Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memungkinkan Kebijakan "Tetangga yang Baik "oleh Presiden Prabowo
29 Oktober 2024 10:03 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Abid Abdurrahman Adonis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Tetangga yang baik" menjadi konsepsi yang paling menarik perhatian saya ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan penjelasan pertama mengenai haluan kebijakan luar negeri Indonesia. Koreksi saya bila saya salah, saya tidak ingat ada Presiden Indonesia sebelumnya yang menggunakan istilah tetangga baik dalam mengelaborasi kebijakan luar negeri Bebas-Aktif kita.
Apa yang menarik adalah bahwa istilah Tetangga yang Baik (good neighbour) dalam kajian kebijakan luar negeri banyak dikenal ketika Presiden Amerika Serikat, Herbert Hoover dan penerusnya, Franklin D. Roosevelt menggunakan istilah tersebut dalam mengelola hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara Amerika Latin di awal abad 20. Kedua Presiden AS tersebut menggunakan kebijakan tersebut untuk menghentikan intervensi Washington terhadap tetangga-tetangganya dan mengubahnya menjadi hubungan yang lebih setara dan positif.
ADVERTISEMENT
Istilah Good Neighbour Policy juga digunakan oleh negara-negara lain seperti Austria, Turki, dan Polandia umumnya untuk memastikan lingkungan regional lebih kondusif bagi pembangunan nasional. Belakangan Uni Eropa juga menggunakan istilah yang mirip, yakni European Neighbourhood Policy kepada negara-negara sekitar Eropa untuk membangun hubungan yang setara dan positif.
Dua adjektiva tersebut menjadi krusial: setara dan positif.
Ekpresi Prabowo mengenai Kebijakan Tetangga yang Baik dapat dipahami sebagai respons atas lingkungan regional kita yang saat ini ngeri-ngeri sedap. Tak ada perang terbuka di sekitar kawasan kita sebagaimana yang terjadi di Ukraina dan Timur Tengah. Namun, lingkungan regional kita menyimpan api dalam sekam di semua penjuru mata angin.
Di Utara, sengketa Laut Cina Selatan antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN masih menjadi masalah utama yang belum dapat terselesaikan dengan baik. Terdapat kesan bahwa masalah sengketa wilayah ini dikompartemenkan, alias diletakkan di dalam laci lalu masing-masing memilih berfokus pada hal-hal lain yang dirasa lebih penting, seperti ekonomi dan investasi. Potensi konflik terbuka juga menghinggapi hubungan antara Beijing dan Taipei di mana terdapat lebih dari 300 ribu WNI yang menetap di Taiwan. Ini belum ditambah oleh persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat di mana rivalitas strategis tersebut semakin terasa di wilayah Indopasifik di antaranya melalui Perang Dagang.
ADVERTISEMENT
Di Selatan, Australia melalui Pakta Keamanan AUKUS bersama AS dan Inggris turut mengeskalasi potensi konflik regional. Merupakan rahasia umum apabila AUKUS dibentuk untuk menjadi respons ketiga negara tersebut untuk melawan pengaruh Tiongkok yang makin menguat.
Di Barat, hubungan India-Pakistan, dua negara berkekuatan Nuklir, selalu mengalami naik turun. Hubungan India dan Tiongkok juga relatif dinamis dan tak selalu positif pada beberapa episode sejarah belakangan ini. Belum ditambah dengan dinamika yang terjadi di internal Myanmar yang berpotensi melahirkan efek tumpahan ke Indonesia dan ASEAN, seperti yang sudah pernah terjadi pada krisis pengungsi Rohingya.
Di Timur, hubungan negara-negara Pasifik Selatan dengan Indonesia juga tak serta merta mulus. Isu separatisme Papua menjadi kampanye politik dan diplomasi sejumlah negara-negara Pasifik Selatan yang tentu berseberangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada keempat arah mata angin tersebut, tak ada relasi yang benar-benar seutuhnya positif. Hubungan antar negara juga tak sepenuhnya setara, semuanya rawan intervensi dan campur tangan (interference). Kekuasaan (power) bisa jadi merupakan bahasa yang akan dominan dipakai dalam beberapa tahun ke depan. Terlebih ketika persaingan negara-negara adikuasa menemukan medannya di lingkungan kawasan Indonesia.
Pada titik ini, Kebijakan Tetangga yang Baik menjadi relevan untuk diupayakan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintahan Prabowo. Namun, Tetangga yang Baik seperti apa, dan bagaimana seharusnya?
Saya ingin berfokus pada satu norma penting: kesetaraan kedaulatan (sovereign equality).
Keinginan menjadi Tetangga yang Baik tak bisa berhenti pada bersikap baik berlandaskan prinsip a thousand friends and zero enemy sebagaimana yang diutarakan Presiden Prabowo. Ini harus diikuti oleh semangat imperatif untuk mengupayakan dan mempromosikan kesetaraan kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Kesetaraan kedaulatan menjadi norma fundamental sejak selesainya Perang Dunia Kedua dan dimulainya era dekolonisasi. Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengupayakan kemerdekaan di antaranya adalah upaya merebut kesetaraan kedaulatan. Dalam catatan Barry Buzan (2014), prinsip kesetaraan kedaulatan lah yang menjadi basis beroperasinya hubungan antar negara di era modern ini, bahwa tak ada negara yang lebih rendah atau lebih tinggi terlepas mereka miskin, kaya, lemah, kuat, ataupun adikuasa. Semua negara berdaulat secara setara dengan prinsip non-intervension (tanpa intervensi) dan non-interference (tanpa campur tangan). Penghormataan akan kesetaraan kedaulatan lah yang membuat hubungan antar negara mampu bergerak ke arah yang setara dan positif.
