Konten Media Partner

KontraS Aceh: Negara Lamban Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa

31 Agustus 2022 10:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto orang yang hilang dipajang di lantai 2 Kantor KontraS Aceh pada acara Lorong Ingatan. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Foto orang yang hilang dipajang di lantai 2 Kantor KontraS Aceh pada acara Lorong Ingatan. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional diperingati saban 30 Agustus oleh warga di seluruh dunia. Peringatan ini momen penting sebagai bentuk dukungan terhadap para korban kasus-kasus penghilangan paksa yang hingga kini masih menyisakan duka, khususnya bagi keluarga korban.
ADVERTISEMENT
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, mengatakan pada Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional, pihaknya meminta pemerintah menuntaskan kasus-kasus orang hilang di masa konflik Aceh.
“Kasus-kasus tersebut belum pernah diselesaikan, dan semakin lama semakin banyak keluarga korban penghilangan paksa yang putus asa menanti kebenaran atau keadilan,” kata Husna dalam keterangannya, Rabu (31/8/2022).
Selain itu, KontraS meminta Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang telah dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak Desember 2006.
Menurut Husna, ini merupakan satu instrumen hukum yang harus diadopsi pemerintah agar serius memproses para pelaku penghilangan paksa sesuai ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum internasional. Namun, Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut.
Pameran foto pada acara Lorong Ingatan 'Khauri Nujoh' di Kantor KontraS Aceh. Foto: Suparta/acehkini
KontraS Aceh menagih keseriusan pemerintah dalam hal ini. Padahal pemerintah telah menjanjikan untuk meratifikasi konvensi tersebut sejak Desember 2021 lalu. Menurut Husna, dengan meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa, maka ini sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM.
ADVERTISEMENT
Konvensi ini, sambungnya, tentu dibutuhkan sebagai langkah preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa.
“Molornya ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa di Indonesia jadi preseden buruk atas pemenuhan hak kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi keluarga korban orang hilang termasuk mencegah keberulangan,” ujarnya.
Husna juga mengingatkan bahwa tanpa aturan ini, potensi munculnya kasus pelanggaran HAM serupa akan berulang di masa depan.
Catatan KontraS Aceh, di Aceh sendiri terjadi banyak sekali kasus penghilangan orang secara paksa, utamanya mencuat dalam kurun waktu tahun 1990-2005. Berdasarkan hasil riset KontraS Aceh di 14 kabupaten/kota, keluarga korban yang ditinggalkan hingga kini masih didera beban berat lantaran tidak jelasnya nasib anggota keluarga mereka yang hilang di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kasus penghilangan orang secara paksa juga menimpa relawan kontraS Aceh pada tahun 2003. Meski sejumlah bukti dan saksi telah dihadirkan untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut, namun tidak ada penyelesaiannya, bahkan diabaikan.
“Rasa sakit atas kehilangan orang itu sangat besar dirasakan oleh orang-orang sekitar karena statusnya yang tidak jelas. Disebut meninggal tidak bisa, disebut masih hidup juga tidak bisa. banyak ibu yang tidak mampu menjelaskan status keberadaan ayah anaknya,” terang Husna.
Mirisnya, sering muncul praktik di mana anak-anak korban tidak dapat diberikan bantuan karena bukan berstatus yatim. “Itulah mengapa, korban penghilangan orang secara paksa adalah mereka yang dihilangkan dan juga menimpa orang terdekat di sekelilingnya (keluarga). Sehingga korban kasus ini tidak dapat disamakan dengan pelanggaran HAM lainnya,” tutup Husna. []
ADVERTISEMENT