Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Catatan Lama Konflik Aceh dan Papua dalam Sebuah Forum di Washington DC
2 Maret 2023 11:56 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Pengalaman Munawar Liza, yang berdebat tentang Aceh dalam sebuah forum di Amerika Serikat , 2002 silam.
The Heritage Foundation, sebuah lembaga terkenal sebagai think-tank beraliran konservatif, punya pengaruh besar dalam berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Kantornya hanya sepelemparan batu dari White House, kediaman presiden Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika di tahun 2002, lembaga tersebut menjadi tuan rumah sebuah acara yang diselenggarakan tentang Indonesia.
Saya dan beberapa kawan asal Aceh yang sedang berada Baltimore, Maryland, mendengar tentang pertemuan ini. Serta merta bergerak ke Washington DC, ingin hadir dan mendengar apa yang dibahas di sana.
Kami yakin, pasti akan ada pembicaraan tentang Aceh, karena saat itu pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melobi pemerintah Amerika Serikat dalam penanganan konflik di Aceh dan Papua. Dua daerah yang sedang bergejolak di Indonesia.
Singkat kata, saya tiba di tempat acara dengan sepatu sport, kemeja, dengan celana semi jeans warna biru. Di pintu masuk diadang security. “Maaf, tidak boleh masuk. Anda undangan? Dan pakaian tidak sesuai dengan dress-code kami.”
ADVERTISEMENT
Tanpa pikir panjang, saya langsung menatapnya, dan berkata, “sir, saya datang jauh sekali, dari Aceh di pulau Sumatera. Negeri kami sedang ditindas, berbagai kekerasan terjadi di sana. Hari ini ada acara di sini, saya wajib masuk, sebab dunia biar tahu akan kezaliman yang menimpa di kampung kami,” jelas saya.
Dia terdiam, saling pandang dengan kawannya. Kemudian salah satu dari mereka membuka laci, mengeluarkan selembar dasi. Dia serahkan sambil berkata, “saya sedih mendengar cerita kamu. Ini saya pinjamkan dasi, pakai dasi itu. Tapi jangan buat keributan di dalam.”
Beberapa lembaga mempunyai dress-code sendiri yang diwajibkan untuk ikut acara, pakai jas, atau kemeja dengan dasi.
Sampai di dalam, acara belum dimulai. Terlihat banyak diplomat, duta besar, petinggi sipil dan militer, dan beberapa akademisi dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saya langsung menggabungkan diri dengan seorang teman dari Papua, terlihat ada mantan gubernur Papua yang pernah menjadi dubes di Mexico di antara para tamu.
Acara mulai. Saya duduk di tengah, mencari posisi yang paling dekat dengan microphone. Presentasi pertama disampaikan dari tuan rumah dan penggagas acara, kemudian beberapa pembicara selanjutnya. Salah satu pembicara menyampaikan tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan menuduh sebagai pelaku perompakan di Selat Malaka.
Saya merasa geram waktu itu, tapi masih menunggu. Tiba pembicara selanjutnya, akademisi dari LIPI, Rizal Sukma. Dalam pembicaraannya, dia menceritakan tentang kondisi di Indonesia dan Aceh secara komprehensif dan dia membantah informasi tentang perompakan di Selat Malaka dilakukan oleh GAM. Saya menjadi sedikit tenang.
ADVERTISEMENT
Tiba pembicara selanjutkan, seorang Ambassador, mantan duta besar RI di Australia, Wiryono Sastrohandoyo, sekaligus wakil dari Pemerintah Indonesia dalam perundingan di Jenewa dan Tokyo. Saat itu, Pemerintah Indonesia dan GAM sedang menjajal upaya menghadirkan damai di Aceh.
Wiryono menyampaikan beberapa pokok permasalahan, intinya membela pemerintah dan tentara. Saat itu, saya tidak mampu menahan sabar. Langsung berdiri dan interupsi, saya mengambil mic di samping saya, dengan keras bicara. “Di forum terhormat ini, mestinya kita tidak untuk mendengar kebohongan. Bagaimana pak ambassador ini membela militer, di saat yang sama di Aceh dan Papua rakyat sedang dianiaya. Bulan September lalu, aktivis Papua baru saja diculik dan dibunuh. Ini kami anak-anak muda Aceh, terpaksa meninggalkan kampung kami, karena kekerasan yang dilakukan oleh aparat,” kata saya.
ADVERTISEMENT
Ambassador itu tertegun, kemudian menggapai mic di depannya dengan tangan bergetar. Sampai-sampai teko air putih di depannya terserempet tangan dan jatuh ke lantai. “You.. you.. you, saya akan bicara dengan kamu sesudah acara,” katanya dengan emosional dan terbata-bata.
Selepas acara, Pak Wiryono langsung mendatangi tempat saya berdiri. Saya kebetulan berdekatan dengan mantan gubernur Papua dan seorang admiral yang bertugas pada Pacific Fleet armada ke-7, AL Amerika.
“Kamu, sini kamu! Saya mau jelaskan. Apa maksud kamu tadi!” katanya dengan muka memerah.
Dengan tenang saya menjawab, “bapak jangan berbohong. Aparat di Aceh dan Papua banyak melakukan pelanggaran dan kekerasan. Kenapa mesti berbohong dengan mengatakan bahwa semua baik-baik saja,” jawab saya.
Setelah sedikit tenang, Wiryono menjawab, “saya harus membela negara saya walaupun saya tahu kelakuan aparat di Aceh.”
ADVERTISEMENT
Kemudian admiral dan mantan gubernur Papua langsung mencoba mendiamkan kami. Akhirnya Wiryono pergi ke arah tamu yang lain.
Kemudian datang seorang akademisi dari Aceh, Ahmad Humam Hamid, sambil tersenyum berkata, “peu gata peukaru ureung tuha (kenapa membuat orang tua emosi).”
Saya tersenyum, sambil bercanda bahwa masing-masing kita ada tugas untuk membela apa yang kita perjuangkan.
Kini, Aceh telah menemukan jalan damai setelah perundingan menghentikan perang disepakati Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Sudahkah kita membela apa yang kita perjuangkan? []
Penulis: Munawar Liza Zainal