Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Banjir yang Mengancam Lumbung Pangan Aceh
23 Maret 2023 11:43 WIB
·
waktu baca 13 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Warna merah muda bangunan dinding papan itu kontras sekitar 30 sentimeter dari lantai: hitam dan kayu mulai lapuk. Sisa lumpur juga masih menempel.
"Akibat sering terendam banjir. Paling baru pekan lalu, awal Maret ini," ujar Mak Ayu, perempuan berusia 60 tahun, saat menjelaskan kondisi kedainya kepada acehkini, Ahad (12/3/2023).
Ceubrek Pirak termasuk wilayah lintasan Krueng Pirak, anak sungai Krueng Keureuto. Beberapa tahun terakhir, banjir luapan rutin singgah di kampung ini dan sekitarnya: misal Tanjong Haji Muda dan Lawang.
Krueng Pirak meliuk-liuk dengan air kecoklatan. Lebarnya sekitar 20 meter. Bantaran sungainya, misal di Tanjong Haji Muda, jadi tempat kelapa sawit tumbuh menjulang. Puluhan meter dari sungai, barulah sawah terhampar.
Genangan air mirip kolam bertabur di petak-petak sawah. Tanaman padi yang masih hijau tumbuh berantakan karena diselingi tanah lapang. Di dekat pematangnya, satu papan informasi terpacak. "Anda memasuki kawasan rawan bencana banjir," demikian tulisannya.
ADVERTISEMENT
Sejak Agustus 2022 hingga Maret ini, saban bulan banjir melanda kawasan ini. Ketinggiannya mencapai 1 hingga 1,5 meter. "Terus berulang," kata Mak Ayu. Persawahan hingga perumahan sama-sama terendam.
Banjir awal Maret ini membuat Mak Ayu dan warga lain di sana kelimpungan. Sebab, bencana merusak tanaman padi yang tengah masa tumbuh bulirnya. Beberapa pekan lagi sejatinya akan panen.
Saat meluap, banjir biasa merendam tanaman padi paling singkat tiga hari. Tapi seringnya bah bertahan 4-5 hari sebelum surut. Sehari saja terendam banjir, menurut Mak Ayu, bulir-bulir padi mulai membusuk.
Mak Ayu semula menaruh harapan memanen padi saat Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Selain buat konsumsi sendiri, dia berniat menjual sebagiannya untuk keperluan hari besar dalam almanak Islam itu.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, banjir telah membuyarkan mimpinya. "Kami tidak ada stok beras pada Ramadan tahun ini," ujar pemilik sawah 4.500 meter persegi ini. Meski mengelola kedai kelontong seluas 4x5 meter, sumber utama pendapatan Mak Ayu dari sawah–sebagaimana sebagian besar warga lain di sana.
Di dekat aliran sungai Krueng Pase, harapan Muajir buat petik hasil dari 1.500 meter persegi sawahnya sirna akhir Desember 2022. Bulir-bulir padi yang menguning seketika hilang terseret banjir luapan.
"Sawah berubah seperti laut, tidak lagi kelihatan tanaman padi," kata petani 40 tahun di Gampong Tanjong Hagu, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Aceh, ini.
Selain sawah, permukiman turut pula terendam. Air setinggi lebih dari satu meter bikin warga pindah ke tempat agak tinggi. Beberapa malam lewat, barulah banjir pergi.
ADVERTISEMENT
Muajir–juga petani lain di sana–gegas ke sawahnya. Yang dilihat kini adalah pucuk tanaman padi yang rebah ke tanah. Tiada pilihan, petani memungut bulir-bulir yang bisa diambil selepas bencana.
Muajir hanya memperoleh gabah sekitar 250 kilogram atau ukuran empat karung. Normalnya dengan luas sawah segitu, ia bisa panen mencapai 15 karung.
Warna gabah juga bukan lagi kuning. Tapi berubah agak hitam lantaran bercampur lumpur. Setelah digiling, beras yang keluar agak kuning. "Warna berubah, tapi rasanya tidak," ujar Muajir.
Gagal panen bagi Muajir juga gagal balik modal. Sejak turun sawah sampai menjelang panen, ia mengeluarkan Rp 1,5 juta buat ongkos bajak, beli benih, biaya tanam, pupuk, dan perawatan. Uang sebesar itu bukan dari kantong sendiri, melainkan berhutang yang bakal dibayar dari hasil panen.
