Konten dari Pengguna

Islam Progresif Perspektif Abdullah Saeed

Adam Satria Nugraha
Mahasiswa program studi perbandingan agama/ushuluddin di Universitas Muhammadiyah Kota Surabaya.
10 Maret 2024 10:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adam Satria Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Qur'an. Gambar: freebiespic/pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Qur'an. Gambar: freebiespic/pixabay
ADVERTISEMENT
Adanya perbedaan dan perubahan yang signifikan terhadap sikap keberagamaan orang Islam terdahulu dengan yang sekarang, begitupun juga ketika Qur’an diturunkan, masyarakat Islam sekitar empat belas abad yang lalu tidak memiliki kebutuhan yang sama dengan orang-orang muslim modern. (Gafur, 2019). Fenomena religius yang terjadi selama ini, pada saat masyarakat menghadapi problematika kehidupan masa kini, mereka menggunakan kitab-kitab klasik dan karangan ulama terdahulu.
ADVERTISEMENT
Anggapan yang beredar dalam pikiran masyarakat adalah bahwa fikih sudah final, kemudian jika terdapat ajaran atau penafsiran baru yang tidak sepihak dengan ajaran klasik dianggap salah bahkan sesat. Padahal, ajaran Islam digambarkan begitu ideal sempurna dan pernah dibuktikan dalam sejarah, namun fakta yang terjadi saat ini Islam mempresentasikan dirinya dalam situasi cukup jauh dari cita idealnya. Seperti ibadah yang dipraktikkan, shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi atribut kesalehan. (M.A, 2016).
Selama ini, masih banyak yang memahami Islam hanya secara teologis dan normatif. Misalnya, jika seseorang memiliki nasib yang buruk, itu dianggap secara teologis sebagai akibat dari takdir Tuhan. Meskipun anggapan ini mungkin benar secara teologis, seseorang harus mempertimbangkan sebab-sebabnya dari perspektif sosio kultural, historis, dan budaya. Di kalangan masyarakat, ada kesalahpahaman tentang simbol-simbol agama. Akibatnya, agama lebih dihayati sebagai penyelamat individu daripada sebagai keberkahan sosial secara keseluruhan. Seolah-olah Tuhan tidak ada di masalah sosial kita, meskipun nama-Nya semakin banyak disebutkan. Kumpulan mitos dan ungkapan simbolis yang tidak memiliki arti telah mengkristalisasi pesan spiritual agama, sehingga agama tidak hadir dalam kesadaran kritis terhadap keadaan yang terjadi. (M.A, 2016).
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika ada pelanggaran moral seperti pelacuran dianggap sebagai perbuatan haram yang harus dilenyapkan. Namun, melenyapkan masalah tidak selalu dapat menyelesaikannya, karena pelacuran juga terkait dengan keimanan yang tipis, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, keterbatasan lapangan kerja, dan faktor-faktor lain. (M.A, 2016). Demikian juga dengan adanya anjuran memakai niqab atau cadar, memakai sarung tangan dan berpakaian menutup aurat bagi kaum perempuan. Jika kita berpikir kritis dan luas, dapat diproyeksikan dimana anjuran ini diterapkan pada masyarakat pedesaan atau bahkan para ibu petani, tentu saya anjuran tentang model berpakaian bagi perempuan diatas tidak relevan dan tidak sesuai kultur yang telah dibangun masyarakat pedesaan dan para ibu petani.
Oleh karena itu, pemahaman Al-Quran harus di reaktualisasi dan diinterpretasikan secara kontekstual. Ini harus dilakukan sebagai cara untuk menanggapi masyarakat sosial-religius modern. Pemahaman kita tentang ajaran agama harus diubah dan diperbaharui agar dapat digunakan sebagai rujukan dalam semua aspek kehidupan. Agama harus diaktualisasikan dengan kehidupan agar tetap dapat menunjukkan eksistensinya di tengah perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat, sehingga pemeluknya tidak meninggalkan agama karena tidak relevan lagi dengan perubahan zaman. (Gafur, 2019). Dari penjelasan diatas, dapat kita tarik beberapa permasalahan yang nantinya menjadi titik fokus utama pembahasan, yaitu apa dan bagaimana reaktualisasi pemahaman Al-Qur’an itu ? serta bagaimana menginterpretasikan secara kontekstualnya ?
ADVERTISEMENT
Reaktualisasi Pemahaman Al-Qur’an
Ilustrasi Riset. Gambar: StockSnap/pixabay
Reaktualisasi atau pembaruan cara memahami Al-Qur’an sangat dibutuhkan pada masa kini, hal ini digagas oleh pemikir Islam progresif yakni Abdullah Saeed. Beliau dalam upayanya memahami Al-Qur’an menawarkan pendekatan dengan corak baru, yakni pendekatan kontekstual. Pendekatan ini dinilai mampu memberi perhatian pada kondisi sosial-historis, serta diharapkan dapat menawarkan perspektif baru dan membebaskan diri dari para imam dan mufassir yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an secara tekstual. (Gafur, 2019).
