Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Liem Koen Hian: Peranakan, Perlawanan, dan Pemikiran
14 Desember 2024 18:48 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Velmi Dian Dana Dyaksa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SELAYANG PANDANG
Masyarakat Tionghoa di Indonesia berkembang menjadi sebuah kekuatan sosial-ekonomi. Pada masa kolonial berkat kelihaian mereka dalam mencari uang, peran mereka sering kali dijadikan perantara antara masyarakat bumiputra dan orang-orang Belanda. Kehidupan sosial masyarakat Tionghoa pun demikian, mereka lebih memilih untuk hidup dengan kelompoknya sendiri dan membuat pemukiman yang terpisah dengan masyarakat bumiputra yang dinamakan “Pecinan”. Sistem pemukiman ini terbentuk karena campur tangan pemerintah kolonial yang dikenal dengan sistem wijkenstensel dan passenstelsel.
ADVERTISEMENT
Produk kebijakan pemerintah kolonial tersebut sangat efektif dalam menciptakan kondusivitas dalam segala aspek seperti administratif, ekonomi serta sosial. Hal ini pun diperparah dengan adanya sistem apartheid yang menciptakan stratifikasi sosial berdasarkan ras di Hindia Belanda. Sistem apartheid membagi masyarakat pada kala itu menjadi tiga golongan: (1) orang-orang Eropa (2) orang-orang Timur Jauh seperti Tionghoa dan Arab (3) orang-orang bumiputra (pribumi). Produk kebijakan kolonial ini melahirkan stigma-stigma tentang eksklusivitas orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.
Masyarakat Tionghoa terbagi lagi menjadi dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok. Tionghoa Peranakan merupakan sebutan bagi orang-orang Tionghoa yang berarti “keturunan” dan merujuk pada orang Tionghoa yang telah lama bermukim dan terkadang kawin dengan masyarakat setempat. Hal ini membuat terjadi asimilasi secara kebudayaan antara masyarakat setempat dan Tionghoa. Tionghoa peranakan yang telah mengadopsi budaya lokal dan berasimilasi di wilayah yang mereka tempati sehingga tidak memiliki masalah dalam berbaur dengan masyarakat setempat. Di Satu sisi Tionghoa totok sendiri merujuk pada masyarakat Tionghoa yang merupakan pendatang atau baru bermukim dan di sisi lain Tionghoa totok yang baru saja tiba tentu masih memegang teguh budaya asal mereka dan terkadang pula berujung pada sifat chauvinistik
ADVERTISEMENT
Abad ke-20 menjadi momen penting bagi sejarah pergerakan nasional Indonesia. Diskriminasi yang diterima oleh orang-orang Tionghoa melalui kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan sentimen antar etnis menjadi penyebab utama timbulnya semangat perlawanan. Perlawanan orang-orang Tionghoa pun tidak luput karena adanya faktor pendidikan yang melahirkan kaum intelektual dan melakukan perlawanan melalui berbagai bidang seperti pers dan politik. Satu sisi pendidikan ini pula menjadi dasar penting dalam mengubah mentalitas masyarakat Tionghoa khususnya generasi muda dalam mengidentifikasi diri sebagai “Indonesia” tanpa meninggalkan ke-Tionghoa’an mereka. Pengaruh pemikiran dari luar seperti Pan-Asianisme memiliki dampak yang besar pula dalam membangkitkan semangat perlawanan terhadap imperialisme serta memperkuat solidaritas antar bangsa Asia, peristiwa ini pun mempengaruhi kesadaran dan pandangan politik masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan politik masyarakat Tionghoa pada kala itu terpecah dalam orientasi ideologi yang berbeda-beda. Orientasi politik masyarakat Tionghoa terbagi menjadi tiga arus yang berkiblat ke Tiongkok (Sin Po), Belanda (Chung Hwa Hui) dan Indonesia (Partai Tionghoa Indonesia). Adanya perbedaan ideologi politik di kalangan bangsa Tionghoa mewarnai perang wacana tentang kewarganegaraan di Indonesia kala itu. Seperti Chung Hwa Hui yang memperjuangkan kesetaraan mereka untuk mendapatkan kesetaraan dengan orang-orang kulit putih. Sin Po sebagai corong kebebasan pers yang berorientasi pada nasionalisme Tiongkok yang dicetuskan oleh Sun Yat Sen, menentang keras imperialisme dan kolonialisme sehingga, Sin Po menaruh simpati bagi pergerakan nasional. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) menjadi wajah nasionalisme yang turut berjuang bersama organisasi pergerakan lainnya yang berproses menjadi “Indonesia”.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang Partai Tionghoa Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari seorang Tionghoa peranakan bernama Liem Koen Hian. Liem merupakan motor penggerak masyarakat Tionghoa yang dikenal karismatik dan tajam dalam mengkritik. Latar belakang Liem sangat dipengaruhi oleh situasi sosial politik Hindia Belanda dan hubungan antar ras di Hindia Belanda yang kompleks. Liem Koen Hian melalui media dan aktivitas politiknya berusaha menjembatani ketegangan ini dengan mendukung gagasan bahwa orang Tionghoa harus menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia tetapi juga harus mempertahankan identitas budaya mereka. Dasar pemikiran ini dikenal Indonesierchap dan sebagai salah satu aktor penting dalam sejarah pergerakan nasional namun sering terpinggirkan dalam narasi arus utama. Biografi Liem Koen Hian memberikan perspektif alternatif tentang bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia dipahami, khususnya dalam konteks partisipasi dan kontribusi komunitas Tionghoa yang sering diabaikan.