ADVERTISEMENT
"Modal awal saja berhutang, sekarang hutangnya bertambah lagi buat beli beras," ujarnya.
Jauh ke hulu dari Tanjong Hagu, Krueng Pase juga bikin Teungku Budiman nyaris menyerah. Sawah 2.500 persegi di Gampong Pulo Blang, Meurah Mulia, Aceh Utara, kerap gagal panen sebab banjir. "Tiap musim hujan banjir, padi kalau terendam pasti mati," tuturnya.
Sawah miliknya dicetak baru pada 2017. Lokasinya berbatasan dengan bukit yang ditanami kelapa sawit. Dari awal bercocok tanam sampai kini, beberapa kali saja Budiman membawa pulang hasilnya. Yang lain duluan diterjang musibah.
"Suatu kali pernah nibai terseret banjir," katanya. Nibai sebutan di Aceh buat tanaman padi yang dipotong dan diikat sebelum digiling untuk memisahkan gabahnya.
Tiap musim tanam, Budiman butuh modal Rp 2,5 juta dan bisa untung berkali lipat bila panen sempurna. Normalnya, ia bisa memperoleh 1 ton gabah atau sekitar 20-25 karung. "Kalau banjir ya kosong, tidak dapat apa-apa."
ADVERTISEMENT
Dinas Pertanian Aceh Utara mencatat pada saat banjir besar Oktober 2022, seluas 4.900 hektare sawah terendam. Sementara pada banjir Desember 2022, areal sawah terendam banjir 1.230 hektare.
"Kami melaporkan bencana tersebut ke provinsi dan pusat. Kami mohon terhadap yang puso supaya pemerintah dapat memberi bantuan benih dan difasilitasi asuransi," ujar Kepala Dinas Pertanian Aceh Utara Erwandi.
Banjir yang saban tahun di Aceh Utara mengancam lumbung pangan. Sebab, bertahun-tahun, kabupaten ini adalah penyumbang terbesar produksi padi di Aceh. Badan Pusat Statistik mencatat pada 2021 sebanyak 360.353 ton dari luas 62.455 hektare. Tahun 2022, angkanya turun jadi 323.839 ton dari 54.189 hektare.
Air Bah setelah Hutan Dirambah
Krueng Pase dan Krueng Keureuto adalah dua sungai besar di Aceh Utara yang beberapa tahun terakhir kerap meluap. Banjir bukan hanya melanda lahan pertanian semisal sawah, tapi juga rumah-rumah penduduk.
ADVERTISEMENT
Banjir parah teranyar di Aceh Utara pada Oktober 2022. Ribuan warga mengungsi di semua kecamatan. Kota Lhoksukon–ibu kota kabupaten–jadi salah satu titik terparah. Di sana, jalan nasional Banda Aceh-Medan tertutup banjir.
Mak Ayu mengenang masa kecilnya saat banjir belum pernah melanda kampungnya di Matangkuli. Baru sekitar 1994-1995 air bah mengalir ke rumah-rumah dan merendam sawah. "Itu banjir pertama sejak saya kecil," tuturnya.
Setelahnya, banjir kian rutin tiap tahun. Tapi tidak parah–setidaknya Mak Ayu tak mesti mengungsi. Seingatnya, 2014 banjir besar baru terulang di Matangkuli. "Tahun itu kami harus memindahkan semua barang-barang di rumah," katanya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya mencatat banjir di Aceh Utara sejak tahun 2003 berjumlah sekali. Kecuali pada 2004, tahun-tahun berikutnya Aceh Utara tak jeda diterjang banjir hingga 2021.
ADVERTISEMENT
Banjir paling banyak tercatat pada 2007 berjumlah 6 kali dan pada 2018 berjumlah 8 kali. Sementara sisanya terjadi antara 3 hingga 5 kali dalam setahun. Tapi data ini belum memuat tahun 2022 dan 2023–saat banjir lebih sering terjadi di Aceh Utara.
Saat ini banjir makin rutin. Debit air sungai meningkat, warga sudah bersiap. Sekarang, misalnya, warga Matangkuli di hilir Krueng Keureuto mendapat 'bocoran' beberapa jam sebelum banjir.
