Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kabinet Gemuk Prabowo: Stabilitas Politik atau Justru Beban Birokrasi?
19 Oktober 2024 18:05 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ahcmad Naufal Khairullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan di dalam ruang rapat kabinet pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto nanti, suasana akan semakin ramai, dengan kursi-kursi baru terus ditambahkan hingga membuat saya bertanya-tanya bagaimana mekanisme kerja yang akan diimplementasikan di dalam kondisi rapat yang seperti itu. Dengan rencananya untuk menambah kementerian dari 34 hingga 46 dan posisi wakil menteri dan kepala badan hampir 60, Indonesia hampir mencetak rekor sebagai negara dengan jumlah anggota kabinet terbanyak di dunia, hanya kalah dari India yang memiliki 58 kementerian dan 93 departemen di negaranya.
ADVERTISEMENT
Di negara yang menganut sistem multipartai ini, ambisi Prabowo untuk merangkul seluruh golongan dan elemen sosial-politik ke kabinetnya sudah sangat jelas. Tindakan membagi-bagi kursi kabinet ini merupakan bentuk strateginya dalam mengakomodir kepentingan politik berbagai pihak. Sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik
Hal ini kemudian membuat saya khawatir, dengan semakin banyaknya pihak yang terlibat, maka akan semakin sulit pula kinerja yang benar-benar efektif untuk menghasilkan kebijakan yang baik. Bukan hanya itu, kondisi ini juga membuka jalan bagi para penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis untuk memanfaatkannya.
Dasar Hukum: UU Nomor 61 Tahun 2024
Pembentukan kabinet gemuk Prabowo Subianto tidak lepas dari landasan hukum yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Revisi ini menghasilkan penghapusan batasan jumlah Kementerian dan akan ditentukan sesuai kebutuhan Presiden RI. Langkah ini diklaim sebagai upaya menciptakan pemerintahan yang lebih inklusif dengan melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Namun, seperti yang akan penulis uraikan dalam artikel ini, langkah ini juga menyisakan sejumlah tantangan serius dalam tata kelola pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Refleksi Atas Kinerja Kabinet Era Jokowi
Dalam konsep ilmu public administration atau administrasi publik, struktur dan ukuran pemerintahan sangat berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Max Weber, salah satu tokoh terkemuka dalam teori birokrasi, menyebutkan bahwa birokrasi yang ideal adalah yang tersentralisasi, teratur dengan aturan yang jelas, dan beroperasi secara rasional untuk mencapai tujuan tertentu. Weber juga memperingatkan bahaya birokrasi yang terlalu kompleks, di mana banyaknya lapisan hierarki dan aktor dalam proses pengambilan keputusan dapat memperlambat kinerja pemerintah.
Peningkatan jumlah kementerian dan wakil menteri dalam kabinet Prabowo Subianto akan menciptakan lebih banyak aktor dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Jumlah kementerian yang besar ini berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antar-kementerian/lembaga (KL), dan tanpa koordinasi yang kuat, pemerintah akan menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan kebijakan antar-kementerian/lembaga.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kabinet pemerintahan Presiden Jokowi, tumpang tindih regulasi dan kurangnya koordinasi antar-kementerian/lembaga memaksa Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 68 Tahun 2021, yang mengharuskan setiap rancangan peraturan menteri dan kepala lembaga melalui persetujuan presiden terlebih dahulu. Ini menggambarkan bahkan dengan jumlah kementerian yang berjumlah segitu saja, koordinasi antar-kementerian/lembaga menjadi masalah yang kompleks dalam format birokrasi pemerintahan lalu.
Peraturan ini mengharuskan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rpermen/rperka antar-kementerian/lembaga yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebelum disahkan, sebagai upaya untuk mengurangi potensi benturan regulasi. Maka jika kabinet Prabowo Subianto diperbesar, mekanisme pengawasan dan koordinasi tersebut akan lebih ketat dan diperlukan kembali inovasi baru untuk menghindari birokrasi yang semakin berbelit.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini turut membuat banyak kementerian/lembaga semakin bekerja keras utamanya tugas Sekretariat Kabinet sebagai pintu masuk permohonan persetujuan oleh Presiden akan semakin berat.
Potensi Policy Paralysis
Resiko terbesar dari kabinet besar adalah terjadinya policy paralysis, di mana para pengambil keputusan tidak dapat atau tidak mau mengambil tindakan terhadap isu-isu penting. Hal ini dapat terjadi karena ketidaksepakatan, takut membuat kesalahan, atau terlalu banyak birokrasi. Akibatnya, masalah tidak teratasi, dan peluang untuk perbaikan pun hilang.
Banyaknya kementerian dan wakil menteri menciptakan rantai birokrasi yang panjang, memperbesar resiko konflik antar-kementerian/lembaga, dan memperlambat implementasi kebijakan. Dalam kondisi ini, alih-alih menghasilkan pemerintahan yang tangkas dan responsif, kabinet besar justru bisa menjadi beban bagi efisiensi birokrasi dan pelayanan publik bahkan lebih jauhnya dapat menghambat laju investasi.
