Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Dibalik Pesan Umar untuk Jerussalem
17 Desember 2021 7:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku
ADVERTISEMENT
Penulis sejarah, khususnya tentang kerkembangan umat Islam sejak zaman Nabi, tenulah mengenal sahabat Umar bin Khattab. Suatu saat, Umar bin Khattab pernah mengingatkan mengenai kemungkinan kehancuran Jerussalem kepada seorang Uskup gereja.
Kata Umar “kota (Jerussalem) ini akan hancur jika kita kurang kuat iman. Apabila umat Islam menjual kebenaran dan mengumpulkan kekayaan serta mencari kenikmatan duniawi, kehilangan perangai yang baik, berhubungan dengan perempuan secara tak bermoral dan tak adil, gemar melakukan fitnah, cemburu dan iri hati, tidak bersatu dan unjuk kemunafikan, serta terperosok dalam perbu¬atan dosa, maka persatuan dan kedamaian akan musnah. Tinda¬kan-tindakan tercela ini akan menyebabkan perpecahan, perpi¬sahan dan kehancuran”.
Pesan Umar kepada Uskup Gereja itu mengisyaratkan, bahwa terjadinya disintegrasi, merekahnya persatuan dan kehancuran bangsa itu bukan disebabkan oleh pluralisme SARA, namun lebih disebabkan oleh reduksi dan degradasi akhlak relasi kemanusiaan-kebangsaan, distorsi kejujuran, membuminya kezaliman dan menyejarahnya perbua¬tan-perbuatan palsu, parasit dan menkultuskan kemaksiatan.
ADVERTISEMENT
Ada hikmah, bahwa pesan itu berkaitan dengan amanat sosial-politik kenegaraan, yang mempanglimakan kepen¬tingan rakyat dan negara di atas kepentingan eksklusif pribadi, golongan dan kekuatan politiknya. Pimpinan agama dan pemerintahan yang ber¬pengaruh kuat secara sosial, politik dan hukum diingatkan agar tak “memberhalakan” penyimpangan moral.
Pemimpin umat wajib di muka bumi ini erhijrah dari berhala-berhala duniawi yang disembah-sembahnya. Karena hal inilah yang bisa menghancurkan peradabannya, termasuk peradaban di Jerussalem..
Penyair besar asal Pakistan, Mohammad Iqbal juga mengajak pemimpin umat untuk bangun dari tidur lelap keter¬belakangannya melalui sajak berikut, “bangkitlah!, dan pikullah amanat ini di atas pundakmu, hembuskan panas nafas¬mu di atas kebun ini, agar harum-haruman narwastu meliputi segala, janganlah, jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak, hanya bernyanyi ketika terhempas di pantai, tapi jadilah kamu air bah, mengunggah dunia dengan amalmu”.
ADVERTISEMENT
Ajakan penyair itu ditujukan pada umat (manusia), khususnya segmen elit bangsa, termasuk pemimpin Indonesia yang sedang terbuai dan terbias oleh penyakit keduniaan yang menyesatkan dan menegasikan keberdayaannya sebagai khalifah fil-ardl yang idealnya cerdas, bermoral dan bereligiusitas-humanitas.
Tak sedikit penguasa-penguasa negeri ini (pemimpin Indonesia0 yang sedang asyik menikmati ragam pola hidup, relasi sosial-struktural, rajutan politik, orientasi ekonomi dan bangunan kultural primordial yang lebih memihak kepongahan, keserakahan, ketamakan dan bahkan kejahiliahan sistemik.
Pemimpin umat yang sedang tersesat jalan itu merupakan deskrip¬si sosok dan komunitas yang gagal menerjemahkan dan menyeja¬rahkan peran-peran positip yang mendisain wilayah kehidupan dunia ini sebagai arena juang menuju pembaruan dan pencera¬han rakyat.
Mereka terpesona dan terpedaya oleh magnit kepentingan (kesenangan) keduniaan, hedonisasi kekuasaan dan kekayaan. Mereka bangga bisa diperbudak nafsu, dihegemoni ambisi, menjual integritas moral, menggadaikan keimanan dan menkomo¬ditaskan komitmen kerakayatan dan kebangsaannya. Mereka agungkan apa yang disebut kaum milenial sebagai “ekstasi” gaya hidup, suatu praktik pember-halaan kesenangan dan kepuasan sesaat, tanpa mengindahkan kalau hal ini dapat mendestruksi dan merugikan diri sendiri, sesama dan jati diri bangsa.
ADVERTISEMENT
Sajak Iqbal di atas pun bermaksud membangunkan (baca: menya¬darkan) pemimpin umat yang lama terlelap di jalan kejahiliahan, memuja keterbelakangan, mengabsahkan penyakit-penyakit yang merawankan bangsa, menikmati ragam relasi bermuatan anomali dan menghalalkan aksi-aksi yang dapat menghancurkan bangsa ke dalam tataran kekalahannya.
Iqbal mengajak pemimpin umat berlomba meniti jalan hijrah, men¬inggalkan dan menegasikan perilaku serba tercela menuju perilaku serba mulia, membangun dan mewujudkan suatu “kebun” seperti masyarakat dan negara yang dipenuhi keharuman perbuatan yang dapat mengantarkan dan memediasi atas tercip¬tanya bangunan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sarat etos kosmopolitan. Isyarat ini sejalan dengan pesan Allah SWT, “se¬sungguhnya Allah tak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri berusaha merubahnya” (QS, 13: 11).
ADVERTISEMENT
Cendekiaan Islam M. Qurais Shihab berpendapat, bahwa ayat itu berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku, pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT, dan kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelaku¬nya adalah manusia sendiri.
Pendapat itu semakna dengan pesan Umar, yang mengisyaratkan, bahwa pembaruan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan merupakan amanat mulia manusia. Potret kehidupan manusia tak akan mencapai keningratannya, manakala ia tak punya etos juang tinggi untuk mereformasinya. Manusia adalah pemegang katub pengaman atas terbitnya fajar peradaban yang bernuansakan kesejukan, saling me¬nyayangi, melindungi hak privasi maupun publiknya atau memanusiakan sesama manusia.