Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Empat partai politik lokal (Parlok) ikut meramaikan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 di Aceh. Bagaimana peluang mereka? Akankah Pemilu kali ini menjadi palagan terakhir bagi partai lokal? Kita tunggu hasil pemungutan suara, Rabu besok (17/4).
ADVERTISEMENT
Dalam dua kali pemilu pasca-damai di Aceh, Partai Aceh (PA) keluar sebagai jawara. Pada Pemilu 2009, partai bentukan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini meraup 46,92 persen suara untuk kursi DPR Aceh.
Dengan perolehan suara sebanyak itu, mereka sukses mengamankan 33 kursi di parlemen Aceh (DPRA) dari 69 alokasi kursi yang tersedia. Keunggulan Partai Aceh tersebut sudah diprediksi jauh hari setelah beberapa kader GAM berhasil memenangkan Pilkada 2006 di sejumlah kabupaten/kota di Aceh.
Saat itu, ada 6 partai lokal yang ikut meramaikan kontestasi, seperti Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh. Tidak semua partai lokal itu seberuntung PA, kecuali Partai Daulat Aceh yang kebagian 1 kursi di DPRA.
ADVERTISEMENT
Dominasi PA terus berlanjut pada Pemilu 2014, hanya saja perolehan suaranya menurun. Dalam Pemilu kedua setelah Aceh damai, mereka cuma meraih 29,17 persen suara. Jumlah kursi untuk mereka menyusut menjadi 29 kursi dari 81 kursi yang diperebutkan. Ketika itu, hanya tiga partai lokal yang berlaga termasuk PA. Partai Damai Aceh (dulunya Partai Daulat Aceh) yang memperoleh 1 kursi, dan Partai Nasional Aceh (PNA) yang kebagian 3 kursi.
Kader Potensial Membidik Senayan
Pada Pemilu 2019 ini, sejumlah kader potensial Partai Aceh membidik satu kursi di Senayan. Mereka menyebar di sejumlah partai, seperti Gerindra, PKB, PBB, Nasdem dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Ruslan M Daud, membidik kursi DPR RI melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mantan Bupati Bireuen yang dulu didukung Partai Aceh memilih partai besutan Cak Imin. Ruslan kecewa setelah tersingkir dari Gerindra, partai nasional yang berkoalisi dengan Partai Aceh.
ADVERTISEMENT
Azhari Cagee, memanfaatkan perahu Partai Bulan Bintang (PBB) untuk melenggang ke Senayan. Anggota DPRA dari Partai Aceh ini butuh keajaiban untuk dapat mencicipi empuknya kursi DPR RI di Senayan. Partai bikinan Yusril Ihza Mahendra diragukan mencapai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen.
Peraih suara terbanyak dari Partai Aceh untuk kursi DPRA pada Pemilu 2014, Teungku Muharuddin, memilih Partai Nasdem untuk mengamankan salah satu kursi di daerah pemilihan (dapil) 2 Aceh. Sementara Kautsar Muhammad Yus, merasa nyaman dengan Partai Demokrat. Mantan Ketua Fraksi Partai Aceh ini sangat yakin bisa mengamankan tiket ke Senayan dari partai SBY itu.
Sementara dari Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Aceh, Teungku Anwar Ramli, peraih suara terbanyak kedua dari Partai Aceh untuk DPRA maju ke Senayan menggunakan perahu Partai Nasdem. Anwar didukung oleh Wakil Ketua Umum Partai Aceh, Kamaruddin Abubakar atau Abu Radak. Demi mendongkrak suara kader PA ini, Abu Radak memilih berseberangan jalan dengan Mualem, Ketua Partai Aceh. Ia membentuk Sekber pemenangan Jokowi-Amin, alih-alih ikut komando Mualem yang mendukung Prabowo-Sandi.
ADVERTISEMENT
Banyaknya kader potensial membidik kursi DPR RI, tentu saja akan mengganggu suara elektoral Partai Aceh. Pamor partai yang dua kali memenangkan pemilu di Aceh ini kian pudar. Ini, misalnya, dapat dilihat dari hasil Pilkada di sejumlah Kabupaten/Kota di Aceh. Kabupaten Bireuen yang sebelumnya dipimpin kader mereka, kini justru diambil alih oleh Partai Golkar. Begitu juga di Aceh Besar, kader mereka, Saifuddin Yahya (Pak Cek) keok di tangan Mawardi Ali yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN).
