Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Saat Marwah dan Netralitas Kampus sebagai Laboratorium Pengetahuan Terancam
5 September 2023 15:17 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Salah satunya yang kemudian menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan yaitu terkait dibolehkannya kampanye di tempat pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dari keputusan MK yang sudah berhasil diketuk, setidaknya kita mulai menerawang kembali apakah keputusan itu tepat atau tidak. Karena ketukan itu bisa jadi menimbulkan politisasi pendidikan dengan terang-terangan, seperti barang yang sudah dilegalkan dan sudah mendapatkan cap halal yang kemudian siap dipasarkan.
Kita juga akan mempertanyakan kembali apakah pimpinan institusi lembaga pendidikan tidak melakukan tukar tambah jabatan atau sebaliknya. Sependek yang saya lihat, dalam perpolitikan di Indonesia tidak terlepas dari tukar-tambah jabatan, mulai dari tingkat SMA hingga perguruan tinggi diatur dalam dil-dilan politik.
Saling sikut sudah pasti dan tidak terelakkan dalam jabatan birokrasi pendidikan, seolah-olah sekarang jabatan dalam birokrasi pendidikan ditentukan oleh politik. Bahkan lebih mengerikan juga iya akan menjadi doctor kehormatan tanpa menghasilkan karya apapun.
ADVERTISEMENT
Kampus Sudah Terseret dan Terjerat
Saya yakin bila keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui kampanye di tempat pendidikan —meski dengan syarat tanpa atribut—akan menjadi ancaman besar bagi pendidikan itu sendiri serta bagi generasi bangsa tentunya. Kenapa demikian?
Sebab, nantinya yang dipertontonkan adalah kampanye yang memihak pada salah satu calon, perebutan kekuasaan antara pimpinan institusi pendidikan, dan sangat mudah sekali melakukan manuver kampanye memanfaatkan pelajar dan mahasiswanya untuk mendorong salah satu calon.
Membuka pintu kampanye dalam kampus/institusi pendidikan itu seperti membuka gerbang neraka yang siap membakar para mahasiswanya, karena dalam panggung sudah pasti di setting sedemikian rupa untuk calon yang mereka dukung.
Kalau memang kampus bersedia membuka ruang itu dan kampus harus menghadirkan betul-betul semua calon yang ada kalau memang kampus benar-benar mau menguji kemampuan para calon, kalau yang di undang hanya satu calon saya yakin itu adalah forum tukar tambah jabatan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019 saya pernah melakukan aksi demonstrasi di salah satu kampus di Solo. Ketika itu momen kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Salah satu kampus dari Solo mengundang salah satu calon dengan dalih “kuliah umum” untuk mahasiswa baru yang baru saja menginjak kampus beberapa hari.
Waktu melakukan aksi demonstrasi bukan atas dasar saya membenci calon yang hadir ataupun tidak suka, tapi yang saya benci dan tidak suka adalah mereka memanipulasi kuliah umum dengan politik kepentingan yang mengakibatkan kenetralan kampus terjerumus dalam politisasi pendidikan.
Kalau memang kampus mau menguji gagasan ataupun wacana para calon, kampus harus bisa menghadirkan semua calon. Biar apa? Biar benar-benar diuji dalam dunia akademik bukan hanya mendatangkan satu calon saja.
ADVERTISEMENT
Dalam kuliah umum yang hadir bukan hanya saja calon yang diundang, tapi mobil-mobil partai, relawan, juga ikut masuk dalam kampus. Serta ketua MPR yang sedang menjabat di salah satu partai pendukung calon juga ikut hadir. Itu menjadi pertanyaan sekaligus merasa sedih melihatnya.
Pola yang dilakukan oleh petinggi lembaga pendidikan sudah menjadi rahasia umum, walaupun mereka berdalih dengan memberikan kuliah umum ataupun seminar, tapi di belakang mereka "bersetubuh" untuk kepentingan dalam kemenangan dalam pemilihan presiden.
Bukan saya pesimistis ataupun tidak optimistis terhadap terbukanya kampanye dalam lembaga pendidikan, cuma realitas yang ada sangat mengkhawatirkan dengan keberlangsungan pendidikan yang mudah sekali terseret politik praktis. Sudah terseret, terjerat pula.
