Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Daya Pikat Abadi Kota-Kota yang Hilang, Tabir Tak Berujung
7 Juni 2021 20:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memang, kota-kota yang hilang dan ditinggalkan memiliki daya tarik kuat pada imajinasi. Mereka magnet untuk pelancong yang rajin, menginspirasi rasa petualangan, pemicu ekspedisi besar dan dongeng.
ADVERTISEMENT
Kita melihat refleksi hidup kita terpantul di bebatuan, membayangkan drama intim kita dengan latar belakang romantis dan runtuh. Dan jika bencana melanda banyak kota yang hilang, itu pun melunak seiring berjalannya waktu.
Sementara cerita tentang kota yang hilang membuat kisah perjalanan yang menarik, Annalee Newitz, penulis buku Four Lost Cities: A Secret History of the Urban Age, justru berpendapat narasi tersebut terlalu sering mengaburkan kisah nyata di balik tempat-tempat paling indah umat manusia.
Menemukan kota dan peradaban yang hilang merupakan obsesi bagi beberapa penjelajah dan penjajah Eropa. Kegilaan mereka dipicu, sebagian, oleh pencarian kota hilang paling terkenal dalam sejarah: negara pulau Atlantis, yang pertama kali muncul dalam tulisan Plato.
ADVERTISEMENT
Fiksi soal Atlantis berkembang pesat seiring pesan kemerosotan moral yang membawa hukuman ilahi. Para filsuf sezamannya akan mengenali cerita itu sebagai alegori, kata sejarawan kuno Greg Woolf, penulis The Life and Death of Ancient Cities: A Natural History.
"Orang-orang membaca ini pada waktu yang sama ketika orang-orang mendirikan koloni di Dunia Baru," jelas ahli klasik Edith Hall dalam wawancaradengan History Extra Podcast dari BBC.
Sialnya, rutin terjadi kesalahpahaman akan karya Plato. Banyak yang membaca kisah alegoris (bersifat kiasan) secara harfiah (dan menganggapnya kenyataan), kata Hall.
"Itu mengejutkan mereka. Semua orang bilang itu pasti di Amerika."
Ketika para pemukim Eropa itu bertemu dengan peradaban Pribumi, tulis Newitz, mereka bergulat mencari koneksi ke masa lalu yang misterius dan sering kali mengabaikan orang-orang kontemporer yang sangat nyata. Mereka menghadapi Pribumi dengan prasangka.
ADVERTISEMENT
Seperti itulah yang terjadi di Cahokia, kota metropolis kuno yang terletak di dekat kota St. Louis, di Amerika Serikat saat ini. Gundukan tanah yang menjulang tinggi di sana menyaingi tinggi piramida Mesir. Dan di puncak Cahokia pada 1050 M, kota itu lebih besar dari Paris. Pendatang baru Eropa sulit menerima memahami eksistensi kota-kota kuno semacam ini.
Kisah kota-kota yang hilang juga dapat menyembunyikan kebenaran lain, tulis Newitz, seperti cara orang-orang kuno menemukan kembali diri mereka ketika mereka meninggalkan tempat. Bencana dan keruntuhan sering disajikan sebagai akhir cerita.
Tetapi, di Pompeii dan Çatalhöyük, Newitz menemukan secercah awal baru di tengah pergolakan sosial. Setelah gas vulkanik yang sangat panas mengubah Pompeii menjadi kuburan pada tahun 79 M, penduduk Pompeii yang trauma segera mulai membangun kembali kehidupan baru di dekat Napoli dan Cumae. Mengutip karya klasik Steven Tuck, Newitz menceritakan banyak pengungsi yang dikenal sejarawan memiliki nama yang menandai mereka sebagai budak yang bebas dan dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, setelah mereka selamat dan mengungsi, nama mereka tidak lagi mudah diidentifikasi sebagai orang Pompeii. Konvensi penamaan Romawi sering kali konservatif, menjaga nama yang sama dari generasi ke generasi. Tuck mengamati pola yang menarik di antara keluarga pengungsi Pompeiian itu, mereka meninggalkan nama lama dan kebebasan mereka.
Dan menariknya, masih banyak tabir misteri dari kota-kota yang hilang di Bumi ini. Daya tariknya abadi untuk selalu ditelusuri, tidak peduli sudah berapa banyak karya ilmiah yang mengulas soal itu. [*]