Konten Media Partner

Belajar Toleransi dari Imlek di Aceh: Kala Perempuan Berjilbab Datang ke Vihara

1 Februari 2022 14:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lampion di Vihara Dharma Bakti di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Kota Banda Aceh, pada perayaan malam Imlek, Senin (31/1/2022) malam. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Lampion di Vihara Dharma Bakti di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Kota Banda Aceh, pada perayaan malam Imlek, Senin (31/1/2022) malam. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Jam nyaris menyentuh angka 00.00. Tersisa beberapa menit lagi tanggal akan bersulih. Detik-detik ini begitu dinanti warga Tionghoa di Aceh pada Senin (31/1) malam. Sebab, pada saat tanggal berganti, tandanya tahun baru Imlek juga berlabuh.
ADVERTISEMENT
Malam itu, satu per satu warga Tionghoa berduru ke Vihara Dharma Bakti di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Kota Banda Aceh. Begitu masuk ke rumah ibadat umat Buddha itu, mereka dengan lekas membakar dupa. Doa-doa dan harapan diucapkan.
Dalam waktu singkat, asap hio--sebutan untuk dupa Tionghoa--membubung dan menyebar ke seluruh penjuru dalam Vihara. Makin larut malam, mereka yang datang makin ramai. Malam kian hidup di Vihara tersebut pada dini hari itu.
Warga keturunan Tionghoa membakar hio (dupa) pada malam tahun baru Imlek di Vihara Dharma Bakti, Kota Banda Aceh, Senin (31/1/2022) malam. Foto: Suparta/acehkini
Saat jam tepat pukul 00.00, seorang pria memukul gong dan membunyikan lonceng. Pertanda: tahun Imlek baru saja berganti. Namun, tiada tepuk tangan atau teriakan di sana. Hanya ada ucapan doa-doa dan harapan.
Di tengah kekhidmatan umat Buddha beribadat, beberapa perempuan muslim yang memakai jilbab--sebagaimana sebagian besar perempuan di Aceh--lalu-lalang dalam Vihara. Mereka bergeser ke sana-sini melihat pembakaran hio. Beberapa di antaranya merekamnya dengan telepon seluler.
ADVERTISEMENT
Dari sudut lain, berjarak belasan meter, seorang perempuan paruh baya Tionghoa melihatnya dari kejauhan. Ia lantas berjalan, dengan langkah yang agak cepat, mendekati perempuan berjilbab itu. "Rekam saja tidak apa-apa," ujar perempuan Tionghoa itu tatkala sudah dekat. Ia lalu menjelaskan proses peribadatan dan perayaan Imlek ke perempuan berjilbab.
Warga menyaksikan perayaan malam tahun baru Imlek di Vihara Dharma Bakti, Kota Banda Aceh, Senin (31/1/2022) malam. Foto: Suparta/acehkini
Sementara dari balik jeruji besi pagar Vihara, perempuan dan laki-laki muslim mencari celah melihat perayaan Imlek yang semarak di kota yang menerapkan hukum syariat Islam itu.
Laki-laki Aceh Penyedia Hio
Sebelum Vihara Dharma Bakti ramai dengan umat yang hendak ibadat malam itu, empat pria berkulit legam sibuk lebih dulu. Mereka bergeser ke sana-sini memastikan semua alat dan bahan yang dibutuhkan selama peribadatan tersedia di Vihara.
ADVERTISEMENT
"Nyan ka pinah keudeh." (Itu dipindah ke sana).
"Ka cok nyan dilei." (Ambil itu dulu).
Seorang remaja keturunan Tionghoa menancapkan hio (dupa) pada malam tahun baru Imlek di Vihara Dharma Bakti, Kota Banda Aceh, Senin (31/1/2022) malam. Foto: Suparta/acehkini
Itulah beberapa percakapan antara sesama mereka dalam bahasa Aceh yang terdengar lantang. Mereka juga bertugas memberikan hio ke umat Buddha begitu memasuki Vihara.
Malam itu, di tengah puncak perayaan Imlek yang semarak, acehkini tidak mewawancarai mereka yang kelihatan kian sibuk saat Vihara makin ramai.
Diterima dengan Baik
Nuraini, mahasiswi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, adalah satu dari beberapa muslim yang datang ke Vihara malam itu. Ia hendak melihat perayaan Imlek untuk melepas rasa penasaran.
"Dalam pandangan saya, Banda Aceh sebagai kota syariat menutup mata dengan keberagaman yang lain, tapi setelah datang ke sini melihat muslim berinteraksi dengan umat Buddha berarti yang saya pikir selama ini tidak seperti itu," kata Nuraini.
Ketua Yayasan Vihara Dharma Bakti Banda Aceh, Yuswar. Foto: Suparta/acehkini
Ketua Yayasan Vihara Dharma Bakti Banda Aceh, Yuswar, menilai toleransi di Aceh cukup baik dari tahun ke tahun. Selama ini ia merasa tidak ada masalah yang timbul karena suku, ras, dan agama. "Terus terang di Aceh toleransi sudah cukup baik. Keharmonisan antarumat beragama sangat bagus," katanya.
ADVERTISEMENT
Yuswar kerap mendengar bahwa orang luar melihat Aceh sangat intoleran karena aturan hukum Islam. Padahal, sejak masih kecil hingga kini, pria 70 tahun ini mengingat belum ada konflik umat Islam dengan umat agama lain di Banda Aceh. "Kami hidup berdampingan," tuturnya.
Ia memaklumi dan bahkan bersikap terbuka ketika ada warga muslim yang datang ke Vihara melihat mereka ibadat. "Mereka juga tidak ada yang mengeluarkan kata-kata atau tindakan yang melecehkan dan sebagainya."[]