Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomenologi Dalam Studi Agama: Menuju Pemahaman Keagamaan Secara Maknawi
25 Februari 2024 11:31 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Adam Satria Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sikap keagamaan yang ditunjukkan dalam tindakan seperti doa dan upacara: kurban dan sakramen, berbagai konsep religiusnya yang digambarkan dalam mitos dan simbol, kepercayaannya tentang hal-hal suci, makhluk supranatural, dewa-dewa, dan sebagainya, di dalam topik agama semuanya adalah fakta keagamaan, hal itu menjadi pokok bahasan yang sentral di setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah terhadap fakta keagamaan dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi agama, psikologi agama, filsafat agama, teologi agama, dan sebagainya. Meskipun dari pokok bahasan yang sama, yakni fakta keagamaan, berbagai disiplin ilmu tersebut bekerja sesuai dengan jangkauan dan tujuannya. (Dr. A. Sudiarja, 1995).
ADVERTISEMENT
Fenomenologi agama, bersifat empiris dan tidak normatif seperti teologi agama, dengan ini dapat diartikan bahwa, saat membandingkan berbagai agama, fenomenologi tidak berusaha menunjukkan bahwa satu agama lebih unggul daripada yang lain. (Dr. A. Sudiarja, 1995). Meskipun berbeda dengan disiplin ilmu yang lain, fenomenologi agama telah mengambil keuntungan dari penelitian yang dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Banyak disiplin ilmu lain juga telah memberikan kontribusi yang signifikan untuk studi agama.
Seperti termuat di atas, fenomenologi agama tidak bermaksud memperbandingkan agama-agama, melainkan menarik fakta atau fenomena agama-agama yang kemudian dikumpulkan dan dipelajari. Dalam kinerjanya, fenomenologi agama sangat membutuhkan aspek historis, akan tetapi lebih dari aspek historis, fenomenologi agama juga mempelajari hubungan struktural. Disini beberapa ilmuwan mempersoalkan perbedaan penyebutan istilah antara sejarah agama dan fenomenologi agama, karena keduanya hampir sama. (Dr. A. Sudiarja, 1995).
ADVERTISEMENT
Sebagian ilmuwan yang tergolong sejarawan juga bersikeras terhadap kesimpulan fenomenologi agama yang menyatakan bahwa hakikat dari fakta keagamaan dapat dipahami. Bagi disiplin ilmu lain, fenomena religius adalah fakta sejarah, tidak mempunyai nilai di luar sejarah. Sudah tentu, ini adalah tuduhan yang tidak adil karena fenomenologi agama tidak pernah bercita-cita untuk menjadi suatu ilmu yang menyelidiki hakikat mutlak agama. (Dr. A. Sudiarja, 1995). Maka, titik fokus masalahnya adalah definisi fenomenologi agama belum diketahui, terdapat perbedaan penyebutan istilah, kemudian tentang hakikat dari fakta keagamaan, dan alat apa yang digunakan fenomenologi agama dalam melihat fenomena religius ?
Fenomenologi Agama
Fenomenologi awalnya adalah istilah filsafat yang diciptakan oleh Edmund Husserl untuk melihat fenomena, ini berarti ilmu pengetahuan tentang apa yang nampak/fakta. Fenomena yang dimaksud Husserl bukan hanya sekadar fenomena, akan tetapi filsafat ini ingin mencari nilai pada fenomena yang tampak. Jika dikontekskan melihat agama, fenomenologi merupakan sebuah ikhtiar untuk melihat secara komprehensif fakta-fakta keagamaan yang kemudian mengejawantah dalam bentuk konsep, praktik, dan pengalaman keagamaan pemeluknya. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang isi agama-agama dan makna religius yang terkandung dari banyak data yang tersebar luas. Seorang fenomenolog akan melakukan penyelidikan, kemudian dicatat, diklasifikasi, dan dikelompokkan dengan cara ilmiah tertentu, sehingga memperoleh suatu data sangat benar makna agamis yang terkandung (dalam sudut pandang pemeluknya). (Bahri, 2015).
ADVERTISEMENT
Edmund Husserl dalam fenomenologinya, menggunakan alat utama, yakni epoche dan eidetic vision. Keduanya dengan mudah dipahami menggunakan analogi, bagi seorang fenomenolog, epoche, sikap menunda memberikan penilaian apakah fakta keagamaan yang diteliti benar atau salah. Selain itu, tetap netral (tidak memihak) dan menghilangkan segala praduga atau anggapan sebelumnya tentang objek. Kemudian, mendengarkan dengan hati-hati apa arti agamis sebenarnya dan apakah ada pengalaman spiritual dari gejala keagamaan yang terlihat. Dengan tuntunan seperti ini, lebih mudah bagi peneliti untuk menemukan makna dari fenomena atau fakta keagamaan. (Bahri, 2015).
