Konten dari Pengguna

Regulasi Ekspor Pasir Laut: Demi Kesehatan Laut atau Cuan Golongan Oligarki?

Abdullah Fahrieza
Universitas Andalas Jurusan Ilmu Hukum
8 Juli 2023 12:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdullah Fahrieza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah yang menerbitkan sebuah regulasi Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, dinilai oleh para aktivis lingkungan dan Non-Governmental Organization (NGO) lingkungan sangat mencederai komitmen bersama dalam perlindungan ekosistem laut saat ini.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan ada beberapa pasal yang tidak sejalan dengan perlindungan ekosistem, yakni pada Pasal 6 memberikan izin kepada sejumlah pihak untuk dilakukan pengerukan pasir laut dengan dalil mengendalikan hasil sedimentasi laut.
Kemudian pada Pasal 8 mengatur alat yang melakukan pembersihan sedimentasi berupa kapal isap, yang mana kapal tersebut boleh berbendera asing tapi lebih diprioritaskan berbendera Indonesia.
Dan, Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tersebut mengizinkan untuk mengeksploitasi pasir laut dan melakukan ekspor pasir laut, bunyi ayat 1 menjelaskan bahwa hasil sedimentasi laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur.
Sebagaimana bunyi pada ayat 1 harmonisasi dalam ayat 2 menjelaskan bahwa pemanfaatan hasil sedimentasi di laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Jika menilik histori sebelumnya pada tahun 2003, bahwa pemerintah saat itu telah menghentikan kegiatan ekspor pasir laut melalui SK Menperindag No. 117/MPP/KEP/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
ADVERTISEMENT
Telah dihentikan 20 tahun lamanya ekspor pasir laut, yang mana saat itu alasan penghentian ekspor pasir laut mencegah kerusakan lingkungan dan pulau-pulau kecil di tahan air yang berpotensi tenggelam.
Kegiatan eksploitasi pasir laut jika hanya dilihat berdasarkan keuntungan jangka pendek tidaklah sebanding dengan dampak kerugian yang akan terjadi ke depannya.
Ini bukanlah sebuah omong kosong belaka. Dapat dilihat berdasarkan fakta pada tahun 1997 hingga 2002 Indonesia menjadi pemasok utama ekspor pasir laut pada Singapura untuk proyek perluasan lahan, yang mana saat itu pengerukan pasir laut berasal dari Kepulauan Riau dengan rata-rata pengiriman lebih dari 53 juta ton pasir laut setiap tahunnya.
Dikarenakan masifnya aktivitas pengerukan tersebut mengakibatkan Pulau Nipah nyaris tenggelam disebabkan abrasi, dan bukan hanya itu saja berkat reklamasi lahan Singapura yang luas wilayah awalnya 578 kilometer persegi bertambah 25 persen lebih yakni seluas 719 kilometer persegi.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Berlandaskan perkara tersebut menurut Achmad Nur Hidayat ahli ekonom dan pakar kebijakan publik sekaligus CEO Narasi Institute, dengan adanya perizinan kembali ekspor pasir laut hal ini bagaikan menjual pulau NKRI, yang akan memperluas batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara lain dan memperkecil wilayah ZEE Indonesia itu sendiri.
Dalih pemangku jabatan di pemerintahan bahwa kegiatan pengelolaan sedimentasi tersebut untuk kesehatan laut dan tidak akan rusaknya ekosistem di laut, tapi nyatanya yang terjadi pada sejumlah pulau yang ada di Riau rusak akibat abrasi yang diakibatkan pengerukan pasir laut.
Pulau-pulau tersebut yakni pulau Lingga, Rupat, dan Karimun, karena situasi tersebut para nelayan kesulitan untuk mendapatkan ikan, padahal dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
ADVERTISEMENT
Apakah ini yang dinamakan greenwashing gaya pemerintah yang seakan-akan mengedepankan pemulihan lingkungan padahal memberikan kekhususan untuk kepentingan bisnis dan oligarki.
Menurut Afdillah Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, nyatanya pengerukan pasir laut sudah dapat dipastikan menghancurkan ekosistem laut, aktivitas ini membawa dampak percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah yang dilakukan pengerukan, karena mengubah kontur dasar laut yang berakibat pada pola arus dan gelombang laut.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Dengan semakin besarnya aktivitas manusia yang secara masif mengeksploitasi laut maka saat ini akan banyak terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan, seperti ancaman abrasi, tenggelamnya pulau, kekeruhan, dan tanggungnya ekosistem dan juga biodiversity, hingga potensi konflik masyarakat yang tinggal di area sekitar eksploitasi.
Melalui hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Lampung menyebutkan ada beberapa dampak negatif kegiatan penambangan lingkungan hidup, di antaranya menurunkan kualitas air laut dan pesisir, meningkatkan pencemaran pantai, meningkatkan abrasi dan erosi laut, bertambah keruhnya air laut, dan meningkatkan banjir air rob.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 tidak setuju atas regulasi Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023. Dia menilai kebijakan ini merugikan rakyat dan merusak lingkungan.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi, ia berpandangan bahwa program ini tidak hanya mengekspor pasir laut tapi menjual tanah air karena nantinya terjadi penyusutan wilayah tanah air.
Setelah penjelasan yang telah diterangkan tersebut seharusnya pemerintah dapat membuat kebijakan berdasarkan penilaian yang objektif berdasarkan fakta-fakta yang menyeluruh, dengan melakukan analisis secara komprehensif apakah kebijakan pengerukan dan ekspor pasir pantai akan menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan menghambat kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayah eksploitasi sedimentasi laut.
Dan seharusnya pemerintah melibatkan ahli lingkungan, akademisi, dan masyarakat yang akan terdampak nantinya terhadap kebijakan regulasi tersebut agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
ADVERTISEMENT