Barang kali diksi yang dipakai dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini harus dilakukan peninjauan kembali (PK) kembali karena dengan diksi kampanye, orang-orang akan menggunakannya seperti di jalanan. Bisa saja nanti para calon, bukan adu argumen ataupun gagasan dalam forum-forum institusi tapi akan menjadi forum saling menjelek-jelekkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu apakah keputusan MK ini sudah mempertimbangkan dengan penuh matang-matang sebelum mengetuk palunya atau justru sudah dapat "kue" untuk ketukan palunya?
Selepas dari itu memang politik tidak bisa kita memungkiri praktik-praktik menghalalkan segala cara untuk dilakukan. Dan, itu akan menambah daftar pimpinan lembaga pendidikan terjerat oleh politik praktis.
Pendidikan semakin hari semakin menjadi pasar, nyaris tidak satu pun institusi yang tidak mengkampanyekan calon-calon yang akan bersekongkol dengan oligarki.
Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, kampanye di lingkungan pendidikan sudah diizinkan. Para pemimpin institusi mulai mencari calon yang mana yang bisa mengangkatnya jadi menteri setelah menang pemilihan.
Sikap yang Harus Diambil KPU
Situasi ini mungkin akan mengerutkan jidat para perangkat komisi pemilihan umum (KPU). Atau memang akan membuat dirinya terasa membantu dalam proses pemilu nanti. Atau, justru akan membuat gebrakan baru dalam tata cara kampanye di lingkungan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa kita mungkiri polarisasi ini akan tumbuh dalam dunia pendidikan kalau KPU hanya berleha-leha tanpa membuat gerakan baru dalam membuat peraturan agar kampanye yang sudah disetujui tidak dimanfaatkan oleh para politisi. Pendidikan akan kehilangan rohnya sebagai laboratorium pengetahuan, ketika polarisasi ini berada dalam institusi pendidikan.
KPU harus tetap menjaga nalar akal sehatnya, karena KPU akan berperan penting dalam menghormati roh lembaga pendidikan sebagai persemaian pengetahuan, sehingga acaman terhadap pengetahuan bisa diminimalisir lewat aturan yang harus dibuat oleh KPU, atau membuat panduan khusus kampanye dalam institusi pendidikan.
Persoalan kampanye ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab, itu akan merusak jantung pengetahuan. Ketika jantung itu dirusak, maka rusak semua generasi bangsa selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan KPU, pemilih pada pemilu 2024 didominasi oleh kelompok generasi Z dan milenial, yakni sebanyak 56 persen dari total keseluruhan pemilih. Para pemilih muda pun menjadi incaran suara oleh para calon.
Suara-suara ini pun banyak berada dalam lembaga pendidikan—yang sangat mudah untuk digiring memilih para calon yang bukan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Sehingga berlakukanya kampanye di lingkungan pendidikan ini sangat menguntungkan sekali para timsesnya untuk berkolaborasi dengan para petinggi lembaga pendidikan. Di dalam dunia kampanye tidak ada pendidikan politik yang dituangkan. Yang ada hanyalah bagaimana suara generasi Z dan millenial ini bisa mereka raup sebanyak-banyaknya.
KPU harus segera membuat peraturan dalam kampanye dan perlu disertakan dengan petunjuk pelaksana atau petunjuk teknis yang jelas dari agar tidak disalahgunakan. Jangan sampai peluang ini jadi ancaman, kalau tidak diatur dengan baik.
ADVERTISEMENT
KPU harus memikirkan risiko ketika itu dilaksanakan. Sebab di kabupaten saja ada ratusan sekolah, terkhusus di daerah Jogja. Karena bisa jadi antara calon dengan pimpinan sekolah, dinas, ataupun kampus punya hubungan akrab dengan calon tertentu yang akhirnya memudahkan.
Sementara calon yang relasinya tidak ada dengan kepala dinas, sekolah, atau kampus—misalnya—akan dipersulit dalam meminta izin, atau malah akan ditolak mentah-mentah.