Konten dari Pengguna

Janganlah "Membunuh" Cinta

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
3 Desember 2021 6:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang
dan Penulis Buku
ADVERTISEMENT
“Crescit amor nummi, quantum ipsa pecunia crevit” (Cinta uang tumbuh sejalan dengan bertambahnya uang. Semakin banyak mendapatkan uang, semakin bertambah cinta anda kepada uang), demikian kata mutiara yang ditulis Juvenalis, yang mengingatkan supaya setiap manusia tidak terjerumus mencintai atau mengabsolutkan uang.
Saat ada pejabat dilantik, logis jika kita bertanya, apakah mereka hanya akan lebih mencintai jabatan, pengaruh, dan uang yang diperolehnya dibandingkan dengan rakyat yang membutuhkan dicintainya lebih serius.
Itu juga menunjukkan, bahwa saat seseorang yang sedang menduduki jabatan , tak peduli berusia muda atau tua, saat cintanya pada kekuasaan berlebihan, sementara cintanya pada kepentingan rakyat kecil atau direduksi, maka niscaya dirinya terjerumus dalam perbuatan tercela.
“Jika anda kehilangan cinta, anda kehilangan kehidupan” (Ken Keyes)
ADVERTISEMENT
Pernyataan Keyes itu nyaris sama dengan pernyataan Mahatma Gandi, yang menyebut “tanpa cinta, dunia akan mati”.
Jika belajar soal cinta pada Keyes dan Gandi itu, maka identik mengajarkan pada 7 pemuda milenial untuk selalu menabur cinta dalam kehidupannya. Mereka ini menjadi “orang dekat” Presiden yang tentu saja wajar jika karena relasi eksklusifnya ini, rakyat berharap besar mereka bisa membuktikan sebagai subyek yang ikut mendisain masa depan pembangunan yang berbasis mencintainya.
Diingatkan juga oleh Nabi Muhammad SAW “tak (layak) disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai sesamanya sebagaimana kalian mencintai diri sendiri”. Sabda ini mengajarkan tentang kesalehan publik yang berelasi pada kesalehan vertical (hablumminallah). Allah tak akan mencintai seorang hamba (penguasa), yang penguasa ini tak mencintai sesamanya (rakyatnya).
ADVERTISEMENT
Standar istimewa mencintai sesama (rakyat) terletak pada sikap, prinsip, dan rasa cinta pada diri sendiri. Seseorang pada umumnya lebih mencintai dan bahkan mengultuskan dirinya dibandingkan cintanya pada orang lain. Terbukti tidak sedikit diantara para penguasa selama ini yang terjebak lebih mencintai diri sendiri dibandingkan mencintai agama dan tuhannya.
Dalam hadis itu, Allah juga mencoba menunjukkan nilai tawarnya yang tinggi, bahwa kebiasaan manusia (penguasa) yang lebih mencintai dirinya atau mengabsolutkan kepentinan privasi eksklusifnya dibandingkan kepentingan orang lain (rakyat) ini tetap tak bermaknakan apa-apa jika tak memancar secara deras kepada area penegakan (pemenuhan) atau perlindungannya. Sikap penguasa yang condong ke individualisme dan eksklusivisme diberikan secara denokratis olehNya untuk didekonstruksi dan diseimbangkan kembali lewat perwujudan jiwa humanitas dan egalitarianismenya.
ADVERTISEMENT
Jiwa humanitas dan egalitarianisme itu bermaknakan keberpihakan pada komitmen publik, seperti ikut melindungi, mengamankan, dan menjaga kenyamanan (keselamatan) hak-hak orang lain. Kalau organ tubuh bisa merasakan sakit, maka janganlah menimbulkan rasa sakit, derita, dan apalagi sampai mengakibatkan rusaknya organ tubuh sesamanya.
Kalau para penguasa, termasuk kaum muda milenial sangat menyayangi harta kekayaan yang dimilikinya, tentulah akan bisa memberikan manfaat publik jika sikap atau perilakunya ini menjadi basis moral-teologis bagi konstruksi sosial, ekonomi, dan politik bangsa.
Jika sikap dan perilaku itu yang ”membara” (membumi) di masyarakat, maka kaum muda milineal (para penguasa) ini layak disebut punya kesejatian teologis progresif dan humanistik, serta berekerakyatan. Keberimanannya terletak pada membuminya kesalehan struktural dan publik, mencintai rakyat yang tak dikalahkan oleh superioritas dan esklusifitas kepentingan individu, kroni, dan partai.
ADVERTISEMENT
Kesalahen struktural dan publik inilah yang bisa menjembatani terbentuknya iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yang mencerahkan. Bahkan iklim politik yang serba ganas, kejam, eksklusif, dan biadab, serta berpola ambiguitas dapat dicegah lewat pesonannya.
Tujuh abad lalu, Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar asal Balakh dalam karya monumentalnya berjudul Matsnawi mengungkapkan “tanpa cinta, dunia akan membeku. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan, dan antar sistem hidup yang berbeda”.
Ungkapan penyair itu menempatkan kata “cinta” sebagai nyawa yang menentukan kesejatin diri dan bangunan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Problem yang berat dapat dicairkan dan diprogresifitaskan lewat cinta. Cinta dapat menjembatani terbentuknya hubungan yang sehat antar individu di tengah pluralitas agama, sosial, kultur, ekonomi, edukasi, dan politik.
ADVERTISEMENT
Cinta pada rakyat atau sesama yang mengedepan atau jadi kekuatan privilitas dalam mengutamakan ”untuk tanah air” berarti mengalahkan panggilan kepentingan yang condong bersifat monologis, eksklusif, dan dehumanistik.
Para pemangku kekuasaan dari kaum muda milenial yang menyadari itu akan bisa tampil jadi subyek historis yang menghadirkan beragam atmosfir bagi terbentuknya banyak anak muda unggul seperti sosok anak muda militan dalam menjunjung tinggi kebenaran, tidak gampang tergelincir dalam praktik penyimpangan etik kekuasaan, dan tidak mudah terpapar oleh tawaran ideologis atau doktrin yang berpola mendestrusi hak kedamaian orang lain.
Lain halnya jika mereka terjerumus berkekuasaan tanpa cinta atau tak perlu kesejatian berkebenaran dan berkemanusiaan dalam konstruksi kekuasaan, maka barangkali doktrin Machiavelli yang sudah menjadi kekuatan teologisnya. Karena prinsip “het doel heiling de middelen” atau penghalalan segala macam cara yang didoktrinkannya merupakan ”sumber hukum” yang membuka kran pembolehan atau pembenaran pola dehumanistik dan ”animalistik”. Artinya perlakuan tak manusiawi atau ”membinatangkan” sesama (rakyat) dianggap sebagai segmentasi dari strategi untuk mewujudkan obsesi dan ambisi, termasuk mendulang kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi eksklusifnya.
ADVERTISEMENT