarnya menjadi inti masalahnya, yaitu gas air mata.
Integritas moral polisi juga baru-baru ini dipertanyakan terkait pembunuhan Brigpol. Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Padahal, kejadian ini melibatkan 97 orang dari berbagai tugas dan tanggung jawab kepolisian. Selain itu, termasuk juga keterlibatan mafia narkoba dan perjudian online. Belum lama ini, Kapolda Sumbar Irjen Teddy Minahasa juga terlibat kasus narkoba. Teddy Minahasa juga diduga mengawasi oknum polisi korup yang menjual barang bukti narkoba. Dari sini sangat jelas bahwa moralitas aparatur negara telah hilang, aparatur negara yang dipercaya masyarakat tidak mencerminkan bagaimana aparatur negara berperilaku. Juga kepala polisi yang tugasnya memberantas hal ini, sebenarnya ikut campur.
ADVERTISEMENT
Jadi dalam beberapa kasus kita juga dapat melihat bagaimana moralitas pemimpin tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat kita. Karena jika seorang pejabat dengan moral politik yang buruk nantinya akan mempengaruhi berfungsinya struktur jabatan saat ini. Dan memang benar jika pejabat publik tidak bisa menyelesaikan masalah di negara ini dengan membuat kebijakan yang diterima semua orang, lebih baik jika pejabat itu mengundurkan diri karena dia tahu cara berpikirnya tidak sejalan dengan kebijakan tersebut dan etika membingungkan negara.