Konten dari Pengguna

Perang Sipil di Amerika: Kala Lincoln Menolak Perbudakan (1861-1865)

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
7 April 2024 13:37 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertempuran Gunung Kennesaw yang terjadi selama Kampanye Atlanta, Perang Saudara Amerika, 27 Juni 1864. (foto: Istock)
zoom-in-whitePerbesar
Pertempuran Gunung Kennesaw yang terjadi selama Kampanye Atlanta, Perang Saudara Amerika, 27 Juni 1864. (foto: Istock)
ADVERTISEMENT
American Civil War, atau Perang Sipil Amerika yang terjadi pada pertengahan abad 19 ini, meletus bukan tanpa alasan sepele. Perang yang melibatkan Kubu Persatuan yang dipimpin oleh Abraham Lincoln dan Kubu Konfederasi yang dipimpin oleh Jefferson Davis, kerap disebut dengan istilah perang negara bagian dan perang Utara-Selatan. Hal ini tidak lepas dengan turbulensi politik di dalam internal pemerintahan dan kondisi sosial di Amerika pada masa itu, yang mempertentangkan isu perbudakan. Terdapat kubu pro-perbudakan di wilayah Selatan Amerika, dan tentunya kubu yang menentang perbudakan di wilayah Utara Amerika. Sehingga perang ini juga bisa disebut perang Utara-Selatan, atas perbedaan pandangan dua wilayah itu dalam merespon isu perbudakan.
ADVERTISEMENT
Isu Perbudakan yang Menyulut Api Perpecahan
Ilustrasi perbudakan di Amerika tahun 1800-an. (Foto: Gettyimages)
Amerika Serikat adalah republik federal yang tidak memiliki konsep kewarganegaraan yang seragam antar negara bagian, setidaknya pada masa itu. Konsep kebebasan dan perbudakan hidup berdampingan di tanah ini. Perbudakan sendiri merupakan bagian dari hak eksklusif tiap-tiap negara bagian yang bisa saja dipraktikan atau ditentang seperti yang kemudian menjadi isu di sekitaran tahun 1820. Sidang Kongres Missouri di tahun 1819-1820, menjadi titik awal pertentangan antara kelompok pro dan kontra perbudakan. Pasalnya, kekhawatiran kelompok Utara yang telah menerapkan sistem bebas budak mulai memuncak pada hasil akhir dari kongres tersebut yang menghasilkan keputusan negara bagian Missouri sebagai negara budak dan Maine sebagai negara bebas. Namun, batas Selatan Missouri, garis 36-30, diperpanjang ke arah barat melalui sisa wilayah Louisiana. Di atas garis imajiner tersebut, perbudakan dilarang dan di bawahnya institusi tersebut diizinkan. Menjadikan wilayah Utara Amerika menetapkan pelarangan terhadap perbudakan dan wilayah Selatan yang mengizinkannya.
ADVERTISEMENT
Di tahun-tahun setelahnya, pihak Selatan mulai merasa khawatir dan sadar bahwa kubunya merupakan minoritas di Amerika. Hal tersebut dibuktikan dengan teori pembatalan John C. Calhoun atas tanggapannya terhadap tarif di tahun 1828. Calhoun dengan teori pembatalannya memaksa Presiden Andrew Jackson untuk membatalkan hukum federal yang menyatakan hukum tersebut tidak berlaku di bagian perbatasan. Pembatalan hukum federal ini menyadarkan posisi kaum Selatan atas posisinya yang minoritas permanen. Ditambah dengan kasus pemberontakan budak Nat Turner, di Virginia, pada 1831. Kekhawatiran akan kemerosotan ekonomi, dikombinasikan dengan kekhawatiran akan pemberontakan budak dan kebangkitan abolisionisme di Utara, mendorong beberapa negara bagian Selatan untuk memperketat peraturan perbudakan dan mengesahkan undang-undang untuk menekan pidato-pidato abolisionis di Selatan.
ADVERTISEMENT
Pertentangan antara Utara dan Selatan selalu memanas di setiap tahunnya. Termasuk salah satunya isu perluasan wilayah perbudakan. Ironisnya, kelompok absolisonis di Utara tidak menentang perbudakan secara murni 100%. Mereka lebih menghawatirkan perbudakan akan merusak kebijakan buruh bebas bagi perusahaan-perusahaan kapital yang mereka kelola. Begitu juga dengan kaum Selatan yang terus menuntut perluasan wilayah bagi negara budak terutama di sekitar daerah okupasi Meksiko. Konflik diantara keduanya sempat meredam di peristiwa Kompromi 1850. Kompromi tahun 1850 mewakili sifat tanggapan kongres, yang berusaha menenangkan Kubu Utara dan Selatan. Meskipun kompromi ini mengakui California sebagai negara bagian yang bebas, yang mengimbangi keseimbangan di senat yang mendukung negara-negara bagian Utara, kompromi ini juga memberlakukan Undang-Undang Budak Buronan yang lebih keras. Dalam banyak hal, Kompromi 1850 merupakan gencatan senjata bagi budaya politik Amerika yang berusaha melepaskan diri dari perpecahan permanen di sepanjang garis sektarian.