Dinamika kehidupan masyarakat masa kini serta pembahasan-pembahasan keagamaan yang beredar di sosial media menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan masyarakat periode lalu. Perkembangan dan kemajuan teknologi serta temuan-temuan sains, astronomi, dan ilmu lainnya dapat mengubah arketipe dan pola berpikir seseorang dalam melihat fenomena persoalan kehidupan. Isu gender, isu Hak Asasi Manusia (HAM), isu kerusakan lingkungan, isu kawin beda agama, dan isu-isu lain masa kini telah menjadi tuntutan. Agama harus bisa menjawab tantangan zaman.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang terjadi masa kini, saat masyarakat ingin menjawab tantangan zaman mereka merujuk pada kitab-kitab dan karangan ulama terdahulu, serta mengabaikan ajaran atau penafsiran baru karena dianggap tidak sependapat. Menurut Abdullah Saeed, menjawab tantangan zaman dengan merujuk pada karangan ulama terdahulu adalah tidak relevan. Karena hasil pemikiran atau hasil penafsiran ulama terdahulu berdasarkan keadaan sosial, historis, dan kultur pada waktu/zaman itu dan memiliki perbedaan yang jauh dengan masa kini. (Gafur, 2019).
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
Ilustrasi Hasil Pemikiran. Gambar: geralt/pixabay
Dalam proses menafsirkan Al-Qur'an, Abdullah Saeed sangat menghargai, mengkritisi, dan menelaah secara mendalam produk tafsiran ulama terdahulu untuk mendapatkan dan membuat penafsiran baru. Perlunya proses memfilter, menelaah, meragukan, kemudian mempertanyakan, dan menambahkan tradisi masa kini untuk menghasilkan tafsir baru. (Gafur, 2019). Oleh karena itu kegiatan penafsiran Al-Qur’an dari zaman ke zaman perlu dilakukan agar tafsir yang hadir di permukaan masyarakat sesuai dengan kondisi zaman.
ADVERTISEMENT
Adapun pokok pikiran dari gagasan Abdullah Saeed adalah wahyu, beliau sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Tuhan, bukan kata/kalimat nabi Muhammad Saw. Namun beliau mengkritik orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an murni kalam Tuhan, dengan kata lain mengabaikan peran nabi dan masyarakat yang ada pada masa itu. Menurut Abdullah Saeed, Al-Qur’an tidak diturunkan dalam ruang yang hampa. Wahyu, peran nabi, masyarakat, dan misi dakwahnya mempunyai korelasi sangat kuat satu sama lain dengan konteks sosial-budaya yang terjadi pada waktu diturunkannya.
Pokok pikiran selanjutnya adalah fleksibilitas makna, fakta bahwa al-quran sangat fleksibel dengan situasi dan berdialektika dengan masyarakat dapat dilihat dari kisah-kisah maupun peristiwa yang terjadi pada masa rasul dan para sahabatnya. Fakta berikutnya, sebagai upaya nabi Saw untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya, Al-Qur'an harus fleksibel dan memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini. Fakta lain adalah bahwa Al-Qur'an pernah mengalami fenomena nasikh, dimana ayat tertentu nasikh atau menghilangkan kekuatan hukum yang ada di ayat lain karena hukum tersebut tidak lagi relevan dan tidak sesuai dengan keadaan umat manusia saat ini.
ADVERTISEMENT
Pokok pikiran yang terakhir adalah refleksi atas kondisi internal Al-Qur’an. Abdullah Saeed mengatakan bahwa ada tiga kategori ayat Al-Qur’an yang sulit dipahami dan ditangkap maksudnya, dan bahkan sulit bagi seseorang untuk memberikan makna teks yang lengkap. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pikiran manusia tidak dapat melewati dimensi tersebut, sehingga hasil penafsirannya hanyalah prediksi. Tiga kategori ayat yang dimaksud yaitu ayat-ayat teologi seperti tentang ketuhanan, alam gaib, kemudian ayat-ayat tentang kisah seperti cerita nabi-nabi yang sulit untuk diteliti kebenaran kejadiannya oleh ahli tafsir, dan terakhir adalah ayat-ayat perumpamaan. (Gafur, 2019).
Kesimpulan
Sudah sepatutnya kita sebagai seorang yang beragama harus menggunakan akal pikiran kita untuk memaknai eksistensi Tuhan dari hal paling dasar, yakni mengamati alam semesta ini, penggunaan akal pikiran sangat didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam hal keberagamaan juga diperintahkan oleh Allah Swt untuk senantiasa menggunakan akal, tidak hanya dengan teks perintah dan larangan yang telah termaktub dalam kitab suci. Seperti halnya Bapak Abdullah Saeed yang memberikan penawaran sebuah pendekatan dengan corak baru dalam upaya memahami Al-Qur’an, yakni dengan pendekatan kontekstual. Melalui pendekatan ini diharapkan agama dapat menjawab tantangan zaman masa kini.
ADVERTISEMENT