Konten dari Pengguna

Laut dan Pesisir: Indah dalam Media Sosial, Buruk sebagai Realita

Achmad Zainuddin
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.
30 Juli 2023 10:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Zainuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari Yunia Melia Putri (@_yuniamel) (Sudah Berizin dengan pembuat ilustrasi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari Yunia Melia Putri (@_yuniamel) (Sudah Berizin dengan pembuat ilustrasi)
ADVERTISEMENT
Cinta yang dulu hilang kini kembali, begitulah kiranya frasa yang tepat untuk menyambut pembukaan ekspor pasir laut. Tepat tanggal 15 Mei 2023, presiden Jokowi menerbitkan regulasi yang cukup mengejutkan.
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 menjadi saksi pertemuan Indonesia dengan cinta lamanya. Dua puluh tahun terputus jalinan kasih, kini hadir dengan memberi harapan untuk negeri.
Harapannya seperti di caption postingan instagram Kementerian Kelautan dan Perikanan @kkpgoid “memenuhi kebutuhan pembangunan dan mengatasi akibat perubahan iklim”.
Melihat mantan yang kembali, hiruk pikuk terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan data Institute for Development of Economic and Finance, sebanyak 40.702 pembicaraan dari 28.561 akun media sosial twitter membahas mengenai ekspor pasir laut.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Dari banyaknya pembicaraan, 58% menilai eksploitasi pasir laut mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Penolakan masyarakat berangkat dari trauma di zaman orde baru.
Selama 33 tahun sejak 1970, ekspor pasir laut menggerogoti garis teritori Indonesia dengan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Malapetaka ekspor pasir laut baru berakhir di tahun 2003 ketika ibu Megawati menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk yang terjadi membuat pemerintah bersuara. Pasir laut yang di ekspor adalah hasil sedimentasi yang mengganggu pelayaran serta terumbu karang, celetuk Presiden Jokowi.
Tak ketinggalan pula Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ikut berkomentar bahwa ekspor pasir laut sedimentasi merupakan dukungan terpeliharanya daya dukung ekosistem pesisir dan laut.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Komentar paling penting datang dari Menteri Kelautan dan Perikanan bahwasanya ekspor pasir laut adalah langkah yang tepat mengatasi kerusakan lingkungan. Sesuai namanya kelautan dan perikanan sehingga penting untuk didengar sebagai aktor yang bertanggung jawab atas dampak ekspor pasir laut.
Bersuara untuk berdalih dipermanis dengan postingan sosial media, begitulah yang dilakukan oleh pemerintah. Akun @kkpgoid mengunggah beberapa postingan mengenai sedimentasi laut pasca PP 26/2023 diterbitkan.
ADVERTISEMENT
Dalam postingannya terdapat pengertian sedimentasi laut, bagaimana cara pengelolaannya, dampak negatif sedimentasi, mengapa kita butuh sedimentasi, sampai dengan video contoh pengelolaan sedimentasi laut yang ramah lingkungan. Seolah-olah sedimentasi dijadikan barang yang jahat agar masyarakat setuju dengan ekspor pasir laut.
Padahal dampaknya nyata terhadap lingkungan serta masyarakat pesisir. Seperti yang dirasakan oleh masyarakat pesisir Riau dan Kepulauan Riau yang sudah terdampak oleh pengerukan pasir laut ilegal. Perusahaan yang dulu dihentikan, di tahun 2021 kembali dengan membawa petaka terhadap masyarakat.
Akibatnya pariwisata menjadi macet serta tangkapan ikan nelayan menjadi sedikit. Sama halnya yang terjadi di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Alat berat selalu menghantui kehidupan warga di sana, dengan bayang-bayang suatu hari rumah mereka hancur seperti yang lain. Ancaman juga datang dari abrasi yang terus mengikis pantai sampai meningkatkan potensi hilangnya Pulau Sebatik.
Ilustrasi Pengerukan Pasir Laut (Sumber : https://pixabay.com/id/photos/pantai-penggali-backhoe-pasir-5649161/)
Masih banyak kasus seperti di atas, dan beberapa pernah di unggah oleh KKP. Di situlah keanehannya, sebelumnya KKP selalu mengunggah postingan tentang dampak dari penambangan pasir laut.
ADVERTISEMENT
Namun, sekarang masyarakat di suruh setuju dengan penambangan pasir laut dengan alasan pengelolaan sedimentasi. Terdapat banyak kasus mengenai pesisir dan laut yang ditutupi dengan postingan indah di sosial media.