Potret Abraham Lincoln. (Foto: Istock)
Pada 1852, Harriet Beecher Stowe menerbitkan Uncle Tom’s Cabin, novel yang terinspirasi dari salah satu pasal dalam Hukum Budak Buronan. Diterbitkannya novel ini memicu ketegangan konflik antara Utara dan Selatan yang sempat mereda. Abraham Lincoln bahkan menyebut bahwa Uncle Tom’s Cabin merupakan buku yang memulai perang sipil, ketika dirinya bertemu dengan Harriet. Hebatnya, novel ini sukses memantik amarah masyarakat Amerika terhadap kegiatan perbudakan dan jenis eksploitasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Sekarang mari kita singgung tokoh yang nantinya akan memimpin kubu persatuan selama perang sipil. Abraham Lincoln adalah seorang republikan yang idealis menentang dan menganggap perbudakan sebagai bentuk kejahatan. Sejak tahun 1850-an, dirinya aktif berpidato menunjukkan rasa marahnya terhadap perbudakan yang ia sebut harus dibatasi dan kemudian dihapuskan. Pada 1858, Lincoln menantang Stephen A. Douglas dalam ajang pemilihan Senat AS dari Illionis. Douglas adalah lawan yang Tangguh bagi Lincoln. Dirinya dikenal sebagai Orator Mahir dan Raksasa Kecil. Titel itu berhasil membawa Douglas naik menjadi Senat mengalahkan Lincoln. Meski kalah di ajang pemilihan, reputasi Lincoln kian populer di mata nasional atas orasi-orasinya selama ajang debat melawan Douglas. Hal itu dibuktikan dengan Pemilihan Presiden di tahun 1860, di mana Partai Republikan menunjuk Abraham Lincoln untuk maju ke ajang Pilpres dan sukses memenangkan hati rakyat.
Bendera Amerika Serikat sekaligus simbol Fraksi Persatuan dan Kelompok Utara, berkibar bersamaan dengan Bendera Konfederasi Amerika yang mewakilkan Selatan. (Foto: Istock)
Kemenangan Lincoln di ajang Pilpres 1860, menimbulkan kekecewaan terhadap negara bagian selatan yang pro-perbudakan. Rasa kecewa itu berujung pada pemisahan diri dari Amerika Serikat dan mendirikan Negara Konfederasi. Terbentuknya Konfederasi Amerika dengan Jefferson Davis sebagai presidennya ditanggapi oleh Lincoln dalam pidatonya kala upacara pelantikan presiden. Ia menyebut bahwa Konfederasi tidak berlaku secara hukum serta mengirim permohonan untuk pemulihan stabilitas ikatan persatuan Amerika. Pidato Lincoln tidak digubris oleh kaum Konfederasi, dan justru direspon dengan menyerang benteng federal di Fort Sumter di pelabuhan Charleston, Carolina Selatan, pada 12 April 1861. Perang akhirnya dimulai, di mana lebih banyak warga Amerika terbunuh daripada konflik apa pun sebelum dan sesudahnya
ADVERTISEMENT
Perang Sipil! Persatuan melawan Konfederasi
Pertempuran Chickamauga (1863). Pertempuran besar pertama yang terjadi di Front Georgia semasa Perang Sipil Amerika. (Foto: Istock)
Kelompok Persatuan di Utara memiliki keunggulan lebih dari segi sumber daya dan infrastruktur. Sebanyak 23 negara bagian merupakan bagian dari Persatuan yang melawan Konfederasi dengan jumlah yang lebih sedikit, yakni sebanyak 11 negara bagian. Tentunya Persatuan berada di kondisi yang lebih menguntungkan dengan 22 juta populasinya dan fasilitas yang melimpah dalam industri manufaktur, amunisi, pakaian dan perlengkapan lainnya. Persatuan juga memiliki keunggulan jaringan rel kereta api yang jauh lebih super dibandingkan lawannya di Selatan. Di sisi lain, Konfederasi juga memiliki beberapa kelebihan terutama dari aspek ketentaraan yang di mana banyak pemimpin Konfederasi merupakan orang-orang yang aktif di dunia militer. Berbeda dengan Persatuan yang menerapkan doktrin ofensif, Konfederasi terpaksa harus menggunakan doktrin defensif terhadap wilayahnya yang sangat kecil demi mempertahankan kedaulatan negaranya.
