Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
RED2 Uni Eropa, Kampanye Hitam Sawit, dan Sikap Indonesia
25 Maret 2019 4:17 WIB
Tulisan dari Ade Rina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Opini
ADVERTISEMENT
Pada bulan Desember 2018, Komisi Eropa telah mengesahkan Renewable Energy Directives II (RED2) yang menargetkan penggunaan energi terbarukan Uni Eropa pada 2030 mencapai 32 persen. RED2 menetapkan bahwa tanaman yang digunakan untuk produksi biofuel tidak berasal dari area yang mengalami deforestasi atau ditanam di lahan gambut.
ADVERTISEMENT
Mulai Januari 2024, penggunaan biofuel akan dikurangi secara bertahap bahkan dihapuskan pada 2030. Peraturan yang sama juga mendorong penggunaan second generation bio fuel yang berasal dari biomass waste.
Dalam turunan peraturan Delegated Act (DA) disebutkan bahwa biofuel berbasis sawit, masuk ke dalam kriteria high risk Indirect Land Use Change (ILUC) yang dianggap merusak lingkungan dan menyebabkan deforestasi. Kriteria DA akan ditinjau kembali pada tahun 2021 sebelum direvisi pada tahun 2023.
Kebijakan ini tentunya akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa. Berdasarkan Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa pada 2018 telah mencapai 4,7 juta ton atau sebesar 14,24 persen total ekspor palm oil Indonesia. Dari jumlah ini, 60 persen digunakan untuk biofuel.
ADVERTISEMENT
Penerbitan peraturan ini diperparah dengan adanya kampanye #nopalminmytank yang disuarakan oleh politisi Eropa, terutama anggota Parlemen Eropa, yang menyuarakan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar nabati sawit mulai sekarang, tanpa perlu menunggu target RED2 pada 2030. Hal ini berkaitan dengan pandangan bahwa kelapa sawit menyebabkan deforestasi, merusak alam, dan biodiversiti, termasuk orang utan , serta menyebabkan kebakaran hutan, seperti yang selama ini disuarakan NGO berbasis lingkungan. seperti Greenpeace International.
Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dalam menyikapi perkembangan ini. Saat ini, sawit menjadi salah satu prioritas diplomasi ekonomi Indonesia.
Dalam pertemuan dengan ketiga pemimpin Eropa pada April 2016, Presiden Joko Widodo telah menyuarakan penghapusan trade barriers produk sawit Indonesia. Dalam pertemuan ASEAN-European Union Commemorative Summit, 14 November 2017, Presiden Jokowi kembali meminta agar diskriminasi terhadap minyak sawit dihapuskan. Masih dalam upaya diplomasi sawit, Indonesia juga membangun aliansi dengan produsen minyak sawit dunia dan membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk mendukung upaya diplomatik melindungi minyak sawit dari trade war.
ADVERTISEMENT
Upaya Indonesia ini dinilai sangat wajar, mengingat minyak sawit merupakan ekspor komoditas terbesar Indonesia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa minyak sawit menyumbang 12 persen ekspor Indonesia dan merupakan mata pencaharian 17,5 juta orang Indonesia serta menjadi alat pencapaian Sustainable Development Goals ke-6, yaitu mengentaskan kemiskinan.
Kampanye Negatif Sawit Bukan Semata Trade War
Inisiatif Indonesia untuk diplomasi sawit dalam beberapa tahun terakhir telah lebih 'terlihat', terutama setelah Kementerian Luar Negeri ikut ambil bagian dalam diplomasi sawit. Meskipun demikian, penting untuk mencamkan bahwa diplomasi yang efektif hanya akan tercapai melalui analisis isu yang mendalam dan pengertian yang komprehensif mengenai isu tersebut.
Simplifikasi kampanye negatif sawit dalam diplomasi sawit Indonesia dengan menyebutnya sebagai trade war saja justru akan semakin memperburuk situasi dan dapat menimbulkan reaksi yang kontra produktif seperti melakukan retaliasi dengan memboikot produk asal negara yang disinyalir melemparkan isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Meskipun eksistensi trade war tidak dapat dihindari karena mengingat, misalnya pada tahun 1980-an, the US Soybean Association melakukan kampanye masif minyak sawit sebagai bahan yang berbahaya bagi kesehatan. Contoh lain, pada tahun 2000-an, produk-produk negara anggota Uni Eropa banyak yang menggunakan label no palm oil karena isu lingkungan. Namun, label trade war akan me-nulify masalah yang lebih besar lagi, yaitu isu lingkungan dan isu pelanggaran HAM.
Isu sawit sesungguhnya lebih rumit daripada hanya di-frame sebagai trade war. Kritik terhadap sawit malah lebih beragam, mulai dari tuduhan deforestasi, merusak biodiversity, mengurangi populasi orang hutan, mengambil tanah hak adat, hingga tuduhan pelanggaran HAM bagi pekerja industri sawit.
Hal ini didukung oleh data riset yang sangat solid. Misalnya, semenjak tahun 2007, Greenpeace telah mempublikasikan reports mengenai dampak lingkungan ekspansi lahan kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Amnesty International menerbitkan reports berjudul “The Great Palm Oil Scandal: Abuses Behind Big Brand Names” (2017) yang mengindikasikan praktik pelanggaran HAM di perkebunan sawit di Indonesia. Kedua NGO yang berpengaruh ini mengakibatkan kriteria sustainable palm oil secara lingkungan saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan jaminan HAM bagi pekerja sawit.
Dengan demikian, diplomasi sawit harus dapat lebih menyeluruh, terkoordinasi, dan terkonsolidasi. Pertama, pemerintah perlu mengidentifikasi masalah terkait palm oil dengan lebih akurat. Kampanye negatif terhadap sawit yang dicetuskan oleh produsen kompetitor minyak nabati lain harus dipisahkan dari tuduhan perusakan lingkungan yang diakibatkan praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak sustainable. Dengan mengidentifkasi hal tersebut, maka upaya yang diakukan pemerintah untuk merespon kampanye negatif tersebut dapat lebih tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah harus meningkatkan engagement dengan NGO berbasis lingkungan hidup dan HAM serta giat menyampaikan keberhasilan upaya pemerintah dalam meng-address concern terhadap tuduhan mereka. Misalnya, Indonesia telah berhasil menekan angka deforestasi hingga 40 persen dan sejak tahun 2015 tidak ada lagi kebakaran hutan yang besar. Narasi seperti inilah yang harus diutamakan, selain tentunya dapat membuka diri terhadap kritikan untuk dapat berbuat lebih banyak lagi dalam upaya konservasi lingkungan dan penegakan HAM.
Ketiga, upaya menangkal kampanye negatif sawit tidak akan berhasil jika situasi dalam negeri tidak mendukung. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan semestinya.
Upaya menangkal kampanye negatif sawit juga harus mempunyai time frame yang jelas. Jika DA dapat ditinjau kembali pada tahun 2021 dan dapat direvisi pada tahun 2023, maka pemerintah Indonesia harus mampu megarahkan upayanya ke dalam time frame tersebut. Menjamin bahwa praktik industri sawit di Indonesia sustainable dengan bertambahnya lahan perkebunan yang bersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan.
ADVERTISEMENT
Mari jadikan RED2 bukan sebagai musuh yang harus dihunus dengan pedang, melainkan dengan menjadikannya momentum untuk memperbaiki praktik industri sawit Indonesia dengan mengindahkan konservasi lingkungan dan penegakan HAM.