Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Merdeka Belajar: Dehumanisasi dan Diskriminasi Pendidikan Indonesia
4 Januari 2023 17:59 WIB
Tulisan dari Abubakar Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Merdeka belajar merupakan program kerja baru yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang lebih mengedepankan konsep kemerdekaan dalam berpikir yang tidak hanya terkungkung pada satu tolak ukur keberhasilan. Program Merdeka Belajar merupakan kompas baru yang menjadi arah pendidikan ke depan.
ADVERTISEMENT
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam menggagas ide Merdeka Belajar bukan dibuat tanpa landasan yang jelas, tapi melalui proses pematangan yang cukup panjang, melakukan kajian yang komprehensif dengan seluruh elemen pendidikan, dan dilatar belakangi oleh keresahan pendidikan Indonesia.
Berangkat dari hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2019 memaparkan bahwa pendidikan di Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi sendiri, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 negara yang disurvei oleh Program for International Student Assessment (PISA).
Dalam terobosan ini juga mengedepankan pendidikan karakter anak dalam upaya memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan awal pendidikan untuk mencegah dehumanisasi pendidikan di Indonesia. Sebagaimana dalam salah satu gagasan Mendikbud yang menghilangkan ujian nasional sebagai tolak ukur capaian kelulusan dalam mata pelajaran tertentu secara nasional, dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter.
ADVERTISEMENT
Dehumanisasi ataupun tindakan untuk tidak memanusiakan manusia. Saat dimana orang lupa akan moral bersosial, menghiraukan kebaikan antar sesama manusia, dan seringkali melakukan tindakan intoleransi yang membuat perpecahan berujung pada perilaku akan merendahkan manusia tanpa ada rasa peduli sedikitpun. Dehumanisasi merupakan keburukan terhadap nilai-nilai yang ada, yang cenderung mengabaikan kebenaran.
Maka, ketika dehumanisasi merambah pada budaya masyarakat Indonesia terlebih pada bidang pendidikan, yang muncul hanyalah sifat angkuh, dan kehilangan kebudayaan yang diwariskan oleh para pendahulu yang luhur. Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan untuk memajukan bangsa secara utuh dan keseluruhan tanpa membedakan agama, ras, agama, etnis, suku, budaya, status sosial, dan ekonomi yang berdasarkan pada cita-cita luhur bangsa.
Sejauh yang penulis lihat, realitas yang ada sebelumnya menggambarkan sistem pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik di lembaga pendidikan untuk mengembangkan potensi diri, kreativitas, serta penajaman nalar kritis yang seharusnya masing-masing individu memilikinya.
ADVERTISEMENT
Sistem pendidikan juga cenderung diskriminatif, yang mana tolak ukur capaian kelulusan siswa adalah ujian nasional. Jika siswa tidak lulus ujian nasional, otomatis tidak bisa melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya. Padahal, tidak semua anak memiliki kecerdasan yang sama, tidak semua anak memiliki kecerdasan dalam mata pelajaran yang ada di ujian nasional.
Ada anak yang hanya memiliki kecerdasan kinestetik dan dipaksa oleh sistem pendidikan untuk bisa Matematika sebagai tolak ukur kelulusan. Itu merupakan bentuk diskriminatif terhadap anak, karena bukan bidang keahlianya.
Sepanjang dua belas tahun terakhir, ada beberapa anak yang terkena dampak dari diskriminatif ujian nasional. Dampak yang paling nyata adalah tingkat stress yang dialami oleh siswa dan orangtua yang tinggi. Sehingga tidak sedikit siswa yang bunuh diri akibat tidak lulus ujian nasional.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada lima siswa yang menjadi korban diskriminatif ujian nasional, yaitu:
Pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan karakter anak. Pendidikan seyogyanya menjadi tempat yang menyenangkan tanpa ada tekanan dari pihak manapun agar anak mampu menguasai diri untuk mengalahkan nafsu dan negative thinking. Sehingga terbentuk karakter anak yang berbudi pekerti luhur dan beradab.
ADVERTISEMENT
Maka, peran guru sangat dibutuhkan sebagai garda terdepan pendidikan agar mampu menjadi teladan bagi siswa, guru juga sebagai yang memprakarsai siswa, dan guru juga berperan dari belakang untuk memberikan dorongan pada nara didiknya. Tetapi, acap kali sistem membatasi pergerakan dan nalar kritis guru dalam melakukan inovasi. Tak jarang oknum guru membunuh karakter siswa lantaran sistem pendidikan yang memaksanya untuk lebih mengutamakan nilai, karena banyak desakan berbagai macam pemangku kepentingan.
Disini penulis tidak menyalahkan guru, tapi penulis mengkritik sistem pendidikan yang diskriminatif dan dehumanisasi yang menghalangi petualangan guru. Tetapi sekali lagi, sistem menuntut guru agar semua anak harus memiliki kecerdasan yang sama. Selaras dengan kritikan Paulo Freire terhadap pendidikan bahwa sistem pendidikan gaya bank cenderung menjadikan seorang anak itu pasif, dan menjadikan guru itu active yang semua perkataannya harus ditelan mentah oleh siswa tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Karena murid harus menghafal semua apa yang dikatakan guru.
ADVERTISEMENT