Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Optimisme Santri dan Fenomena #KaburAjaDulu
28 Februari 2025 17:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abdurrahman Addakhil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia belakangan ini dibuat cemas oleh fenomena protes #KaburAjaDulu. Belum sempat menemukan titik solusi atas keresahan tersebut, masyarakat justru dipaksa pesimis oleh respons para pejabat negara ketika diminta pendapat terkait hal ini. Sebagian dari mereka meremehkan gelombang protes ini, bahkan ada yang bersikap masa bodoh dengan menantang kembali warga yang hendak melakukan hijrah ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, warga negara yang mempercayakan kejelasan masa depannya kepada negara ini harus kebingungan, sebab banyak tuntutan dan kesenjangan dari negara yang dialami setiap hari. Selain itu, rakyat justru menerima balasan pengkhianatan dari pejabat negara yang rakus harta dan haus kuasa.
Kalangan santri, atau lebih tepatnya golongan terdidik dari pondok pesantren, sebenarnya telah memiliki perspektif yang mantap dalam menyikapi fenomena #KaburAjaDulu. Jauh sebelum istilah ini mencuat, para santri sudah lama merantau ke negeri orang. Sebut saja pendiri dua organisasi masyarakat Islam terbesar, Kiai Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah dan Kiai Hasyim Asyari dari Nahdlatul Ulama. Mereka merupakan santri dari guru yang sama, yakni Kiai Soleh Darat dari Semarang, yang kemudian memutuskan untuk merantau ke Mekkah.
ADVERTISEMENT
Dorongan besar Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asyari untuk merantau ke Mekkah saat itu adalah untuk beribadah haji dan menimba ilmu dari para ulama di sana. Namun, perlu diketahui bahwa ada satu hal yang menjadi titik tolak keduanya ketika merantau, yaitu sikap protes mereka terhadap penjajahan yang berlangsung di Nusantara. Oleh sebab itu, mereka berusaha membekali diri dengan modal keilmuan dan semangat perjuangan demi menyingkirkan penjajah.
Mereka pergi bukan karena takut menghadapi penjajah, tetapi justru mereka memiliki strategi cerdas untuk mengalahkan penjajah dengan menghemat tenaga fisik. Mereka menajamkan kemampuan analisis dan literasi agar gagasan yang disampaikan bisa diterima oleh banyak kalangan.
Bukti Pesimisme
Sayangnya, fenomena #KaburAjaDulu belakangan ini yang marak muncul di publik lebih banyak dimaknai secara pesimis. Hampir tidak ada yang menganggap hal ini sebagai sambutan optimisme positif, kecuali bagi pejabat yang ingin lepas tangan. Namun, itu pun terkesan acuh atau memang tidak paham substansi persoalan.
ADVERTISEMENT
Poin protes yang dilayangkan saat ini berbeda dari apa yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asyari, atau golongan pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya yang berasal dari ‘kaum intelektual sarungan’.
Masyarakat kini menilai ketidakcakapan pemimpin beserta pejabat negara dalam mengelola dan menjalankan amanat konstitusi agar memberikan kesejahteraan bagi warganya, setidaknya dalam sektor pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi. Mereka menyadari adanya ketimpangan pengelolaan, sehingga masih banyak terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan pendidikan, jumlah pengangguran yang tidak diberdayakan, serta korupsi dan pajak yang dibiarkan meroket.
Apabila hal ini terus dibiarkan tumbuh subur, meski nanti isu ini akan ditutup dengan pengalihan isu lainnya, maka yang lahir setelahnya hanya residu kebijakan dan tetap akan menyusahkan kalangan menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Lebih parah lagi, kondisi akan semakin tidak stabil jika pemimpin bangsa ini masih keras kepala memelihara orang yang jelas tidak kompeten dan kemudian diberikan kuasa untuk mengurus pengelolaan negara. Dalam Islam, perkara vital ini telah diperingatkan oleh Rasulullah melalui riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhari, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kehancuran.”
Sikap Santri
Evolusi karakter santri yang mengikuti perkembangan zaman memberikan sumbangsih pada arah tujuan perencanaan masa depan mereka. Apabila di awal telah disebutkan contoh dari tokoh besar yang merupakan santri sekaligus pendiri dua organisasi Islam terbesar, maka berbeda dengan masa modern.
Ada kisah fiktif menarik yang disampaikan oleh Ahmad Fuadi dalam novelnya berjudul Rantau 1 Muara. Sosok Alif, sebagai tokoh utama di sana, digambarkan sebagai santri yang sempat merantau ke luar negeri, tetapi begitu kembali ke Tanah Air, dia menghadapi kesulitan dalam memperoleh pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dia mencoba menjalankan hobi menulisnya sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan, hingga akhirnya tulisan artikelnya dimuat oleh media lokal Bandung dalam kolom tetap. Selanjutnya, dia ditawari menjadi wartawan di Jakarta. Tidak berhenti di sana, ternyata dari kegigihan tersebut, Alif kembali menerima kesempatan beasiswa untuk belajar di luar negeri.
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa penggambaran sosok Alif memang mencerminkan karakter santri di dunia nyata. Santri yang digembleng selama bertahun-tahun dalam lingkungan pesantren yang disiplin dan dibimbing 24 jam akan memiliki mental pejuang dan bertanggung jawab.
Alif merasa memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan kecemerlangan masa depan Indonesia, meskipun sempat merantau ke luar negeri. Namun, begitu kembali, ternyata gayung tak bersambut alias Alif kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hingga datang kesempatan kedua untuk merantau, dan Alif tidak ingin melewatkannya.
Tagar #KaburAjaDulu harus disikapi dengan kepala dingin dan perencanaan yang matang. Jangan sampai hanya mengandalkan nekat dan kekesalan terhadap kebijakan dalam negeri yang dirasa menyengsarakan rakyat, lantas meninggalkan Tanah Air tanpa bekal ‘bertarung’ di negeri orang.
ADVERTISEMENT
Khawatirnya, jika seseorang hanya membawa raganya ke sana tanpa disertai jiwa dan pikirannya, maka dia hanya akan diperbudak oleh sistem ‘penjajah’ baru. Sampai detik ini, rasio diaspora yang merantau hanya segelintir yang berhasil seratus persen, baik dalam sektor pendidikan maupun karier.
Namun demikian, sebagian masyarakat berargumen bahwa lebih baik menjadi kelas menengah di negeri orang, tetapi mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak, ketimbang hidup di negeri sendiri yang sudah berada di kelas menengah tetapi tetap dipersulit oleh negara.
Dari sini, pemerintah seharusnya belajar untuk lebih dewasa dalam merespons secara aktif permasalahan serius yang akan berdampak pada rencana Indonesia Emas 2045, dengan memanfaatkan bonus demografi. Masyarakat diaspora juga wajib menanamkan nasionalisme ketika jauh dari tanah air agar mereka tidak lupa tempat dilahirkan dan dibesarkan semasa hidup. Jangan sampai aset berharga negara justru berpindah ke tangan lain.
ADVERTISEMENT