Dilema Partai Nanggroe Aceh
Partai Nanggroe Aceh (PNA – dulu Partai Nasional Aceh) sebenarnya memiliki kans untuk menggerogoti suara Partai Aceh dalam Pemilu 2019 ini. Tren ini, misalnya, dapat dibaca dari sejumlah kemenangan kader atau calon yang diusung PNA di beberapa Kabupaten/Kota, bahkan pada level provinsi.
ADVERTISEMENT
Calon yang diusung oleh PNA menang dalam Pilkada Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan juga Aceh Besar (yang berkoalisi dengan PAN). Sementara di Pidie, PNA mendukung Roni Ahmad (Abusyik) yang maju melalui jalur independen. Abusyik sukses mengalahkan calon dari Partai Aceh, Sarjani Abdullah.
Namun, laju PNA seakan terhenti setelah Irwandi Yusuf dicokok KPK pada Juli 2018 lalu. Penangkapan Gubernur Aceh dari PNA ini diyakini berpengaruh terhadap daya juang sejumlah calon legislatif mereka dalam Pemilu 2019 ini. Persiapan dan konsentrasi mereka akan terganggu oleh kasus ini. Penangkapan tokoh sentral PNA itu seperti memutuskan alur logistik bagi kader mereka. Sulit sekali bagi PNA mampu membalaskan kekalahan mereka pada Pemilu 2014 silam.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019, ada empat partai lokal Aceh yang menjadi peserta Pemilu bersama 16 partai lainnya, yaitu: Partai Aceh (nomor urut 15), Partai Sira (16), Partai Daerah Aceh (17) dan Partai Nanggroe Aceh (18). Sesuai aturan, partai lokal tersebut tidak berhak menempatkan Caleg-nya di tingkat DPR RI.
Isi Tas dan Dapil Menentukan
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam, mengatakan peluang kader Partai Aceh (PA) yang memilih maju ke DPR RI dengan ‘perahu’ partai nasional sangat ditentukan oleh isi tas dan pemilihan dapil. Boleh jadi seorang kader memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi, sangat aktif di media sosial dan wajah mereka kerap menghiasi halaman depan koran.
“Namun, belum tentu orang suka kepada kader tersebut. Di luar popularitas dan elektabilitas, kualitas juga menentukan. Orang sering menyebut kualitas ini dengan "isi tas,”” ujar Saifuddin Bantasyam kepada Acehkini.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ketokohan atau figur seseorang tak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Mungkin kader PA populer, misalnya, karena jabatan di dalam PA yang membuat kader itu sering hadir di wilayah publik, tetapi belum tentu orang memilih kader tersebut.
Pemilih, kata Saifuddin, akan melirik isi tas seorang calon. Jika ‘isi tas’ untuk kebutuhan di lapangan minim, kecil kemungkinan sang calon mampu menggaet banyak dukungan. “Pemilih yang pragmatis akan juga melirik isi tas tersebut. Isi tas yang banyak juga memungkinkan caleg menggaji timses mulai tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten,” kata dosen yang kerap menulis artikel di media.
Politik, lanjutnya, adalah soal peluang dan kesempatan. Bagi sebagian pendukung PA, tak ada persoalan saat beberapa kader PA "melepaskan baju PA" dan "loncat" ke parnas dan mencalonkan diri menjadi anggota DPR-RI. “Saya kira, pemilih yang pragmatis semacam ini lebih banyak yang ideologis, terutama dari kalangan muda,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Saifuddin menyarankan kader PA yang ingin melenggang ke Senayan agar memperhatikan soal daerah pemilihan. Pantai Utara-Timur Aceh adalah daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan kini menjadi basis Partai Aceh dengan persentase pemilih lebih banyak. “Jadi, pemilihan dapil tempat kader PA bertarung itu juga berpengaruh pada peluang mereka,” pungkasnya. Jika di basis-basis ini, para kader PA bisa meraup suara terbanyak, hasilnya akan lebih bagus.
Di atas segalanya, majunya sejumlah kader potensial Partai Aceh ke Senayan dan kasus yang kini melilit Irwandi Yusuf, sedikit banyak berpengaruh terhadap perolehan suara partai lokal. Jangan-jangan, Pemilu 2019 ini menjadi palagan terakhir bagi mereka, dan partai nasional akan kembali mendominasi ruang politik di Aceh. []
ADVERTISEMENT
Reporter: Taufik Al Mubarak