ADVERTISEMENT
Riwayat Hidup Liem
Liem Koen Hian lahir pada tahun 1896 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara dan selayaknya masyarakat Tionghoa peranakan pada umumnya, ayahnya bekerja sebagai wirausaha. Sebagai seorang Tionghoa, ia setidaknya dapat mengenyam pendidikan di Europesche Largere School meskipun tidak menamatkan pendidikannya. Pasca putus sekolah, Liem mencoba peruntungan dengan mengadu nasib ke Balikpapan dan bekerja di sektor administrasi pada perusahaan minyak Shell. Bekerja sebagai kerah putih di perusahaan kilang minyak kurang diminati oleh Liem dan akhirnya, Ia mencoba peruntungannya di sektor jurnalistik. Liem akhirnya pulang ke kampung halamannya di Banjarmasin dan bekerja di perusahaan surat kabar “Penimbangan”, surat kabar ini merupakan surat kabar yang dimiliki oleh Tionghoa Peranakan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1915 dan meletusnya Perang Dunia 1, Liem memutuskan untuk mencari peruntungan yang lebih baik dengan mengadu nasib ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, ia bekerja di perusahaan surat kabar Tjhoen Tjhioe meskipun hanya sebentar dan Liem pula mencoba mendirikan surat kabar mingguan Soon Lim Poo di tahun 1917 dan 1 tahun setelahnya menjadi kepala redaksi pada surat kabar Soeara Soematra. Surat kabar Soeara Soematra merupakan mitra bagi koran Sin Po di Sumatera untuk menyebarkan semangat nasionalisme Tiongkok. Karir Liem sebagai kepala redaksi di Medan berakhir di tahun 1921 dan akhirnya Liem pun kembali ke Surabaya. Kembalinya Liem di Surabaya disambut baik dengan undangan menjadi kepala redaksi di surat kabar Pewarta Soerabaia yang dimiliki oleh The Sian King.
ADVERTISEMENT
Idealisme Liem sebagai seorang nasionalis Tiongkok membuatnya keluar dari Pewarta Soerabaia pada tahun 1925. Mundurnya Liem sebagai kepala redaksi merupakan respons dari kekesalannya atas iklan yang dipasang oleh orang-orang barat di koran. Akibat iklan ini, Liem pun berkonflik dengan direktur Pewarta Soerabaia karena dianggap mencari untung sebesar-besarnya. Tidak lama setelah itu, Liem pun bergabung di surat kabar Soeara Poebliek hingga pada tahun 1929. Pada tahun 1929 dan ujung tahun 1920-an menjadi momentum penting bagi perkembangan perjalanan hidupnya karena terlibat dalam mendirikan surat kabar Sin Tit Po dan menjadi kepala redaksi.
Pada tahun 1930-an setidaknya terjadi perubahan fundamental bagi bangsa Indonesia dan Liem Koen Hian secara politik. Variabelnya tentu beragam seperti peristiwa Sumpah Pemuda (1928), pemberontakan komunisme (1926), malaise (1929), dan lain-lain. Pemberontakan komunisme dan pemikiran dr. Tjipto Mangunkusumo tentang “Indier Burgerschap” membuat Liem mencetuskan pemikiran tentang kewarganegaraan Tionghoa. Bagaimana posisi warga Tionghoa selepas kemerdekaan Indonesia tentu menjadi hal yang sangat fundamental. Akhirnya pemikiran Indonesierschap pun hadir dan menjadi landasan bagi perjuangan Liem dan kelompok Tionghoa peranakan yang berorientasi pada nasionalisme Indonesia. Liem meyakini bahwa masyarakat Tionghoa adalah bagian dari kekayaan budaya yang di Indonesia. Pemikiran Liem mengkritik pula nasionalisme Tiongkok dan pro-Belanda yang menganggap perjuangan kaum Tionghoa bertujuan agar kedudukan mereka sejajar dengan masyarakat barat.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1932, Liem Koen Hian bersama beberapa rekan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Tujuan utama PTI adalah memperjuangkan hak-hak politik dan sosial masyarakat Tionghoa di Indonesia, serta menempatkan mereka sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia yang lebih luas. Ini adalah langkah revolusioner karena sebelumnya banyak komunitas Tionghoa yang lebih memilih menjaga jarak dari politik bumiputra, sebagian besar karena kebijakan pemerintah kolonial yang menanamkan rasa keterpisahan di antara kelompok etnis.