Di Balik Keindahan Laut dan Pesisir

Ilustrasi Pantai Blackpool, Inggris. Foto: Shutterstock
Sosial media memang sering digunakan oleh pemerintah untuk memikat maupun menutupi sesuatu, tak terkecuali dalam masalah laut dan pesisir. Laut dan pesisir selalu di gembor-gemborkan dengan perkataan “laut kita kaya, laut kita indah”. Berbagai media instansi pemerintah yang berhubungan dengan pesisir dan laut selalu mengunggah keindahan kelautan kita.
Seperti unggahan @kemenparekraf,ri tentang keajaiban terumbu karang Raja Ampat. Potongan caption seperti “Raja Ampat lahir dengan indah dan kaya berkah” seolah-olah memang dibuat untuk membuai kita.
ADVERTISEMENT
Padahal dibalik itu terselip kasus MV Caledonian Sky yang belum menemui titik terang sampai sekarang. Sudah hampir 6 tahun berlalu kerusakan yang ditinggalkan belum teradili.
Dengan kerusakan terumbu karang seluas 18.882 m2, seharusnya kasus ini dapat diadili secara cepat, namun ganti rugi belum di dapati sekalipun melibatkan 3 menteri.
Memang benar Raja Ampat memiliki gelar episentrum segitiga terumbu karang dunia, namun gelar tersebut akan sirna apabila bom, zat kimia, jangkar kapal, serta kasus seperti di atas tetap dibiarkan menggerus terumbu karang di sana.
Ilustrasi Terumbu Karang (Sumber : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Moofushi_bleached_corals.JPG)
Masih banyak lagi daerah yang mengalami kerusakan terumbu karang. Menurut data LIPI, kondisi terumbu karang Indonesia mengalami kerusakan sebesar 72%, sedangkan sisanya dalam keadaan baik. Dengan kerusakan sebesar itu, postingan bernuansa indah dan memikat menjadi salah satu jalan alternatif bagi pemerintah untuk menutupinya.
ADVERTISEMENT
Dari terumbu karang, kita beralih ke masalah pantai. Indonesia dianugerahi dengan garis pantai terpanjang nomor 2 di dunia. Anugerah tersebut dapat dirasakan dengan menyelami akun @pesona.indonesia.
Akun @pesona.indonesia menyuguhkan postingan keindahan pantai Indonesia. Akan tetapi, tidak semua pantai bisa terpampang dalam postingannya.
Jangan berharap pantai kotor seperti Pantai Pancer masuk dalam jajaran postingannya. Apalagi top 5 pantai terkotor di Indonesia, yakni Pantai Marunda, Pantai Pangandaran, Pantai Kuta, Pantai Sukaraja, dan Pantai Labuan.
Namun, baru-baru ini @pesona.indonesia serta @kemenparekraf.ri menyoroti salah satu pantai terkotor di Indonesia. Hal itu dikarenakan viralnya postingan @pandawaragroup tentang bersih-bersih pantai yang dilakukan bersama masyarakat di Pantai Sukaraja.
Kotornya pantai disebabkan oleh banyaknya sampah yang di bawa arus laut. Laut kita kaya akan sumber daya, dan sampai saat ini tetap kaya, kaya akan sampah. Melihat data dari databoks, kaya akan sampah cukup pantas disematkan terhadap laut Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sekitar 1.772,7 g/m2 sampah mencemari laut Indonesia, serta Indonesia menyumbang 56.333 metrik ton plastik yang mengarungi lautan dunia.
Ilustrasi Laut Kotor (Sumber : https://pxhere.com/id/photo/992979)
Kotornya laut kita sering tersorot oleh dunia, seperti video penyelam Inggris yang sempat viral karena menyelam di antara sampah Laut Bali.
Namun, pemerintah seakan menutup mata, bukannya membuat postingan yang meningkatkan kesadaran masyarakat, malah mengunggah postingan yang membanggakan sebagian kecil keindahan laut kita.
Selain yang disebutkan di atas, masih banyak kerusakan yang dialami oleh laut dan pesisir. Sosial media pemerintah hanya menampilkan sisi keindahan laut dan pesisir.
Sangat jarang pemerintah menampilkan kerusakan di baliknya. Pemerintah sering menggunakan sosial media untuk pencitraan, meredam amarah rakyat, serta menutupi sesuatu yang dapat merusak keindahan laut dan pesisir.
ADVERTISEMENT
Dapat dikatakan pemerintah kurang transparansi dalam persoalan laut dan pesisir. Padahal transparansi merupakan nilai kunci bagi pemerintah untuk dapat dipercaya (Al-Omoush et al., 2023).
Transparansi dalam informasi memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi kinerja dari pemerintah (Song & Lee, 2015). Tidak hanya itu, unggahan tentang kerusakan laut dan pesisir dapat membangun kesadaran masyarakat.
Masyarakat akan tersadar untuk menjaga keindahan dan kekayaan laut kita. Sebagai negara maritim terbesar di dunia, budaya transparansi perlu dinormalisasikan dalam penggunaan sosial media, khususnya dalam masalah laut dan pesisir.