Penduduk di kampung kawasan hulu Keureuto biasanya yang menyuplai informasi. "Dihubungi, dikasih tahu kalau debit air sungai naik. Kami langsung bersiap. Kalau tidak, pasti terendam semua," tutur Mak Ayu. Dan bocoran itu tidak pernah melesat.
Ingatan Mak Ayu diperkuat Nurdin. Warga Ceubrek Pirak, Matangkuli, ini masih mengenang saat memperoleh bantuan karena banjir sekitar tahun 1994-1995. "Saya ingat ada bantuan yang katanya dari Soeharto," ujar pria 55 tahun ini. "Itu banjir pertama."
ADVERTISEMENT
Bila banjir karena hujan, Nurdin membandingkan, sejak dulu hujan deras kerap melanda Aceh Utara. Ia menduga sebabnya hutan kehilangan pohon-pohon besar. "Hutan 'ka peungeuh' (terlihat lapang dalam bahasa Aceh), turun hujan, airnya langsung kemari," katanya.
Sebelum banjir perdana di Matangkuli itu, Nurdin ingat menjadi salah seorang yang ikut buka kebun baru di kawasan hutan di hulu Keureuto pada 1993. Dikenal di kalangan warga kala itu istilah 'jak cok gle' atau ambil hutan.
Warga hanya perlu menebang hutan dan menanam tanaman. Nurdin saat itu membuka kebun satu hektare, lalu menanam pinang. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Matangkuli. Tidak ada yang melarang masa itu. "Siapa saja yang mau boleh ambil," ujarnya.
Setahun berlalu, banjir besar kemudian menerjang kampung Nurdin.
ADVERTISEMENT
Mahmudin juga ingat masa-masa warga bisa buka kebun baru di hutan sekitar 1990-an. Bermodal alat tebang, siapa saja boleh kerja. Selepas itu, pemilik kebun melapor ke kepala desa. "Sekarang hutan tidak luas lagi," kata pria 50 tahun, warga Tanjong Putoh, Nibong–kawasan hulu Krueng Pase.
Nasib hulu Keureuto juga tidak beda jauh. Seingat M Yusuf, 63 tahun, tahun 90-an, hutan di kawasan Paya Bakong masih lebat. Banyak pohon-pohon besar. "Sekarang tidak ada lagi," kata warga Pucok Alue Seuleumak, Paya Bakong, ini yang pernah jadi penurun kayu hasil tebang ilegal tahun 90-an.
Penebang ilegal di Paya Bakong dulu memakai kerbau buat menurunkan kayu. Sekarang berganti traktor. Lokasi tebang pun kini jauh masuk hutan. Lebih dekat ke Kabupaten Bener Meriah di dataran tinggi Gayo. "Pakai traktor, sehari baru sampai. Jalan kaki bisa dua malam," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, Yusuf menolak tudingan bahwa warga yang menebang pohon ilegal sebagai satu-satunya perusak hutan. Sebab, laju penebangan oleh warga dengan alat seadanya dinilai tak secepat perusahaan. "Warga sebulan masuk hutan paling habis dua pohon," katanya. "Padahalkan (hutan habis) karena adanya perusahaan," ujar Yusuf merujuk merujuk perkebunan sawit di hulu Keureuto.
Pantauan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Aceh Utara menjadi kabupaten paling rendah dari segi persentase tutupan hutannya dibanding kabupaten lain di Aceh. "Menurut data kami, hanya sekitar 14 persen wilayah administrasi Aceh Utara yang masih berhutan," kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Lukmanul Hakim.
HAkA dengan metode pencitraan satelit dan dibantu alat pendeteksi kehilangan pohon otomatis, menduga kehilangan tutupan hutan di Aceh Utara pada 2015 sekitar 1.793 hektare, kemudian meningkat setiap tahunnya hingga 2017. Bahkan pada 2016 dan 2017, Aceh Utara menjadi kabupaten paling banyak menyumbang kehilangan tutupan hutan dibanding kabupaten lainnya di Aceh.
ADVERTISEMENT
Pada 2018-2022, angka kehilangan tutupan hutan di Aceh Utara terus menurun. Hingga pada 2022 HAkA menduga ada sekitar 666 hektare hutan yang hilang di Aceh Utara.
"Jika diakumulasikan, selama 8 tahun terakhir (2015-2022) Aceh Utara telah mengalami kehilangan tutupan hutan seluas 9.058 hektare," ujar Lukmanul Hakim.
