Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
2022, Banjir Pecinta
29 Desember 2021 9:31 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar fak hukum Universtas Islam Malang
dan penulis buku hukum dan agama
ADVERTISEMENT
Tahun 2022 banyak yang meramal kalau di neegeri ini akan banyak lahir manusia yang punya kegairahan dalam mencintai hidupnya. “Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan”, demikian ujar reformis India Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan, kemanusiaan, maupun kebangsaan ditentukan oleh cinta yang bersemi dalam diri manusia.
Dalam ranah filosofis, Cinta menjadi kekuatan moral yang menggerakan terjadinya pertemuan antar segmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, ekonomi, status social, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya.
Senyatanya cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antar komponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan menkultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya).
ADVERTISEMENT
Melalui cinta, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak egoisme yang perlu dikalahkan, ada birahi kepentingan duniawi yang tidak selayaknya dikiblatkan, dan ada tuntutan-tuntutan bercorak kepuasan dan kebahagiaan instan yang sepatutnya ditundukkan.
Cinta adalah kekuatan yang mampu menyangga sejatinya kehidupan. Seseorang dan kelompok yang semula terseret dalam arus kesewenang-wenangan atau praktik-praktik yang berpola ketidak-beradaban dapat disadarkan oleh kekuatan cinta, yang menempatkan manusia sebagai subyek yang wajib dimartabatkan, dan bukan “dibinatangkan”.
Kecenderungan berlaku irasional, zalim dan tak berperikemanusiaan atau menghadirkan zona dan rimba binatang seperti yang disindir oleh Thomas Hobess melalui jargon “homo homini lupus” atau manusia adalah serigala bagi yang lain, manusia adalah pemangsa bagi sesama manusia, manusia itu golongan makhluk perampas, sosok yang gampang mengorbankan orang lain, idealnya tak ada dalam “kamus”-nya pecinta.
ADVERTISEMENT
Itulah yang juga dideskripsikan oleh penyair sufi besar dari Balakh bernama Jalaluddin Rumi lewat karya Monumentalnya Mastnawi delapan abad lalu yang mengungkapkan lewat syairnya, “tanpa cinta, dunia akan membeku, cinta ibarat lautan luas nan dalam. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan dan antar sistem hidup yang berbeda”.
Setiap pecinta sejati tentulah punya usaha yang gigih atau setidak-tidaknya mengasah kebeningan nuraninya untuk menjadi sosok yang hidupnya diabdikan untuk Tuhannya, sesamanya yang sedang “terjajah” kemiskinan, dan makhluk hidup lainnya. Baik pikiran maupun perilakunya tidak pernah dibiarkan stagnan atau diarahkan dan diberdayakan selalu mengembara untuk menjelajahi kesulitan yang diderita sesamanya yang sedang miskin.
ADVERTISEMENT
Pecinta sejati itu sudah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW, “tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudara-saudara (sesama) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri” Cinta dalam sabda Nabi ini merupakan wujud toeologi pembebasan berbasis kemanusiaan.
Manusia tidak akan bermakna kedekatannya dengan Tuhan jika dalam hidupnya tidak rajin melakukan investasi berupa kedekatan dengan sesama manusia. Kedekatan dengan sesama harus dibuktikan dengan mencintainya. Cintanya ini dapat dijadikan standar keimananya ketika cintanya benar-benar sebagai apresiasi pengabdian yang ditujukan untuk membebaskan derita saudara-saudaranya yang sedang kesulitan memerdekakan dirinya dari patologi kemiskinan.
Seseorang umumnya hanya bisa menyaksikan dan bahkan mengeksploitasi penderitaan orang lain, tetapi lupa menyikapi penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Jika seseorag bisa menjadikan derita orang lain sebagai bagian utama dari “proyek” perjuangannya sendiri, maka seseorang ini baru layak menyandang prediket beriman.
ADVERTISEMENT
Saat seseorang sedang menjalankan doktrin keagamaan dan mendambakan lezatnya ketakwaan, maka dirinya harus menjadi penyebar dan penyubur cinta di tengah masyarakat. Karena dalam cinta itu ada kerelaan menerimadan menghormati perbedaan, maka idealnya peran-peran yang tampil adalah kesejukan, kearifan, toleransi, dan humanisasi (memanusiakan manusia). Manusia di 2022 akan tampil demikian.
Prinsip memanusiakan manusia berarti menjauhkan manusia lain dari praktik-praktik ketidakadaban, barbar, atau aksi-aksi yang bercorak mendatangkan bahaya bagi kesehatan dan keselamatannya. Manusia lain dibikinkan iklim ekonomi, social, agama, dan politik yang membuatnya bisa hidup damai, nyaman, dan sejahtera atau bahgaia. Selagi, manusia lain masih hidup dalam ketakutan, seperti terancam nyawanya, maka bukan prinsip pemanusiaan yang dilakukan, tetapi penyuburan ketidakadaban atau dehumanisasi.
ADVERTISEMENT
Sialah-sialah seseorang yang beragama jika di dalam hidupnya tidak diwarnai dengan aktifitas penyebaran dan pengimplementasian cinta. Lebih sia-sia lagi jika seseorang ini berkedudukan sebagai pemimpin, yang kepemimpinannya krisis nilai-nilai cinta kepada rakyatnya.