ADVERTISEMENT
Pertempuran besar yang pertama terjadi di Kota Bull Run, Virginia, yang terlekat di dekat Washington. Melalui pertempuran ini, kedua belah pihak menyadari bahwa perang yang awalnya diharapkan berlangsung cepat akan berakhir sebaliknya. Kubu Persatuan yang unggul dari segi populasi dan infrastruktur-pun harus menerima fakta bahwa Konfederasi yang dipenuhi dengan orang-orang militer, menerapkan strategi defensif yang sangat sulit untuk ditembus. Seperti yang tercermin di Battle of Virginia, ketika pasukan Persatuan mencoba untuk merebut Ibukota Konfederasi di Richmond. Kala itu, George McClellan selaku Komandan Pasukan Persatuan dengan terlambat dan terlalu berhati-hati melakukan operasi merebut Richmond. Tanpa disadari, Pasukan Konfederasi di front Virginia yang dipimpin oleh dua jenderal besar, Robert E. Lee dan Thomas J. ‘Stonewall’ Jackson, telah melakukan strategi pertahanan yang tidak bisa ditembus lawan-lawannya di Persatuan. Di pertempuran 7 hari, Konfederasi bahkan dengan sukses memukul mundur Persatuan dengan kerusakan yang sangat parah.
Pertempuran Antietam (1862). Salah satu pertempuran yang menyadarkan Pasukan Persatuan akan kehebatan doktrin defensif Konfederasi. (Foto: Istock)
Pertempuran kemudian berlanjut di Antietam antara Pasukan Persatuan yang dipimpin McClellan dan Konfederasi yang dipimpin Richard Lee. Antietam menjadi saksi betapa berdarahnya pertarungan yang meliputi kedua fraksi itu. Lebih dari 4.000 tentara meninggal dunia dan 18.000 mengalami luka-luka bagi kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini, McClellan berhasil mengimbangi strategi perang Lee, namun ia tetap gagal karena tidak mampu menembus pasukan lawan. Kegagalan itu yang kemudian menyebabkan McClellan dipecat oleh Lincoln sebagai Pemimpin Besar Pasukan Persatuan. Di sisi lain, karena harus mengalami kesulitan dan terus mundur dari setiap pertempuran, Konfederasi gagal mendapat dukungan dari Inggris dan Prancis sehingga mereka tidak mendapatkan bantuan ekonomi dan logistik dari Eropa. Sementara itu, atas pertempuran yang terjadi di Antietam, Lincoln memproklamirkan Emansipasi Awal pada 1 Januari 1863, yang menyebutkan bahwa semua budak dalam semua negara bagian yang memberontak terhadap Persatuan dibebaskan. Tujuannya selain sebagai bentuk ideologis anti perbudakan dan emansipasi, secara praktis juga untuk merekrut bangsa Afrika-Amerika ke Pasukan Persatuan.
ADVERTISEMENT
Pertempuran Gettysburg (1863). Titik serangan balik Pasukan Persatuan di Perang Sipil Amerika. (Foto: Istock)
Pada Juli 1863, Lee memimpin Pasukan Konfederasi untuk menginvasi Pennysylvania dan sukses mencapai Harrisburg. Setelah melewati banyaknya pertempuran dengan strategi defensif, Lee memutuskan untuk menggempur Pennysylvania dengan doktrin ofensif. Namun, Pasukan Persatuan berhasil mencegatnya di Gettysburg yang menyebabkan pertempuran 3 hari dan berujung pada kekalahan Konfederasi hingga harus mundur jauh ke Potomac. Pertempuran Gettysburg seringkali disebut sebagai titik balik perang dan awal kemenangan Persatuan. Selain di Gettysburg, kemenangan juga diperoleh oleh Persatuan di Vicksburg setelah melewati aksi pengepungan selama 6 minggu dan sukses di tanggal 4 Juli, hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Berakhirnya Perang Sipil Amerika ditandai dengan satu aksi pengepungan Pasukan Persatuan atas Konfederasi di Petersburg, Virginia, pada Maret 1865. Jenderal Lee yang sadar bahwa dirinya harus segera mundur dari Virginia berpikir terlambat sampai ketika Pasukan Persatuan sukses mengepungnya dan memaksanya menyerah. Lee akhirnya menyerah kepada Pasukan Persatuan yang dipimpin oleh Ulysses S. Grant. Meski terdapat perlawanan kecil dari kubu Konfederasi, pada akhirnya Perang Sipil Amerika berakhir seusai Pasukan Konfederasi dikepung habis-habisan oleh Persatuan. Sekarang yang tersisa adalah mengembalikan stabilitas nasional usai perang yang nyatanya masih terdapat sentiment politik antara Utara dan Selatan.