Jumlah ini hanya lebih rendah sedikit dibanding Aceh Tengah sebagai penyumbang kehilangan tutupan hutan tertinggi secara akumulatif dengan 9.471 hektare.
Melalui citra satelit, tidak kelihatan secara jelas penyebab kehilangan tutupan hutan itu. "Tapi ada indikasi konversi ke perkebunan, ilegal logging, atau bahkan akses jalan," tutur Lukmanul.
Adapun Nusantara Atlas dalam dua dekade ini, sejak 2001-2021, mencatat Aceh Utara kehilangan tutupan hutan seluas 11.472 hektare. Deforestasi paling tinggi terjadi pada 2016 seluas 2.027 hektare dan disusul 2017 seluas 1.654 hektare.
ADVERTISEMENT
Deforestasi mulai naik sejak 2005 seluas 272 hektare. Tahun sebelumnya hanya berkisar puluhan hektare. Laju deforestasi sejak tahun itu menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh meningkat karena dua momentum: Tsunami Aceh 26 Desember 2004 dan Damai Aceh 15 Agustus 2005.
"Setelah tsunami dan damai ada fase rehabilitasi dan rekonstruksi yang membutuhkan banyak kayu," ujar Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin.
Masa damai, memasuki hutan mulai leluasa. Peluang ini dimanfaatkan para penebang, terlebih permintaan kayu kian banyak. "Sementara saat konflik orang tidak berani masuk hutan. Kalau ada yang berani, nyawa menjadi taruhan," tuturnya.
Pembukaan jalan tembus dinilai turut berperan memudahkan akses keluar masuk hutan. "Ini makin menyuburkan perambahan hutan."
ADVERTISEMENT
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Muslem tak menafikan kerusakan hutan di Aceh Utara. "Ada kerusakan yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab," ujarnya.
Pemkab Aceh Utara bakal melibatkan polisi dan polisi hutan buat mencegah pembalakan liar meluas. "Supaya kelestarian hutan tetap terjaga," tutur Muslem.
Siklus Banjir Besar Berubah, Kini Bisa Kapan Saja
Almanak musim awal tanam padi di Matangkuli kini nyaris berantakan. Para petani tak bisa lagi memprediksi kapan waktu yang tepat. Beberapa musim terakhir, padi kerap gagal panen karena diterjang banjir. "Sekarang tidak tahu lagi di bulan apa baik untuk semai benih," ujar Nurdin.
Karena ini pula, areal sawah Blang Timu di Ceubrek Pirak kini dibiarkan menjadi lahan tidur dan tak ditanami padi. Sebagian titik terdapat kubangan air mirip kolam. "Kalau dijual pun tak ada yang mau beli lahan begitu," katanya.
Frekuensi banjir yang semakin sering salah satu dampak kehilangan tutupan hutan yang masif di Aceh Utara. Efek deforestasi bisa timbul langsung atau jangka panjang. "Tidak ada lagi siklus banjir besar per 10 tahun atau 5 tahun, sekarang ancaman banjir besar bisa datang kapan saja," ujar Lukmanul.
ADVERTISEMENT
Namun, deforestasi tentu bukan satu-satunya faktor penyebab banjir. Menurut Lukmanul, cuaca ekstrem, topografis, hingga aliran sungai dan drainase yang tidak lancar juga akan berpengaruh.
"Seharusnya Aceh sebagai provinsi terluas tutupan hutannya di Sumatra, lebih aman dari ancaman bencana banjir. Namun nyatanya tidak. Aceh malah menjadi provinsi paling sering terjadi bencana banjir di Sumatra, menurut data BNPB," kata Lukmanul.
Muslem mengatakan Pemkab Aceh Utara melibatkan semua pihak buat mengatasi banjir supaya tak terulang. Misalnya, memperbaiki sungai yang sering meluap saat hujan lebat. "Sumber air dari hujan, kemudian pegunungan," katanya.
Sawit Tumbuh, Air Hujan Tak Terserap
ADVERTISEMENT
Dosen Hidroteknik di Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Profesor Azmeri mengatakan banjir Aceh Utara bukanlah dampak deforestasi semata. "Ada faktor-faktor lainnya," kata Ketua Tim Penyusunan Masterplan Pengendalian Banjir WS Kewenangan. DAS Keureuto di Aceh Utara menjadi pilot project tim yang bekerja sama antara Universitas Syiah Kuala dan Dinas Pengairan Aceh itu.
