Konten dari Pengguna

Puasa dan Stoicisme: Bentuk Ketidaknyamanan Sukarela?

Abubakar Sidik
Mahasiswa FKIP UMSurabaya
23 Maret 2023 21:44 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abubakar Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit) di Masjid Raya Sheikh Zayed, Solo, Jawa Tengah, Kamis (23/3/2023). Foto: Mohammad Ayudha/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit) di Masjid Raya Sheikh Zayed, Solo, Jawa Tengah, Kamis (23/3/2023). Foto: Mohammad Ayudha/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Puasa adalah kegiatan sukarela yang dilakukan dengan menahan diri dari makan, minum atau keduanya, perbuatan buruk dan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Begitu juga dengan Stoicisme, ada salah satu latihan dikenal sebagai "ketidaknyamanan sukarela", sebuah latihan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa syukur. Misalnya, Anda tidur di lantai dapur, yang dingin ketika Anda biasanya tidur hangat, dan makan hanya kentang selama beberapa hari, hal-hal seperti ini.
ADVERTISEMENT
Orang yang puasa dan yang latihan Stoicisme tidak jauh berbeda, hanya saja orang yang puasa menahan lapar satu hari penuh selama sebulan sedangkan orang yang latihan Stoicisme masih bisa makan walaupun bukan makanan yang enak seperti biasanya.
Puasa dan latihan Stoicisme ini membantu untuk memahami bahwa betapa pun sulitnya, Anda masih akan bertahan dan berpotensi berkembang jika pola pikir Anda benar. Dengan mampu menahan situasi yang tidak nyaman tersebut, secara langsung kita mempersiapkan mental kita untuk kesialan di masa depan. Dengan keadaan dunia saat ini di mana terus-menerus didorong ke tenggorokan kita, kita dibuat untuk percaya bahwa jika kita tidak memiliki hal terbaik berikutnya, berpenampilan tertentu, atau menghasilkan uang dalam jumlah tertentu, kita tidak akan pernah bisa. Berbahagialah, pesan ini sekarang lebih penting dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi stoikisme. Foto: GoodIdeas/Shutterstock
Kita memasuki dunia tanpa mengetahui banyak hal. Kita tumbuh dengan diajari hal-hal di rumah, di sekolah, dan dengan mengamati dunia sendiri. Masalahnya, seringkali, ketiga sumber pengetahuan ini mengajarkan kita dengan cara yang berbeda. Pertanyaannya, perlukah kita menginternalisasi semua pengetahuan tersebut? Jika kita melakukannya, tanpa sadar kita bisa menetapkan harapan yang tidak realistis untuk hidup kita, membuat kita akhirnya kecewa dan tidak puas pada akhirnya. Itu bukan cara untuk hidup.
Sebaliknya, kita harus fokus pada peningkatan diri kita sendiri, untuk diri kita sendiri. Kita harus melakukan sesuatu, untuk diri kita sendiri, dan hanya untuk alasan itu. Melampiaskan harapan eksternal atau keterikatan sekunder apa pun pada tindakan yang kita lakukan hampir selalu mengarah pada kekecewaan.
ADVERTISEMENT
Seringkali, kita akhirnya mencoba mengisi kekosongan itu dengan hal-hal eksternal. Menghabiskan semua uang untuk membeli mobil mewah, rumah, atau bahkan memulai sebuah keluarga. Terkadang kita melakukan semua hal ini untuk nilai eksternalnya, dan bukan nilai internalnya. Namun, Stoicisme mengajarkan bahwa, jika kita mendekati kehidupan dengan cara ini, kita menempatkan kebahagiaan di tangan kekuatan eksternal, kekuatan yang selalu gagal. Mobil hampir selalu mogok, bencana alam menghapus seluruh kota, dan tingkat perceraian semakin tinggi setiap tahun