Konten dari Pengguna

Pengaruh Konflik China-Taiwan Terhadap Stabilitas di Asia Pasifik

Hafiza Adeylie Chantika Arthadeswa
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya
31 Oktober 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hafiza Adeylie Chantika Arthadeswa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wilayah China dan Taiwan (sumber: Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Wilayah China dan Taiwan (sumber: Freepik)
ADVERTISEMENT
Ketegangan antara China dan Taiwan tidak bisa lagi dianggap sekadar isu bilateral. Konflik yang berakar pada klaim kedaulatan ini kini telah bertransformasi menjadi ancaman yang serius terhadap stabilitas kawasan Asia Pasifik dan memiliki potensi memicu krisis ekonomi global yang lebih dalam. Ketegangan semakin meningkat, terutama setelah latihan militer besar-besaran yang dilakukan China di sekitar Taiwan pada Mei 2024, yang dianggap sebagai langkah provokatif oleh banyak negara di kawasan. Penulis berpandangan bahwa konflik ini berdampak signifikan terhadap stabilitas Asia Pasifik dan dapat memicu perlombaan senjata yang lebih luas di antara negara-negara tetangga. Untuk itu, penulis akan memusatkan fokus pada tiga argumen utama: pertama, peningkatan belanja militer di Asia sebagai respons terhadap ancaman China; kedua, dilema ekonomi negara-negara Asia Pasifik antara mendukung Taiwan atau mempertahankan hubungan dagang dengan China; dan ketiga, potensi dampak ekonomi global akibat ketergantungan dunia terhadap produk semikonduktor Taiwan.
ADVERTISEMENT
Yang pertama, dalam perspektif teori realisme, negara-negara berusaha menjaga keseimbangan kekuatan untuk menghindari dominasi oleh satu negara. Konflik China-Taiwan telah mendorong negara-negara di Asia Pasifik, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, untuk memperkuat kekuatan militer mereka dalam rangka menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Taiwan, turut memainkan peran penting dalam mendukung Taiwan melalui penjualan senjata canggih. Namun, langkah ini dianggap oleh China sebagai upaya penghalang untuk mencegah dominasi China atas Taiwan. Hal ini sejalan dengan prinsip realisme yang menekankan pada pentingnya kekuatan militer dalam menjaga keamanan negara.
Data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa Asia kini menjadi salah satu kawasan dengan peningkatan belanja militer tertinggi di dunia, dipimpin oleh China yang mengalokasikan sekitar $296 miliar pada 2023, yang merupakan peningkatan selama 29 tahun berturut-turut. Negara-negara tetangga seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan ikut menambah anggaran militer mereka untuk mempertahankan keamanan nasional, dengan dasar kekhawatiran akan potensi ancaman dari konflik China-Taiwan yang semakin memanas. Dalam pandangan realis, upaya ini merupakan respons untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan, di mana setiap negara berupaya mengantisipasi ancaman eksternal yang dapat membahayakan kedaulatan dan stabilitas regional mereka.
ADVERTISEMENT
Kedua, teori realisme berpendapat bahwa kepentingan nasional sering kali memaksa negara untuk mempertimbangkan untung rugi dari tindakan mereka. Negara-negara di Asia Pasifik menghadapi dilema antara mendukung Taiwan yang memperjuangkan kedaulatannya atau menjaga hubungan ekonomi dengan China yang merupakan mitra dagang utama. Jepang, misalnya, walaupun merupakan sekutu AS, tetap berhati-hati dalam merespons konflik ini karena ketergantungannya pada perdagangan dengan China. Dilema ini menciptakan situasi rumit, di mana negara-negara harus menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keamanan nasional. Di sisi lain, beberapa negara yang memiliki hubungan dekat dengan AS, seperti Korea Selatan dan Filipina, lebih rentan terhadap dampak langsung konflik ini mengingat ketergantungan mereka pada pasar China. Realisme menunjukkan bahwa dalam situasi konflik, negara-negara akan bertindak sesuai dengan kepentingan nasional mereka untuk mempertahankan keamanan dan kesejahteraan ekonomi..
ADVERTISEMENT
Ketiga, Potensi dampak global dari konflik ini semakin jelas ketika mempertimbangkan ketergantungan dunia pada produk semikonduktor Taiwan. Sebagai pemasok utama komponen elektronik, Taiwan memiliki peran penting dalam rantai pasokan global. Jika konflik meningkat, gangguan pada produksi semikonduktor di Taiwan dapat mengguncang industri teknologi global. Selain itu, langkah balasan ekonomi yang mungkin diambil China terhadap negara-negara yang mendukung Taiwan akan memperburuk situasi. Berdasarkan analisis dari Rhodium Group, skala ekonomi yang berpotensi terganggu akibat konflik ini sangat besar dan akan berdampak global. Perdagangan internasional dapat tersendat, dan rantai pasokan komponen elektronik terputus, yang berpotensi memicu krisis ekonomi global.
Ketiga argumen ini memperlihatkan bahwa konflik China-Taiwan jauh melampaui ketegangan regional. Tidak hanya mendorong perlombaan senjata di Asia Pasifik, konflik ini juga menempatkan negara-negara di kawasan pada dilema ekonomi dan menambah risiko bagi stabilitas rantai pasokan global. Oleh karena itu, stabilitas di Asia Pasifik tidak hanya bergantung pada penanganan konflik ini oleh China dan Taiwan, tetapi juga pada bagaimana negara-negara tetangga merespons ancaman ini secara seimbang demi menjaga perdamaian dan keamanan ekonomi global.
ADVERTISEMENT