Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menteri Risma dan Marginalisasi Papua
27 Juli 2021 11:08 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Achmad San tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sangkaan rasisme bahkan bisa datang dari pejabat negara. Itulah kenyataan pahit yang mesti dialami Menteri Sosial Tri Rismaharini. Risma yang memang dikenal punya watak temperamental dan ceplas-ceplos secara implisit telah melabeli Papua sebagai daerah marginal.
ADVERTISEMENT
Pertengahan Juli lalu, mantan wali kota Surabaya itu naik pitam dan mengancam memindahkan (dengan konotasi negatif) para aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Wyata Guna, Bandung, ke wilayah Papua. Anak buahnya dianggap enggan membantu pekerjaan di dapur umum untuk memasok telur kepada masyarakat, tenaga kesehatan, dan petugas pengamanan dalam masa PPKM.
”Mulai sekarang, saya nggak mau lihat seperti ini. Kalau saya lihat lagi, saya pindah semua ke Papua. Saya nggak bisa mecat kalau nggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua sana,” kata Risma saat itu.
Meskipun pihak Kemensos buru-buru mengklarifikasi, berita ”pembuangan” ASN ke pulau timur Indonesia itu telanjur menjadi bola panas. Sejumlah aktivis menyayangkan pernyataan tersebut keluar dari Risma yang notabene pejabat negara. Aji mumpung, oposisi tak mau ketinggalan urun komentar bahwa ucapan itu tak pantas keluar dari menteri yang justru menaungi problem sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kulit Berwarna
Dalam satu konteks wacana itu, Risma sedikitnya dua kali menyebut Papua. Bahkan, yang kedua ditambah kata ”sana”. Sebuah kata yang secara gramatikal saja bermakna tempat yang jauh dari kita di sini. Secara psikologis, frasa ”Papua sana” dalam konteks itu dapat ditafsirkan sebagai daerah yang jauh dan berlainan dari sejumlah aspek. Papua di ”sana” berbeda dengan Jawa di ”sini”, misalnya. Sehingga dijadikan ”lokasi pembuangan” bagi mereka yang dikenai sanksi sebagaimana kehendak Menteri Risma.
Konon, dalam ilmu psikologi, ucapan spontan yang keluar kali pertama dari mulut, apalagi disertai nada emosional, itulah memang yang sedang dipikirkan. Setelah mengundang polemik, barulah klarifikasi bermunculan. Karena itu, dalam dunia politik kerap muncul klarifikasi begitu pernyataan/tindakan sebelumnya menyulut kontroversi.
ADVERTISEMENT
Itu pula yang sempat dialami Saleh Partaonan Daulay, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (sengaja ditulis lengkap biar ”rakyat”-nya tidak terlupakan), yang disorot lantaran mengeluarkan pernyataan agar anggota dewan tidak kesusahan mendapatkan ruang ICU usai terpapar Covid-19. Ia kemudian mengklarifikasi bahwa konteksnya saat itu adalah meminta pemerintah menyiapkan fasilitas kesehatan yang mumpuni untuk merawat pasien Covid-19 tanpa terkecuali. Klarifikasi pun semacam menjadi senjata pemungkas.
Kembali ke soal Papua. Diakui atau tidak, salah satu bentuk diskriminasi terhadap warga Papua adalah rasisme. Dan rasisme merupakan persoalan laten. Masih banyak sejumlah kalangan yang memandang Papua dari kacamata warna kulit. Kita yang di Jawa, seperti lokasi tempat sang menteri berujar tadi, menganggap Papua adalah liyan karena perbedaan warna kulit.
ADVERTISEMENT
Ketika menyebut mereka hitam, misalnya, kata itu tidak hanya menjadi penanda sebuah benda/orang berwarna hitam. Sebab, mengutip Wening Udasmoro dalam buku Hamparan Wacana: Dari Praktik Ideologi, Media, hingga Kritik Pascakolonial, hitam (atau negro) bukanlah kata yang netral secara sosial. Ia juga menjadi penanda budak-budak yang dulu, pada abad ke-18, berasal dari Afrika Amerika. Superioritas kulit putih atas kulit hitam yang menjadi budak itulah yang lantas memunculkan diskriminasi dan rasisme dengan sejarah yang membentang, bahkan hingga kini.
Serpihan sejarah itu tampaknya telah menjalar ke Indonesia dan ”meracuni” kita. Sehingga begitu mendengar orang berkulit warna (hitam/negro), alam bawah sadar langsung melabeli sebagai yang liyan, yang dulu pernah menjadi budak, dan yang terbelakang. Termasuk yang secara tersirat dilontarkan Risma tadi. Di Negeri Paman Sam sampai muncul gerakan Black Lives Matter.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini memang kata hitam atau negro secara konstitusional dan sosial, mengutip Wening Udasmoro lagi, sudah jarang dipakai. Tapi, secara kultur masih sulit dihilangkan. Termasuk di Indonesia dengan jaminan ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang sayangnya masih menjadi sila anak tiri di mata Buya Syafii.
Pelabelan
Problem Papua memang rumit dan akut. Media pun kadang turut melakukan pembingkaian. Contoh paling kasat mata adalah konflik tak berujung antara pemerintah dan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Problem berkepanjangan itu lantas berbuah penyematan status ”teroris” kepada mereka yang dianggap telah memberontak. Meski sejumlah aktivis Papua menyayangkan labelling itu, misalnya dengan menyebut bakal terjadi friksi antarsesama warga Papua, toh pemerintah bergeming.
Entah karena latah atau apa, sejumlah media juga turut melabeli mereka sebagai teroris atau kata-kata yang mengarah ke peperangan. Tengoklah dua judul berita ini: SD-Puskesmas Dibakar Teroris, Polri Akan Bersihkan KKB dari Puncak Papua serta Siap Perang! TPNPB Beri Pesan ke Pasukan Setan TNI: Kami Tak Akan Mundur. Judul pertama ikut melabelinya sebagai teroris, sedangkan judul ketua mengambil sudut pandang ”TPNPB siang perang”. Tidak adakah pihak-pihak yang berupaya mencarikan jalan tengah dengan perantara dialog?
ADVERTISEMENT
Mari hilangkan kesan miring, apalagi diskriminasi dan rasisme, tentang Papua berikut saudara-saudara kita yang hidup damai di tanahnya. Papua bukan tempat ”pembuangan”. Ia adalah anugerah tak ternilai. Sebagai negara kepulauan, Indonesia tentu tidak ingin kehilangan sebuah pulau untuk kali kedua. (*)