PTI di bawah Liem Koen Hian dengan tegas menolak kebijakan dualisme kultural yang ditekankan oleh pemerintah kolonial, di mana masyarakat Tionghoa harus memilih antara identitas Tionghoa atau Hindia Belanda. Liem melihat identitas Indonesia sebagai satu-satunya pilihan untuk menciptakan solidaritas nasional yang utuh. Meski demikian, perjuangan Liem menghadapi banyak tantangan, baik dari dalam komunitas Tionghoa yang merasa terancam dengan gagasan integrasi, maupun dari pemerintah kolonial yang mencurigai setiap gerakan yang bertujuan memperkuat persatuan nasional.
ADVERTISEMENT
Salah satu kontribusi terbesar Liem Koen Hian adalah membangun jembatan antara komunitas Tionghoa dan komunitas bumiputra. Dengan advokasi yang gigih, Liem mendorong masyarakat Tionghoa untuk berpartisipasi dalam perjuangan nasional, baik melalui media maupun politik. Pandangan Liem bahwa komunitas Tionghoa harus berdiri bersama dengan masyarakat Indonesia dalam perjuangan melawan kolonialisme menandai langkah penting dalam memperluas spektrum nasionalisme Indonesia yang lebih inklusif dan multikultural. Meski PTI tidak sebesar partai-partai bumiputra seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), pengaruhnya dalam membentuk kesadaran politik di kalangan Tionghoa sangat signifikan. Selain itu, PTI juga menjadi forum di mana dialog antara berbagai etnis dapat terjadi, memungkinkan gagasan tentang kebangsaan Indonesia yang melampaui batas-batas rasial semakin berkembang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Liem Koen Hian memilih untuk menetap di Singapura. Meski demikian, warisannya dalam pergerakan nasional tetap terasa. Kontribusinya dalam menyatukan komunitas Tionghoa dengan perjuangan nasional Indonesia adalah salah satu faktor penting yang memperluas basis dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian adalah sosok yang memahami pentingnya solidaritas lintas etnis dalam perjuangan melawan kolonialisme. Dengan menggunakan jurnalisme dan politik sebagai sarana perjuangan, Liem tidak hanya memperjuangkan hak-hak komunitasnya tetapi juga membuka jalan bagi visi kebangsaan yang lebih inklusif. Warisan Liem masih relevan hingga hari ini. Di era modern, ketika Indonesia terus berupaya menjaga harmoni antar etnis dan memupuk nasionalisme yang inklusif, contoh dari Liem Koen Hian sebagai seorang pemimpin yang melampaui batasan rasial dan budaya tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang.
ADVERTISEMENT
Warisan Liem
Liem Koen Hian adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia yang kerap tidak mendapatkan pengakuan yang layak. Sebagai seorang jurnalis, politisi, dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Liem berperan besar dalam membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa dan mendorong mereka untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui surat kabar Sin Tit Po, Liem menjadi salah satu suara utama yang memperkenalkan dan mempromosikan gagasan kebangsaan Indonesia, menciptakan kesadaran bahwa komunitas Tionghoa juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Sebagai seorang pemimpin yang visioner, Liem menolak pembagian identitas etnis yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial dan memilih untuk mendorong solidaritas lintas etnis antara masyarakat Tionghoa dan bumiputra.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Achdian, Andi. Ras, Kelas, Bangsa: Pergerakan Antikolonial di Surabaya Abad ke-20. Tangerang: Marjin Kiri, 2023.
Agustinus, Michael. “Dari Nasionalisme Cina Hingga Indonesierschap: Pemikiran Liem Koen Hian tentang Kedudukan Orang Tionghoa di Indonesia (1919 – 1951).” FIB UI. Universitas Indonesia, 2012.
Andayani, Susi, ‘PEMIKIRAN INDONESIERSCHAP LIEM KOEN HIAN (1929-1951)’, Risalah, 4.1 (2017). pp. 12-13.
Husain, Sarkawi B. “Kesatuan dalam Keberagaman: Pasang Surut Pembauran Orang-Orang Tionghoa di Surabaya.” Literasi 3, no. 1 (2013): 26.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
———. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.
Kusmayadi, Yadi. “Sejarah Runtuhnya Dinasti Mantsu Awal Abad ke 20.” Jurnal Artefak 3, no. 2 (2018): 91–102.
Rochmawati, R. “Pembauran yang Tak Pernah Selesai.” Jurnal Masyarakat dan Budaya 6, no. 2 (2004): 105–18.
ADVERTISEMENT
Sukirni, Sri. “Permukiman Tionghoa di Surakarta pada Tahun 1900-1940.” FIS UNY. Universitas Negeri Yogyakarta, 2017. doi:10.1088/1751-8113/44/8/085201.
Suryadinata, Leo. “Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia.” Wacana 1, no. 2 (1999): 223–47.
———. “The search for national identity of an Indonesian Chinese : a political biography of Liem Koen Hian.” Archipel 14, no. 1 (1977): 43–70. doi:10.3406/arch.1977.1357.