Dalam konteks dinamika lingkungan regional di atas, terdapat erosi atas norma kesetaraan kedaulatan. Sengketa Laut Tiongkok Selatan tak kunjung usai dikarenakan absennya semangat kesetaraan kedaulatan. Pun demikian pada rivalitas Tiongkok-Amerika Serikat yang berpotensi membuat keduanya cawe-cawe dalam urusan dalam negeri negara-negara ASEAN. AUKUS juga berpotensi melihat negara-negara ASEAN bukan sebagai negara yang berdaulat secara setara. Terlebih ketika kekuasaan (power) menjadi lensa utama dalam hubungan antar negara di kawasan ini. Negara-negara dipandang secara hierarki, tak lagi setara, apalagi positif.
ADVERTISEMENT
Ini perlu menjadi perhatian utama bagi Kebijakan Tetangga yang Baik di bawah pemerintahan Prabowo, yakni mengembalikan norma kesetaraan kedaulatan di lingkungan Asia Tenggara dan Indopasifik. Pengupayaan atas norma kesetaraan kedaulatan juga bukan hal yang baru dan tanpa konteks bagi Indonesia. Bahkan secara historis, kita dapat mensimplifikasi sejarah politik luar negeri Indonesia sebagai sejarah pengupayaan kesetaraan kedaulatan. Proklamasi 1945, penyerahan kedaulatan penuh 1949, Konferensi Asia-Afrika 1955, Deklarasi Djuanda 1957, Gerakan Non-Blok, ASEAN, dan G20. Semuanya membawa spirit yang sama mengenai promosi atas norma kesetaraan kedaulatan semua bangsa.
Pada praktiknya, pemerintah perlu menghadirkan kembali diskursus mengenai kesetaraan kedaulatan dalam berbagai agenda hubungan luar negeri, tidak hanya melulu soal kerja sama ekonomi dan keamanan. Pemerintah perlu mulai serius menggarap proyek promosi kesetaraan kedaulatan di berbagai forum multilateral seperti PBB, G-20, OKI, dan ASEAN. Sebab, promosi kembali atas norma kesetaraan kedaulatan oleh Indonesia turut memiliki potensi positif untuk menancapkan pengaruh di level internasional.
ADVERTISEMENT
Terlebih ketika isu ini semakin relevan pada sejumlah titik konflik seperti di Ukraina-Rusia dan Palestina. Isu kesetaraan kedaulatan juga relevan bagi negara-negara Afrika yang masih kesulitan untuk lepas baik dari hegemoni kuat negara eks-koloninya maupun negara adikuasa lainnya.
Di wilayah terdekat, promosi ini perlu kembali dilakukan di ASEAN. Ada ratusan pertemuan dan inisiatif ASEAN di berbagai bidang, namun jarang kembali membicarakan soal norma kesetaraan kedaulatan. Ini ironis sebab ASEAN didirikan oleh semangat yang sama dan mengadopsi secara eksplisit prinsip fundamental: non-interference dan mutual respect.
Ini juga untuk mengingatkan kembali kepada sebagian negara-negara anggota ASEAN yang pada beberapa kesempatan tak menunjukkan sikap setara dan positif terhadap Indonesia. Tentu, ini berlaku pula untuk negara-negara non-ASEAN terhadap Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebab, terdapat dimensi normatif terkait kemanusiaan yang kuat dalam norma kesetaraan kedaulatan. Kesetaraan kedaulatan terkait erat dengan kesetaraan kemanusiaan. Cara pandang hierarki atas bangsa-bangsa lain lah yang menjadi sumber diskriminasi, penindasan, dan kesewenang-wenangan sejumlah bangsa-bangsa dunia. Cara pandang yang tak setara lah yang berhilir pada hubungan yang tak positif. Di lingkungan regional sekitar Indonesia, kita patut menduga bahwa cara pandang tak setara ini lah yang mengakibatkan lingkungan kawasan di Asia Tenggara dan Indopasifik ini serba tak positif dan bagai api dalam sekam.
Isu kesetaraan kedaulatan ini juga sangat dekat dengan Presiden Prabowo. Dalam pidato yang sama, beliau menyebut bahwa beliau masih menjadi saksi cara pandang yang tak setara lah yang menjadi sumber penindasan dan diskriminasi melalui istilah 'honden in inlanden verboden.' Anjing dan pribumi dilarang masuk.
ADVERTISEMENT
Karenanya, spirit menjadi Tetangga yang Baik dalam harus disertai upaya aktif mempromosikan norma kesetaraan kedaulatan. Kita bisa menjadi Tetangga yang Baik bermula dari cara pandang yang setara dan positif dalam melihat kedaulatan dan kemanusiaan bangsa-bangsa lain.
Dan ini perlu diikuti oleh upaya aktif mendorong cara pandang ini kembali menjadi norma utama dalam hubungan internasional, setidaknya di lingkungan kawasan. Politik Bebas-Aktif akan sepenuhnya bebas apabila kita aktif mengupayakan kesetaraan kedaulatan, demi hubungan yang setara dan positif, di dunia dan kawasan.
Selamat bertugas Presiden Prabowo. Semoga amanah.