Konten Media Partner

Kisah Azhar, Pengarak Obor Olimpiade yang Kini Jadi Petani Garam

3 Juli 2019 7:22 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keseharian Azhar Idris, pembawa Obor Olimpiade Beijing. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Keseharian Azhar Idris, pembawa Obor Olimpiade Beijing. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Siang makin terik, namun tak menyurutkan semangat lelaki itu bekerja. Dia baru saja selesai mengangkat setungku garam ke tempat penampungan sementara. Tungku kemudian kembali diisi dengan air asin yang telah beberapa kali melalui proses penyaringan. Air-air itu pun kemudian direbus kembali sampai mengering menjadi garam.
ADVERTISEMENT
Itulah pekerjaan sehari-hari yang kini dilakoni Azhar Idris. Ia menjadi petani garam di Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Padahal lelaki paruh baya itu lebih dikenal sebagai aktivis lingkungan atau sebagai duta mangrove. Dia pun sempat dikenal sebagai 'lelaki bakau'. Atas ketenaran itu, Azhar pernah dinobatkan menjadi pembawa Obor Olimpiade Beijing pada 2008, ia menjadi bagian dari 80 pengarak Obor Olimpiade di Jakarta.
Setelah kawasan pesisir tempatnya tinggal digulung tsunami pada 26 Desember 2004, Azhar pun bertekad untuk menghijaukan kembali puluhan hektare lahan tandus menjadi hutan bakau. Ketulusannya itulah yang akhirnya membawa ia menjadi salah satu pengarak Obor Olimpiade Beijing.
Pondok garam Azhar. Dia terus merawat bakau-bakau. Foto: Suparta/acehkini
Merapikan tempat penjemuran. Foto: Suparta/acehkini
Seraya tetap merawat mangrove, kini Azhar menghabiskan hari-hari di tambak garam. Profesi yang juga telah dilakoninya sejak belasan tahun silam. Dalam sehari, Azhar memproduksi 100-150 kilogram garam. Garam-garam itu setiap sore diambil oleh para agen dengan harga Rp 6.000 per kilogramnya.
ADVERTISEMENT
“Selain dibeli agen, ada beberapa rumah makan yang telah menggunakan garam saya, yang saya antar sendiri,” tutur Azhar sambil menyebutkan beberapa nama restoran terkemuka di Banda Aceh, Selasa (2/7).
Tempat menjemur garam. Foto: Suparta/acehkini
Dapur garam milik Azhar. Foto: Suparta/acehkini
Lantas berapa keuntungan yang diperoleh Azhar sebagai petani garam? Dia tidak mau menjawab pasti. Perkiraannya, hasil penjualan yang didapat sekitar Rp 600 ribu per hari. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 100 ribu dipakai untuk membeli kayu bakar, sebagian lagi Azhar gunakan untuk mengembangkan usahanya.
Kini, Azhar juga sedang memperluas gubuk untuk menambah tungku memasak. Dia merencanakan untuk memproduksi 300 kilogram garam setiap harinya.
Azhar juga telah membentuk kelompok usaha petani garam di kampungnya. Kini kelompoknya beranggotakan 6 kepala keluarga dan mengelola lahan seluas 3 hektare. Sejak 2013, kelompoknya juga telah mendapat bantuan dan pembinaan dari pemerintah. Kini, selain memproduksi garam dengan dimasak, kelompok yang ia bina juga memproduksi garamnya dengan sistem jemur. []
Garam hasil produksi Azhar. Foto: Suparta/acehkini
Garamnya dipesan sebagian rumah makan di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Menjaga api untuk memasak garam. Foto: Suparta/acehkini
Tungku garam. Foto: Suparta/acehkini
Tenda dan kolam untuk menampung air laut. Foto: Suparta/acehkini
Reporter: Suparta
ADVERTISEMENT