ADVERTISEMENT
Post-War
Ilustrasi perupayaan pembunuhan Presiden Abraham Lincoln oleh John Wilkes Booth saat Lincoln dan Istrinya tengah menonton pertunjukan di Teater Ford. (Foto: Istock)
Setelah perang berakhir, Jenderal Lee menyerahkan dirinya kepada pemerintahan Amerika Serikat. Dirinya dianggap heroik bagi kedua belah pihak yang terlibat perang, lantaran strategi militernya yang cukup brilian dan sikap lapang dadanya ketika menerima kekalahan. Tak lama setelah Lee menyerahkan diri, Presiden Lincoln mengumumkan perintah pembangunan dan rekonstruksi negara yang kacau atas perang sipil. Pidato yang dituturkan oleh Lincoln turut menjadi pidato publik terakhirnya. Tragedi menimpa Amerika tak lama setelah negara itu melalui perang 4 tahun. Presiden Lincoln sekaligus Pemimpin Fraksi Persatuan tertembak mati saat ia dan istrinya menghadiri acara di Teater Ford. John Wilkes Booth, seorang aktor Virginia adalah sosok dibalik penembakan itu. Motifnya adalah rasa kecewa atas kekalahan Konfederasi di Perang Sipil Amerika. Dirinya lalu dihukum mati bersama dengan kaki tangannya setelah dilakukan pengejaran dan penangkapan di kawasan pedesaan Virginia.
ADVERTISEMENT
Kematian Lincoln merupakan duka dan tragedi di saat yang bersamaan. Kini, Amerika dipimpin oleh sang Wakil Presiden, Andrew Johnson, yang merupakan orang Selatan namun menaruh kesetiaannya terhadap Persatuan. Tugasnya kini adalah menentukan status negara-negara bagian yang mengundurkan diri dari Amerika. Sepanjang musim panas 1865, Johnson melanjutkan program pembangunan kembali yang dirancang Lincoln, dengan modifikasi-modifikasi kecil. Dengan keputusan presidensial, ia menetapkan seorang gubernur pada setiap bekas negara bagian Konfederasi dan secara cuma-cuma memulihkan hak-hak politik kepada banyak warga negara Selatan melalui amnesti presiden
Presiden Andrew Johnson, pengganti Abraham Lincoln seusai kematiannya. (Foto: Istock)
Dalam situasi sosial-politik, skeptisme dan penolakan kongres terhadap dewan legislator yang berasal dari Selatan, nyatanya masih memanas. Johnson dan Lincoln sebelumnya sudah menduga bahwa skeptisme ini akan menjadi masalah baru di pemerintahan Amerika, terlebih pada isu penolakan dewan Selatan yang dianggap pemberontak. Di bawah kepemimpinan Thaddeus Stevens, Kongres semakin radikal dalam menentang dewan legislator Selatan yang terpilih. Mereka bahkan memodifikasi rencana pembangunan dan rekonstruksi dari konsep awal Lincoln.
ADVERTISEMENT
Dalam isu rasialisme, kini semakin banyak masyarakat Amerika yang mendesak hak asasi bagi orang-orang berbangsa Afrika-Amerika, yang di masa lalu kerap menjadi bahan diskrimansi dan perbudakan. Hasil akhirnya adalah, Kongres menetapkan dan mengesahkan amandemen ke-14, yang berbunyi; “Semua orang yang lahir dan dinaturalisasi di Amerika Serikat dan tunduk kepada hukum dan kekuasaannya, adalah warga negara Amerika Serikat dan negara bagian di mana mereka tinggal”. Sebuah keputusan progresif dari Kongres yang kemudian secara resmi menghapuskan perbudakan dan menetapkan undang-undang perlindungan hak asasi terhadap masyarakat berkulit hitam. Meski begitu, banyak orang-orang Selatan, termasuknya politisi dan senat yang menentang amandemen ke-14. Kelompok utara merespon penolakan ini dengan anggapan bahwa Kelompok Selatan hendak mengembalikan Perbudakan dan menolak kemenangan Persatuan di Perang Saudara.
ADVERTISEMENT
Hal-hal terkait yang membuktikan bahwa ketegangan antara Utara dan Selatan belum benar-benar usai. Baik keduanya sama-sama skeptis satu sama lain. Termasuk Presiden pengganti Lincoln, Andrew Johnson yang seorang selatan kerap menerima serangan dari golongan Republikan Radikal dari Utara, dan puncaknya adalah kemenangan Partai Republikan dengan menyapu bersih Pemilu 1966. Golongan Republikan Radikal ini kemudian memaksakan visi mereka soal rekonstruksi.[]
Sumber Referensi
AS, Deplu. (2009). Garis Besar Sejarah Amerika Serikat. Jakarta: Departmen Luar Negeri.
Blight, D. W. (2001). Race and Reunion: The Civil War in American Memory. Cambridge: Belknap Press.
Gallagher, G. W. Et Al. (2003). The American Civil War: This Mighty Scourage of War. New York: Osprey Publishing.