Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengenal Partai Lokal di Pemilu 2019, dari Eks GAM sampai Santri
9 April 2019 20:04 WIB
ADVERTISEMENT
Di Aceh, Pemilu 2019 dimeriahkan oleh hadirnya empat partai lokal. Bersama 16 partai nasional lainnya, para calon anggota legislatif (Caleg) berebut suara untuk kursi di parlemen provinsi dan 23 kabupaten/kota seluruh Aceh.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu keistimewaaan Aceh sesuai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, buah dari perdamaian Aceh. Keberadaan partai lokal juga diakomodir oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum (Pemilu).
“Keberadaan partai lokal di Aceh adalah satu keistimewaan Aceh sejak Pemilu 2009. Tidak ada di daerah lain di Indonesia,” kata Akmal Abzal, anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh kepada Acehkini, Selasa (9/4/2019)
Empat partai lokal Aceh yang menjadi peserta Pemilu tahun ini adalah Partai Aceh (nomor urut 15), Partai Sira (16), Partai Daerah Aceh (17) dan Partai Nanggroe Aceh (18). Sesuai aturan, partai lokal tersebut tidak berhak menempatkan Caleg-nya di tingkat DPR RI.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah profil keempat partai tersebut:
Partai Aceh (PA)
Partai Aceh adalah besutan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah adanya peluang membentuk partai lokal. Partai ini dibentuk secara resmi pada 7 Juni 2007, dideklarasi oleh para tokoh GAM seperti Tgk Malik Mahmud, Tgk Usman Lampo Awe, Muzakir Manaf, Ibrahim, dan sejumlah mantan petinggi GAM lainnya.
Saat pembenukan, partai ini dinamakan dengan Partai GAM (tanpa kepanjangan), dengan lambang bulan bintang. Visinya membangun citra positif berkehidupan politik di Aceh, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesis (NKRI) serta melaksanakan mekanisme partai sesuai aturan Republik Indonesia.
Nama dan lambang mendapat penentangan dari Pemerintah Indonesia, karena dinilai mengadopsi nama dan lambang bendera yang digunakan Gerakan Aceh Merdeka dulunya. Belakangan, setelah lobi-lobi dengan pusat, partai lokal ini diberi nama Partai Aceh, dengan bendera merah, garis hitam-putih di pinggir, bertuliskan kata ACEH di tengahnya.
ADVERTISEMENT
Partai ini pertama mengikuti Pemilu pada 2009, menang mutlak dengan 33 kursi dari 69 kursi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Lima tahun selanjutnya, Pemilu 2014, mereka masih dominan, meraih 29 kursi dari 81 kursi di DPRA. Mereka juga mendominasi kursi dewan di tingkat kabupaten/kota.
Saat ini, Partai Aceh dipimpin oleh Muzakir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semasa konflik dulu.
Partai Daerah Aceh (PDA)
Partai ini dibentuk tahun 2007 oleh para ulama dan santri di Aceh, berawal dari sebuah lembaga bernama forum Daulat Aceh, bertujuan untuk menegakkan syariat Islam. Saat dibentuk, partai ini bernama Partai Daulat Aceh (PDA) dipimpin oleh Nurkhalis MY.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2009, PDA hanya berhasil menempatkan satu wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Kondisi ini membuat mereka harus merubah nama dan lambang partai, jika ingin mengikuti Pemilu 2014, karena tidak bisa memperoleh batas suara minimal di parlemen atau parliamentary threshold. Hal ini diatur dalam pada 90 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Perintahan Aceh.
Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta Pemilu harus: a) memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRA; atau, b) memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRK yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota di Aceh.
Pada September 2012, para petinggi partai ini mendaftar kembali untuk menjadi peserta Pemilu 2014, mengganti nama menjadi Partai Damai Aceh (PDA). Lambang partai juga diganti, tapi masih mirip-mirip, agar tidak menhilangkan ciri khas.
ADVERTISEMENT
Hasil pemilihan, PDA juga mendapatkan satu kursi di DPRA dan beberapa kursi di kabupaten/kota. Partai terkena lagi aturan parliamentary threshold.
