Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rebutan Suara Tak Terdengar Kelompok Difabel untuk Pilkada Serentak 2024
15 Oktober 2024 10:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari aan ardianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebulan sekali biasanya fasilitator Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyelenggarakan ngaji Al Qur’an Braille bagi kelompok disabilitas atau difabel tuli dan runggu.
ADVERTISEMENT
Meski kegiatannya mengaji – melafazkan ayat-ayat suci al Qur’an, namun kegiatan ini sepi sunyi tidak terdengar pelafalan atau pengejaan huruf-huruf hijaiyah.
Memang begitu kondisi kelompok difabel tuli dan runggu, kehidupan mereka sunyi tidak jarang juga sepi. Komunikasi mereka ditampilkan melalui gerakan-gerakan, bisa tangan, badan, termasuk juga mimik muka, dan gerakan mulut.
Suara mereka tidak terdengar, meski jumlah mereka banyak – ramai memadati ruang Aula Gedoeng Moehammadijah Jl. KH. Ahmad Dahlan, No. 103, Kota Yogyakarta.
Tentang jumlah kelompok difabel tidak pernah menemukan kata mufakat, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Sosial (Kemensos), dan lain-lain tidak pernah sama.
Dari beberapa data yang kami himpun, angka difabel di Indonesia rata-rata sekitar 22 juta koma sekian jiwa, jika dipersentasekan jumlahnya berkisar 8 sampai 10 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Data tersebut tidak hanya berisi jenis difabel tuli dan runggu, tetapi juga daksa, netra, dan lain sebagainya. Angka-angka yang keluar di ruang publik untuk jumlah difabel itu diyakini masih di bawah angka real, sebab banyak faktor yang mengaminkan kenyataan itu; seperti terjadinya kecelakaan yang memakan korban dan keluarga yang malu untuk mengungkapkan bahwa ada anggota keluarga tersebut ada yang difabel.
Pada tahun politik 2024, suara-suara tak terdengar dari kelompok-kelompok difabel ini menjadi ‘tambang’ yang siap dikeruk dan dieksploitasi – bahkan sampai habis-habisan.
Politis selain membutuhkan suara mereka, juga menggugah empati dan simpati publik atau calon pemilih dengan menampilkan ‘keberpihakan–sharing caring”’ politisi tersebut dengan kelompok difabel dengan bermodalkan Goban, yang dirupakan setengah liter minyak goreng, dua bungkus mie instan, seperempat gula pasir, dan dua kotak teh cap Tjatoet.
ADVERTISEMENT
Mahar politik seharga Goban tersebut diserahkan dalam goodie bag yang bergambar muka si politisi dan logo partai. Diserahkan, difoto, dan diedarkan sebagai gambaran sosok yang peduli.
Politisi setidaknya mendapat dua sisi keuntungan atas yang dilakukannya itu, pertama merebut suara kelompok difabel itu sendiri, dan yang kedua – simbolisnya dengan kelompok difabel diharapkan memancing pemilik hak suara selain difabel karena tersentuh filantropinya.
Dari Suara yang Diperebutkan sampai Susahnya Mengakses Kotak Suara
Kenyataan diatas merupakan sebagian kecil persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh kelompok difabel di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS). Setelah masuk ke bilik suara, persoalan lain datang lagi; yaitu masalah inklusivitas penyelenggaraan Pemilu.
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah bagaimana difabel dapat menjadi subyek tidak lagi menjadi objek politik, serta bagaimana sistem politik dapat lebih baik mewakili dan memenuhi kebutuhan mereka.
ADVERTISEMENT
Menghadapi berbagai hambatan fisik dan aksesibilitas, difabel seringkali mengalami kesulitan dalam mengakses tempat pemungutan suara atau menghadiri pertemuan politik. Selain itu, persepsi masyarakat terhadap kemampuan mereka juga dapat menjadi penghalang bagi partisipasi politik yang lebih aktif.
Maka diperlukan teknologi modern dan inovasi desain dapat membuka pintu bagi inklusi yang lebih besar. Misalnya pemungutan suara online, kampanye digital, dan aksesibilitas fisik yang lebih baik dapat mempermudah partisipasi difabel dalam kegiatan politik.
Ketua Kelompok Bank Difabel Ngaglik, Sleman, Kuni Fatonah pernah menyampaikan, pemilu yang inklusif di Indonesia dalam bayangannya adalah kegiatan penyelenggaraan pemilu yang ramah dan melayani semua termasuk didalamnya ada pemilih itu sendiri, dan kandidat dengan keragaman identitas, serta menghilangkan hambatan bagi kelompok-kelompok rentan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pemilu harus aksesibel – sehingga memungkinkan setiap warga negara bisa menyalurkan hak pilihnya. Dalam pelaksanaan pemilu yang aksesibel perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini, seperti penggunaan bahasa isyarat atau runing teks bagi difabel rungu, informasi berbentuk audio atau huruf braille untuk difabel netra.
Termasuk pemilihan lokasi yang mudah dijangkau oleh difabel fisik; misalnya lokasi yang medannya rata, tidak bertangga, tidak berbatu, tidak berumput tebal, tidak melompati parit, serta lebar pintu TPS yang bisa diakses pengguna kursi roda, dan tinggi meja dan letak kotak suara yang mudah diakses.
Pemilu inklusif tidak hanya menyediakan sarana fisik yang aksesibel, melainkan juga membuka ruang yang setara untuk kelompok difabel sebagai warga negara yang juga memiliki hak untuk dipilih.
ADVERTISEMENT
Keterwakilan dalam posisi kepemimpinan, diharapkan mampu meningkatkan jumlah difabel dalam posisi kepemimpinan politik merupakan langkah kunci untuk memastikan perspektif mereka diwakili secara adekuat.
Ruang yang setara ini tidak hanya sebatas mencakup pemilihan umum, tetapi juga pencalonan dan pelibatan aktif dalam proses keputusan.
Dengan meningkatnya kesadaran akan hak politik difabel, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama menciptakan sistem politik yang lebih inklusif.
Langkah-langkah konkret, seperti aksesibilitas yang lebih baik, representasi politik yang lebih banyak, dan advokasi untuk hak politik, akan memastikan bahwa difabel bukan hanya menjadi subyek politik, tetapi juga memiliki peran aktif dalam membentuk masa depan politik yang lebih adil dan setara.