ADVERTISEMENT
Pelajaran dari pemerintahan Jokowi memberikan gambaran nyata tentang tantangan birokrasi yang kompleks di Indonesia. Reformasi birokrasi yang diupayakan oleh Jokowi sering kali terhambat oleh tumpang tindih regulasi, ego sektoral, dan kurangnya komunikasi lintas kementerian/lembaga. Bahkan, Jokowi turut mengamini bahwa masih adanya kultur ego sektoral di dalam kementerian/lembaga yang kemudian menjadi salah satu hambatan utama dalam mencapai efisiensi birokrasi.
Hal senada juga ia sampaikan pada momen pengumuman kabinet periode keduanya sebagai penegasan dengan mengatakan, “Tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden dan wakil presiden. Kalau sudah diputuskan di dalam rapat, jangan sampai di luar masih diributkan lagi.”
Pengalaman ini seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan jumlah kementerian yang lebih banyak, tantangan birokrasi dan koordinasi akan semakin besar. Resiko terjadinya debirokratisasi akan meningkat, sehingga potensi keberhasilan kabinet besar ini dalam menjalankan program-program pemerintahan malah akan terganjal seperti kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang ikut terganggu.
ADVERTISEMENT
Melemahnya Oposisi dan Checks and Balances
Selain resiko birokrasi yang tidak efisien, pembentukan kabinet besar juga menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya checks and balances dalam pemerintahan. Dalam konteks koalisi besar yang dibentuk oleh Prabowo, di mana hampir seluruh kekuatan politik bergabung dalam pemerintahannya, Indonesia berpotensi kehilangan suara oposisi yang kuat di parlemen. Oposisi yang lemah menandakan minimnya mekanisme pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pengambilan kebijakan yang kurang matang semakin besar. Sebagaimana falsafah Lord Acton yang terkemuka “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Dalam teori good governance, prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat sangatlah penting. Ketika pemerintahan terlalu terpusat dan oposisi tidak berfungsi secara optimal, resiko munculnya groupthink yaitu pola pikir seragam tanpa adanya perdebatan kritis akan meningkat. Dalam kondisi ini, kebijakan yang dihasilkan cenderung kurang kritis dan tidak memperhatikan perspektif alternatif yang diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang inklusif.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini mengingatkan saya pada tulisan Bung Hatta melalui karyanya Demokrasi Kita, “Bagi beberapa golongan, menjadi partai pemerintah berarti juga “membagi rezeki”. Golongan sendiri diutamakan, masyarakat dilupakan. Partai yang pada hakikatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar rakyat belajar bertanggung jawab sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat. Tetapi pada kenyataannya, partai dijadikan tujuan dan negara sebagai alatnya.”
Menempuh Proses yang Panjang dan Tidak Mudah
Salah satu dampak langsung dari pembentukan kabinet besar adalah waktu dan biaya yang sangat besar. Pemisahan atau penggabungan nomenklatur kementerian membutuhkan proses yang tidak singkat, mulai dari perubahan struktur organisasi, alokasi anggaran baru, dibutuhkan banyak sosialisasi dan adaptasi dengan kementerian dan pegawai baru. Karena banyak kementerian baru ini yang belum memiliki gedung hingga hal-hal teknis seperti perubahan kop surat dan papan nama kantor.
ADVERTISEMENT
Sehingga kinerja pemerintahan Prabowo dinilai masih akan sulit efektif dalam 1–2 tahun ke depan. Walau nanti pada tahun ketiga pun, program akan mulai bisa berjalan, kendala di tahun keempat akan datang dengan fokus pemerintahan yang sudah mulai bergeser lagi ke persiapan Pilpres tahun 2029.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar, apakah kabinet besar ini benar-benar diperlukan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif, atau justru akan menjadi beban bagi birokrasi Indonesia?
Penutup
Pada akhirnya, kita hanya bisa menunggu dan melihat apakah kabinet gemuk Presiden terpilih Prabowo Subianto benar-benar bisa mencapai keseimbangan antara stabilitas politik dan efisiensi birokrasi. Harapan kita untuk melihat kabinet zaken, sebuah kabinet yang terdiri dari teknokrat dan profesional yang kompeten di bidangnya. Kini, hanyalah angan-angan yang sulit terwujud, tenggelam oleh politik pembagian kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Setali tiga uang dengan yang dimaktubkan oleh Bung Hatta, “Seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran, bukan berdasarkan prinsip the right man in the right place. Orang yang tidak berpartai atau partai yang duduk di bangku oposisi akan merasa kehilangan pegangan dan patah hati. Dengan budaya politik seperti itu, alih-alih untuk memperkuat budi pekerti dan karakter, meraka malah mengasuh orang untuk luntur karakter.”
Mungkin inilah kenyataan yang harus kita terima bahwa politik selalu penuh dengan negosiasi dan berbagi kursi. Dalam proses ini, kita sebagai rakyat hanya dapat melihat kompromi pembagian kekuasaan oleh para elit. Namun, dibalik ini semua kita tetap harus berharap bahwa di tengah semua kompromi politik ini, masih ada asa untuk membangun kembali cita-cita demokrasi ideal yang kita impikan.
ADVERTISEMENT
Semoga pada akhirnya, bangsa kita akan menemukan jalan untuk menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi yang tepat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok, akan tetapi demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan bersama.