Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Diari Ayah: Janji Merawat Tradisi Meugang dan Wabah Corona
23 April 2020 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Ini tentang kisah Sang Ayah, mewariskan tradisi meugang kepada anak-anaknya. Pada sebuah tanggung jawab, pada sebuah ingatan yang hampir wajib diteruskan, bahkan di tengah marabahaya seperti perang, bencana dan wabah corona.
“Ayah, kapan kita meugang? Apakah meugang ada saat corona,” seru anak bungsuku, Arkan, setelah tahu Ramadhan akan segera tiba.
ADVERTISEMENT
“Dua atau tiga hari lagi, pas saat meugang,” kata ku sekenanya.
Meugang sudah menjadi tradisi turun-temurun di Aceh, membeli dan memakan daging bersama keluarga, dirayakan 3 kali setahun, menjelang Ramadhan, jelang hari raya Idul Fitri dan jelang Idul Adha.
Arkan yang masih kelas 2 Sekolah Dasar, paham itu. Selalu melaluinya, mendengar kisahnya baik yang kubeberkan setiap kami merayakan maupun cerita dari sekolah. Tapi kini di tengah wabah corona, sekolah tutup sejenak, dia selalu di rumah saja. Dalam keluguannya, meugang juga tidak ada, seperti sekolah.
Maka pada Kamis (23/4) pagi, selepas bangun tidur, Arkan kembali menagih, “meugang kita, ayah gak beli daging?”
“Ok, hari ini kita meugang,” aku menjawab.
ADVERTISEMENT
Seketika, aku terbayang pada masa silam. Ingatan melenting jauh kisaran 30 tahun lalu, saat umur ku masih belasan. Suatu subuh saat meugang yang sakral itu, ayah membangunkan untuk mengajak ke pasar membeli daging.
Aku bersiap, secepat kilat nangkring di belakang sepeda motor Honda Super Cup-70 kesayangan ayah. Tak lama kemudian, kami telah berada di pasar Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen, daerah kelahiran ku. Pasar begitu ramai, lapak daging di mana-mana dan lalu lintas macet. Tapi semua orang paham, tak menggerutu. Daging mahal dari biasanya, tetap harus dibawa pulang.
Usai membeli daging, tulang dan hati sapi kesukaan ku, kami berangkat pulang. Di rumah, mamak (ibu) telah siap dengan segala bumbu, dari rendang Aceh, kuah kari, sop, sampai masak kecap hati sapi. Siang hari, kami sekeluarga telah berkumpul di meja, abang dan adik untuk menyantap daging di hari meugang.
ADVERTISEMENT
Ayah tak pernah lupa membeli lebih daging beberapa kilogram untuk dibagikan kepada nenek, dan kerabat kami yang kurang mampu. Biasanya, aku selalu mengantarkan bingkisan ini ke rumah mereka.
Meugang tetap jalan, tak terusik saat konflik Aceh karena tuntutan kemerdekaan yang diperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan saat konflik memuncak parah di penghujung 90-an. Di hari meugang tanpa komando dan intruksi, kontak senjata antara GAM dan aparat keamanan seperti menjeda, beberapa pasukan GAM di gunung, bahkan bisa turun menikmati daging di kampung-kampung. Jeda berlangsung sampai Ramadhan, dan tembakan mulai sering lagi usai lebaran.
Di masa sulit saat konflik memuncak, aku sudah tinggal di Banda Aceh meneruskan pendidikan, sekitar 225 kilometer dari kampung halaman. Saban meugang, pulang kampung seperti wajib, menemani ayah belanja daging dan membantu ibu memasak. Sampai kini, masih kuingat cara mengasah pisau yang benar, memotong daging, bahkan memasak dengan ragam bumbu tradisional.
ADVERTISEMENT
Kondisi usai bencana tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, meugang juga tetap dirayakan warga yang terdampak di tenda-tenda pengungsian. Yang kaya berbagi, bahkan para relawan kemanusiaan dan lembaga bantuan asing menyalurkan kebutuhan daging untuk para pengungsi.
***
Setelah menjadi ayah, mengajarkan anak tentang meugang yang diwariskan orang tua kepada ku, seperti wajib. Dalam kondisi apa pun.
Maka pada meugang di tengah wabah corona pada Rabu dan Kamis hari ini, aku membalas pertanyaan Arkan, anakku dengan bergegas mencari daging ke pasar dan membeli bumbu. Pasar ramai, orang-orang seperti melupakan ‘hantu’ corona, sebagian berseliweran tanpa masker.
Ketika di pasar, aku berusaha tetap patuh pada anjuran pencegahan corona, memakai masker, menjaga jarak dan tak berlama-lama di sana. Alasan corona pula, aku tak mengajak Arkan ikut serta.
ADVERTISEMENT
Sekembali ke rumah, segala protokol pencegahan wabah kuikuti, dari memakai hand sanitizer, mencuci tangan bahkan mandi. Daging kemudian dibersihkan, dipotong, lalu urusan istri meracik masakan sesuai selera. Rabu siang dan mungkin sampai awal Ramadhan, menu daging menjadi santapan kami.
Tradisi meugang di Aceh tak hanya soal makan-makan, ada jalinan sosial, silaturahmi dan membangkitkan sektor ekonomi. Saban meugang, peternak dapat menjual sapi dengan harga pas, pedagang bergairah, penjual bumbu dan aneka kebutuhan lainnya ikut mendapat berkah. Transaksi ekonomi seperti ini, berjalan sampai lebaran.
Di saat menjalankan tradisi itu pula, orang-orang kaya berbagi. Sejumlah petinggi partai, pejabat, dan orang kaya memotong sapi, dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Intinya, hampir semua warga Aceh memakan daging di hari meugang. Ini adat, ini warisan yang pengetahuannya harus diturunkan.
ADVERTISEMENT
Salam meugang, selamat Ramadan. []
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!