Perubahan tata guna lahan termasuk poin pentingnya. Di hulu DAS Keureuto, misalnya, tutupan lahan pada saat ini mayoritas kelapa sawit. Dampaknya, air hujan sebagian besar langsung menjadi limpasan karena bentuk tajuk kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Intersepsi air hujan yang tertahan di pohon pada umumnya termasuk di daun, ranting, dan cabang inilah yang disebut Azmeri kurang dimiliki kelapa sawit. Karena, terdapat ruang kosong di antara dahan sawit, ditambah jarak tanam antarpohon. Tanah sekeliling pun padat membuat air sulit masuk ke tanah. "Limpasan langsung, nggak terserap lagi," ujarnya.
Tapi bagi Azmeri, bukan berarti sawit sama sekali tak boleh ditanam. "Tidak bisa kaku juga ya, hidup kan ada yang namanya optimasi. Kondisi ini perlu mempertimbangkan benefit hasil perkebunan dan biaya dikeluarkan akibat bencana banjir yang terjadi," katanya.
Pertimbangan ini semestinya tugas pemerintah daerah. Menurut Azmeri, banyak lahan sawit sudah dikombinasi dengan tutupan merambat yang bisa mengurangi limpasan, memperbesar kesempatan serapan air ke tanah.
ADVERTISEMENT
Selain tutupan lahan, tipe tanah turut berpengaruh. Misalnya, tanah berpasir di sungai DAS Keureuto bikin tingkat sedimentasi tinggi. "Tanah tipe tersebut membuat air langsung melimpas di permukaan tanah dengan disertai sedimen yang tinggi," jelasnya.
Adapun morfologi dua anak sungai Keureuto: Krueng Pirak dan Peutoe yang alur sungainya kecil membuat air sering meluap. Ditambah sempadan telah jadi lokasi kebun dan rumah.
Bentuk rumah warga di sana yang sejak dulu berupa rumah panggung, menurut Azmeri, menjadi penanda kawasan itu kerap banjir. "Zaman dulu orang itu sudah menyikapi kondisi banjir dengan berusaha keras hidup harmoni dengan banjir karena tampungan sungainya kecil," ujarnya.
Pelbagai kondisi sungai itu kemudian makin parah saat diguyur hujan deras. Azmeri menyebut DAS Keureuto seluas 932,11 kilometer persegi menghasilkan debit banjir rencana 25 tahun sebesar 1.506,64 m3/detik dengan tren hujan maksimum yang meningkat antara tahun 2009-2021.
ADVERTISEMENT
Debit banjir yang tinggi membuat sungai berjenis aluvial lebih mudah terjadi erosi lahan. Temuan tim yang dipimpin Azmeri, patahan-patahan gempa di DAS Keureuto memperparah erosi lahan. "Patahan ini tersebar cukup banyak di hulu DAS Keureuto, sub-DAS Pirak dan Peutoe," kata Azmeri.
Selain itu, hilir Krueng Pirak dan Krueng Peutoe di titik pertemuan dengan Keureuto mengalami sedimentasi yang cukup tinggi. Karenanya saat debit Keureuto naik, air Krueng Pirak dan Krueng Peutoe tidak dapat mengalir atau bahkan terjadi arus balik air (back water) yang masuk dari Krueng Keureuto.
Di hulu Keureuto, di Gampong Blang Pante, Paya Bakong, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang menyelesaikan Bendungan Keureuto, termasuk proyek strategis nasional. Pembangunan sejak 2015 dan diperkirakan selesai tahun ini. Bendungan ini digadang-gadang salah satu alternatif mengatasi banjir.
ADVERTISEMENT
Namun, Azmeri menilai bendungan Keureuto hanya mengurangi 30 persen banjir. Sisanya, banjir di Aceh Utara justru disumbang sejumlah anak sungai, seperti Krueng Pirak dan Peutoe. "Kami estimasikan 40 persen banjir di Aceh Utara berasal dari Krueng Peutoe," tutur Azmeri.[]
Note: Liputan ini bagian dari fellowship ‘Akademi Jurnalisme Ekonomi dan Lingkungan’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Traction Energy Asia