Fenomenologi agama berfokus pada pemilihan berbagai struktur dari berbagai fenomena religius. Struktur-struktur ini sendirilah yang dapat membantu kita menemukan makna fenomena religius, terlepas dari tempatnya di ruang dan waktu serta hubungannya dengan lingkup budaya. Makna yang dapat kita pahami dari fenomena religius, disebabkan karena fenomena religius itu bersifat subjektif, dalam arti bahwa manifestasi keadaan mental dari penganut agama (manusia religius), dalam caranya melihat sesuatu dan menginterpretasikannya. Fenomena dan segala yang berkaitan ini-lah sekaligus bersifat objektif. Memahami suatu fenomena religius menggunakan sikap simpati, empati, dan perasaan terhadap pengalaman, pikiran, emosi dari penganut agama.
ADVERTISEMENT
Fenomenologi Agama atau Sejarah Agama
Fenomenologi agama mengambil sumber dari sejarah agama tertentu. Namun, ia mengatur fenomena lebih sistematik daripada perkembangan genetis (asal-usul). Misalnya, bagaimana berbagai agama melihat kepercayaan terhadap Tuhan ? jawaban dari berbagai agama tentu menjelaskan kepercayaan terhadap Tuhan dalam tahap historis yang berbeda, dari asal-usul hingga perkembangannya. Namun, jawaban fenomenologi agama akan menampilkan gagasan-gagasan dari berbagai agama secara analitis, untuk mendapatkan makna dari konsepsi Tuhan. (Dr. A. Sudiarja, 1995).
Menurut Raffaele Pettazoni, Sejarah dan fenomenologi saling bergantung satu sama lain; tanpa etnologi (cabang ilmu antropologi budaya, fokus pada asas kemanusiaan-kebudayaan di berbagai suku bangsa), filologi (suatu ilmu untuk mengkaji sejarah kehidupan suatu bangsa yang terdapat pada naskah kuno), dan bidang sejarah lainnya, fenomenologi tidak dapat berfungsi. fenomenologi agama adalah pemahaman religius tentang sejarah, ia memberikan ilmu sejarah pengertian keagamaan yang tidak dapat dicapai olehnya. (Dr. A. Sudiarja, 1995).
ADVERTISEMENT
Jadi, permasalahannya bukan memilih salah satu diantara keduanya “fenomenologi agama atau sejarah agama”, melainkan menempatkan keduanya dalam hubungan kerja sama, analogi, dan hubungan timbal balik. Kaum sejarawan dan fenomenolog mengalami dinamika yang bermanfaat karena memungkinkan ilmu agama berkembang dari dalam dan melepaskan diri dari dogmatisme.
Semua disiplin ilmu sejarah memberikan karakteristik nyata dari fenomena religius yang terjadi dalam kehidupan dan pengalaman manusia, sehingga pandangan kaum sejarawan yang menekankan beberapa disiplin ilmu sejarah adalah benar, karena itu juga kita tidak dapat dengan sembarangan bahkan teoritis menciptakan struktur dan makna dari fakta agama.
Makna Dibalik Fakta
Sebagai awalan, perlu diketahui bahwa jika kita berbicara tentang hakikat agama, ada berbagai macam hakikat, termasuk yang empiris, filosofis, dan teologis. Perlu digaris bawahi dan disepakati bahwa dalam fenomenologi agama, yang ingin dipahami adalah sifat fenomena religius dalam arti empiris dari struktur umum fenomena yang mendasari setiap fakta religius. (Dr. A. Sudiarja, 1995). Sebenarnya, keadaan seperti ini juga tidak dapat kita terima, karena hakikat suatu fakta keagamaan dikondisikan oleh sejarah, terlebih lagi dalam perkembangannya yang kemudian memberikan sumbangsih untuk sampai pada makna baru atau bahkan mengoreksi makna lama.
ADVERTISEMENT
Setiap data yang bersifat empiris dapat dibentuk menjadi lebih tepat dan akurat apabila peneliti menemukan bahan baru dalam penelitiannya.
Alat Utama Pendekatan Fenomenologi Agama
Husserl menggunakan istilah "epoche" untuk mengatakan bahwa ia menangguhkan pemberian penilaian terhadap persoalan kebenaran/kesalahan dari fenomena beragama, menunjukkan sikap tidak memihak, dan mendengarkan dengan serius untuk mencapai pemahaman yang benar tentang fakta keagamaan penganut agama. Sedangkan, "eidetic vision" adalah pencaharian yang berkaitan dengan eidos (inti sari), yaitu esensi/makna dari fakta-fakta keagamaan. (Bahri, 2015).
Fenomenolog dapat paham akan makna dari fenomena religius hanya melalui pemahaman terhadap ungkapan-ungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud meliputi kata-kata dan tanda-tanda apapun jenisnya serta tingkah laku yang ekspresif seperti gerakan tarian. (Dr. A. Sudiarja, 1995). Ekspresi adalah satu-satunya cara kita agar dapat menangkap pikiran-pikiran religius orang lain, dan kita dapat memasuki pikiran mereka dengan memikirkan serta mengalaminya menggunakan rasa empati atau wawasan imajinatif.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Pendekatan gaya fenomenologis merupakan pendekatan yang memiliki tingkat ketepatan dan keakuratan cukup tinggi dalam penelitian studi agama. Memahami tingkah laku orang beragama kemudian menangkap maknanya dan memperoleh data religius dari hasil ekspresi pengalaman beragama yang intens membuat pendekatan ini banyak diminati kalangan studi agama.