Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
3 Sisi Lain Kehidupan Diplomat: Not All That Glitters is Gold
5 April 2019 15:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ade Rina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bolak balik ke luar negeri, ditempatkan (posting) dari satu negara yang satu ke negara lain, fasih berbahasa Inggris, dan terlihat necis dengan setelan jas desainer Italia dan dasi silk di forum multilateral bergengsi seperti PBB. Itu mungkin kesan yang muncul ketika mendengar profesi diplomat. Hal itu memang benar.
ADVERTISEMENT
Namun, jangan salah, di balik salah satu profesi tertua di dunia tersebut, ada sisi lain kehidupan diplomat yang mungkin belum diketahui orang kebanyakan.
Berikut sisi lain tersebut.
Rata-rata setiap 3 tahun, seorang diplomat akan di-postingkan di perwakilan Indonesia di luar negeri. Tempatnya beragam, mulai dari kota-kota fashion week seperti New York (AS), Paris (Perancis) dan London (Inggris), hingga kota yang terdengar asing di telinga, seperti Dar Es Salaam (Tanzania), Harare (Zimbabwe), Windhoek (Namibia).
Sebagai diplomat, kita tidak dapat memilih akan ditempatkan di mana, tetapi harus bersiap di mana pun negara memilihkan.
“Yah, mau bagaimana lagi?” pasrah seorang rekan yang baru saja mengetahui bahwa ia akan ditempatkan di Harare (Zimbabwe).
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi, penerbangan dari Jakarta ke Harare membutuhkan waktu paling cepat 21 jam (termasuk transit) untuk menempuh jarak yang hanya 8293 km saja dari Jakarta. Bandingkan dengan London yang dapat ditempuh selama 14 jam saja, padahal jaraknya dari Jakarta mencapai 11.711 km.
Jangan juga membayangkan hidup di Harare semudah hidup di Jakarta. Selama 10 tahun terakhir, inflasi di Harare paling tinggi di dunia dengan rekor pernah mencapai 2.2juta persen. Barang-barang kebutuhan pokok luar biasa mahal dan langka. Siap-siap antri berjam-jam untuk mendapatkan sekedar roti dan minyak goreng di kota yang pernah dinobatkan sebagai the worst city to live versi Majalah Economist tahun 2017.
Jangan kaget ketika melihat isi koper diplomat Indonesia di Harare jika terbang dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Pakaian paling hanya 10 persen saja. Selebihnya kebutuhan pokok seperti beras, indomie, minyak goreng, bumbu-bumbu, dan obat-obatan,” lanjut rekan tersebut ketika ditanyakan isi kopernya.
Jadi, jangan berpikir kalau posting ke luar negeri hanya negara-negara maju saja. Negara-negara yang tergolong hardship post juga menjadi tujuan di mana diplomat Indonesia akan ditempatkan.
Untungnya, Kementerian Luar Negeri mempunyai insentif untuk diplomatnya di hardship post. Tiket PP ke Indonesia tiap 3 bulan diberikan secara cuma-cuma, counseling psikolog secara berkala, serta waktu posting yang seyogyanya 3 tahun dipersingkat menjadi hanya 2 tahun, dan 1 tahun setelahnya di tempat yang lebih "beradab" adalah contoh insentifnya.
ADVERTISEMENT
“A real man goes to Afghanistan,” ujar seorang rekan yang sedang posting di Kabul, ibu kota Afghanistan. Tak heran ia berucap seperti itu, mengetahui bahwa suara letusan bom dan konflik bersenjata sudah menjadi “makanan” sehari-hari.
Saking seringnya letusan bom dan suara tembakan di Afghanistan, rekan itu pernah berkelakar, “dari suaranya saya dapat menebak mana suara bom, mana suara ranjau, dan mana suara (senapan) AK64.”
Bahkan Presiden Jokowi menceritakan bahwa delapan hari sebelum bertandang ke Kabul, Februari 2018 silam, bom meletus menewaskan 20 orang. Dua hari sebelum tiba, bom merenggut 103 nyawa. Bahkan dua jam sebelum mendarat, markas akademi militer Kabul diserang dan menyebabkan lima tentara meninggal serta puluhan luka-luka.
ADVERTISEMENT
Nyawa menjadi taruhan diplomat yang ditempatkan di negara yang hancur lebur akibat perang. Telah berlangsung 18 tahun lebih, perang di Afghanistan belum terlihat tanda-tanda akan berakhir. Terdengar sangat mengerikan memang, tapi begitu lah salah satu risiko profesi diplomat.
Lain cerita jika konflik di negara akreditasi kian memburuk. Diplomat harus menjadi the first man fighting, mengkoordinir evakuasi dan repatriasi, serta memastikan semua WNI selamat.
Ambil contoh evakuasi dan repatriasi 2000-an WNI di Yaman tahun 2015 lalu, yang menjadi salah satu capaian penting Kementerian Luar Negeri. Jika misi sudah selesai dilaksanakan, the last man standing alias yang pulang paling belakangan adalah diplomat. Hal ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga jika masih ada WNI yang akan direpatriasi dan melaporkan ke pusat.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu hal terberat yang dapat terjadi ketika posting. Unfortunately, saya mengalami sendiri. Tidak sedikit juga rekan kerja yang mengalaminya.
Meski terbilang beruntung karena ditempatkan di jantung kota Eropa, Brussel, di mana situasinya serba kondusif dan serba mudah, tetapi dalam kurun waktu posting 3 tahun itu, saya kehilangan orang yang saya paling cintai di dunia, Mama. Padahal itu adalah hal terakhir yang saya bayangkan dapat terjadi ketika posting.
Semuanya terjadi dengan sangat mendadak. Di saat saya sedang bersiap berangkat ke kantor, adik saya di Jakarta mengabarkan bahwa Mama harus dilarikan ke Rumah Sakit karena terjatuh di lantai. Tidak ada yang dapat saya lakukan kecuali langsung video call Mama menanyakan kabarnya. Saat itu Mama masih dapat menjawab dan mengatakan agar saya tidak usah khawatir. “Mama ga papa, kok,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tuhan tahu, betapa saya ingin langsung bertolak ke bandara dan berangkat ke Jakarta hanya untuk berada di samping Mama, menjaganya saat mendengar orang yang paling saya sayangi sakit. Namun, hal itu urung saya lakukan karena pekerjaan, kuliah suami yang tidak dapat ditinggal, dan anak yang masih bayi.
Takdir berkata lain. Suatu sore di hari Sabtu, Mama pergi untuk selamanya. Saya hanya dapat menangis dan menyesali bahwa saya tidak ada di samping Mama, saat ia menghembuskan napas terakhirnya.
Di satu sisi, profesi diplomat memang memberikan jutaan pengalaman hidup yang tak ternilai. Menjalankan kehidupan expatriate yang menyenangkan, menjadi bagian diplomatic corps yang glamour, bisa travelling ke tempat-tempat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, serta bertemu dengan semua kalangan dari mulai pejabat hingga selebriti, adalah sekian banyak hal positif profesi diplomat.
Meski demikian, not all that glitters is gold. Di sisi lain, banyak hal yang tidak terduga dapat terjadi dalam menjalani profesi itu. Itu bagian dari risiko pekerjaan. So, jalanin aja...
ADVERTISEMENT