Partai berbasis dayah atau pesantren ini kemudian mengganti nama kembali, menjadi Partai Daerah Aceh (PDA) dan mengubah lambang partai, seperti saat ini. Setelah serangkaian verifikasi, partai lokal ini dinyatakan berhak mengikuti Pemilu 2019 di Aceh.
Partai SIRA
Partai berbasis para aktivis yang menuntut refendum Aceh tahun 1999, saat konflik belum reda. Mereka dulunya tergabung dalam Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA).
Usai damai, dan aturan partai lokal diakomodir pemerintah, pada 10 Desember 2007, para aktivis SIRA duduk rapat di Wisma Bintara Pineung, Banda Aceh. Sekitar 230 orang datang dari berbagai wilayah. Tujuannya, membicarakan pembentukan partai politik lokal untuk terus memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh dalam era transformasi politik.
ADVERTISEMENT
Selang tiga hari kemudian, mereka mendeklarasikan Partai Suara Independen Rakyat Aceh atau Partai SIRA. Tetap mempertahankan nama SIRA untuk nostalgia referendum, kendati kepanjangannya berbeda. Ketua Majelis Partai dipegang oleh Muhammad Nazar, saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh. Sementara Taufik Abda ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai SIRA
Ikut Pemilu Legislatif 2009, Partai SIRA tak memperoleh satupun kursi di DPRA, hanya beberapa kursi di DPRK. Partai tidak memenuhi batas kuota suara minimal di parlemen untuk bertahan di Pemilu 2014. Partai ini kemudian bubar dengan sendirinya, setelah beberapa kader bergabung dengan partai lain.
Muhammad Nazar kemudian membenahi partai, mengajak kembali beberapa kader bersatu jelang Pemilu 2019. Akhir 2017, mereka menyiapkan Partai SIRA, tanpa kepanjangan dan merubah sedikit lambangnya. Setelah melalui serangkaian verifikasi, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan Partai SIRA sebagai salah satu partai lokal peserta Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Partai Nanggroe Aceh (PNA)
Partai ini dibentuk oleh para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kecewa terhadap rekannya di Partai Aceh. Ide pembentukan partai telah lama muncul sebelum Pilkada 2012, saat kelompok mantan GAM terpecah dalam dua kubu, kelompok tua, dan muda.
Setelah Pilkada 2012, para pelopor partai mendaftarkan ke Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Departemen Hukum dan HAM Aceh, 24 April 2012, dengan nama Partai Nasional Aceh (PNA). Ketua Umumnya Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, dengan Ketua Majelis Pertimbangan Partai, Irwandi Yusuf.
PNA dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2014, sesuai Surat Keputusan KIP Aceh Nomor 01 Tahun 2013. Ada dua partai lokal lainnya meramaikan pertarungan politik 2014, Partai Aceh dan Partai Damai Aceh (PDA).
ADVERTISEMENT
Hasil Pemilu, mereka kalah telat dari saudara tuanya, Partai Aceh. Partai ini hanya berhasil meraih tiga kursi di DPRA dan sejumlah kursi di DPRK, belum memenuhi parliamentary threshold untuk dapat bertahan.
Kongres pertama PNA digelar 1 Mei 2017, setelah Irwandi Yusuf dinyatakan menang dan berhak atas kursi Gubernur Aceh hasil Pilkada 2017. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh seluruh kader partai di daerah, Irwandi didampuk sebagai Ketua Partai menggantikan Irwansyah, yang kemudian memegang jabatan Ketua Mejelis Pertimbangan Partai.
Saat kongres, partai tersebut membahas perubahan AD/ART Partai, di antaranya perubahan nama dan lambang, ini menjadi syarat bagi mereka, agar bisa kembali berpartisipasi dalam Pemilu 2019.
Nama partai kemudian disepakati menjadi Partai Nanggroe Aceh, singkatannya sama, PNA. Untuk lambang, partai itu membuang gambar untaian padi dan lima bintang kecil, diganti dengan bulan sabit yang membuka ke kanan atas menjepit sebuah bintang. Warnanya tetap, putih dengan latar orange.
ADVERTISEMENT
Setelah mendaftar dan diverifikasi, Partai ini dinyatakan berhak ikut Pemilu Legislatif 2019, dengan nomor urut 18. []
Reporter: Adi Warsidi