Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Konflik Laut Cina Selatan: Dinamika Geopolitik dan Dampak Kawasan
5 Desember 2024 19:36 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari adeltasakina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Adelta Sakina, Universitas Sriwijaya.
Konflik Laut Cina Selatan merupakan sengketa teritorial yang kompleks dan panjang bahkan sampai saat ini. Wilayah ini menjadi perebutan karena memiliki nilai strategis tinggi, baik dari segi ekonomi maupun militer. Laut Cina Selatan kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan, serta sumber daya perikanan yang melimpah. Sekitar sepertiga dari total perdagangan maritim dunia melewati Laut Cina Selatan, menjadikannya jalur pelayaran yang sangat vital. Kontrol atas wilayah ini memberikan keuntungan strategis bagi negara yang menguasainya. Tiongkok, misalnya, mengajukan klaim berdasarkan “Sembilan garis putus-putus” yang mencakup hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan, ini telah menjadi pusat konflik, dan tindakan mereka di wilayah tersebut menimbulkan kekhawatiran di antara Negara-negara lain dan organisasi internasional. Esai ini bertujuan untuk menkaji impilaksi geopolitik dari konflik Laut Cina Selatan dan dampak bagi kawasan yang terlibat, melalui kacamata realisme dalam hubungan internasional. Realisme adalah perspektif teoretis yang menekankan kekuasaan, kepentingan pribadi, dan upaya mencapai keamanan nasional sebagai pendorong utama perilaku negara. Esai ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang dinamika geopolitik serta dampak dari konflik ini.
ADVERTISEMENT
Dinamika Geopolitik
Situasi geopolitik di Laut Cina Selatan (LCS) bersifat kompleks dan dapat berubah dengan cepat. Wilayah ini memiliki peran strategis sebagai salah satu jalur pelayaran internasional yang sangat penting, sekaligus kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas. Karena itu, banyak negara di sekitar kawasan ini berupaya mengklaim kedaulatan atas sebagian wilayah LCS. Tiongkok menjadi salah satu aktor utama yang memicu ketegangan di kawasan ini, terutama terkait persaingan klaim atas wilayah teritorial dan hak maritim.
Selain itu, pembangunan infrastruktur oleh Tiongkok di kawasan tersebut dalam beberapa tahun terakhir juga memperburuk situasi. Konflik terkait kedaulatan wilayah semakin memanas akibat perebutan kepemilikan atas pulau-pulau, batu karang, dan terumbu karang di LCS. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara tetangga dan masyarakat internasional. Banyak yang menganggap langkah-langkah Tiongkok sebagai upaya untuk memperkuat klaim teritorial sekaligus memperluas pengaruh dan kekuatan di kawasan strategis ini.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Amerika Serikat (AS) di Laut Cina Selatan (LCS) didasarkan pada sejarah panjang yang berkaitan dengan komitmen negara tersebut terhadap kebebasan navigasi dan stabilitas di kawasan. Sebagai salah satu kekuatan maritim global, AS menganggap LCS sebagai jalur perdagangan strategis yang memiliki peran penting bagi ekonomi global dan kepentingan nasionalnya. Sekitar sepertiga dari perdagangan maritim dunia, termasuk minyak dan barang manufaktur, melintasi wilayah ini. Oleh karena itu, menjaga akses yang bebas dan terbuka di LCS menjadi prioritas bagi AS.
Untuk mencegah dominasi tunggal oleh Tiongkok, AS terus meningkatkan kehadirannya di kawasan tersebut. Salah satu strategi utama yang dilakukan adalah melalui operasi kebebasan navigasi, di mana kapal-kapal Angkatan Laut AS secara berkala berlayar di wilayah yang diklaim oleh Tiongkok. Langkah ini bertujuan untuk menentang klaim maritim yang dinilai berlebihan dan tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Selain itu, AS memperkuat hubungan pertahanan dan kerja sama dengan negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Jepang. Bentuk kerja sama ini mencakup latihan militer bersama, perjanjian pertahanan, serta penjualan peralatan militer. Upaya ini dilakukan untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu-sekutunya sekaligus menyeimbangkan kekuatan di kawasan.
ADVERTISEMENT
Melihat dari pandangan geopolitik, AS menganggap kehadirannya di LCS sebagai bagian dari upaya untuk menjaga tatanan internasional berbasis aturan, di mana jalur pelayaran tidak boleh dimonopoli oleh satu negara. Namun, tindakan ini sering kali dipandang oleh Tiongkok sebagai bentuk provokasi dan campur tangan dalam urusan kawasan, yang pada akhirnya meningkatkan ketegangan serta risiko konflik militer. Keterlibatan negara-negara besar seperti AS dalam isu LCS semakin menunjukkan besarnya kepentingan geopolitik di kawasan ini. Persaingan untuk memperluas pengaruh dan kendali menjadikan LCS sebagai pusat manuver geopolitik dengan potensi dampak signifikan terhadap tatanan global.
Negara-negara ASEAN telah berupaya mencari solusi atas sengketa di Laut Cina Selatan melalui dialog dan negosiasi multilateral. Salah satu inisiatif utama yang diusulkan adalah pembentukan Kode Etik (Code of Conduct) yang bertujuan untuk mengatur perilaku negara-negara di kawasan tersebut. Namun, upaya ini sering terkendala oleh perbedaan kepentingan di antara anggota ASEAN. Beberapa negara anggota memiliki klaim langsung atas wilayah yang dipersengketakan, sementara yang lain lebih fokus menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Perbedaan ini membuat ASEAN sulit mencapai kesepakatan yang bersifat mengikat dan benar-benar efektif. Meskipun demikian, pembicaraan terus dilanjutkan dengan tujuan menjaga stabilitas kawasan dan mencegah terjadinya eskalasi konflik.
ADVERTISEMENT
Dampak Terhadap Hubungan Internasional
Negara-negara yang mengajukan klaim maupun yang tidak memiliki klaim di Laut Cina Selatan memandang kawasan tersebut sebagai wilayah yang diperebutkan. Situasi ini memicu sejumlah perseteruan dan ketegangan dalam hubungan diplomatik serta pelaksanaannya di lapangan. Akibatnya, negara-negara yang terkait sengketa ini berlomba-lomba meningkatkan kemampuan militer dan pertahanan mereka. Sebagai contoh, pada tahun 2014, Vietnam dan Amerika Serikat mengadakan latihan militer bersama di kawasan Laut Cina Selatan. Latihan ini menjadi salah satu cara bagi kedua negara untuk menunjukkan kekuatan militer mereka sebagai respons terhadap Tiongkok dan untuk menegaskan posisi mereka dalam menghadapi sengketa di wilayah tersebut.
Dalam perspektif realis, konflik Laut Cina Selatan mencerminkan rivalitas yang semakin intens antara dua kekuatan besar, yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan strategis bertolak belakang. Bagi Amerika Serikat, Laut Cina Selatan adalah kawasan vital dalam menjaga tatanan internasional berbasis aturan, terutama dalam hal kebebasan navigasi yang menjadi dasar perdagangan global. Sebagai kekuatan dominan global, AS memandang kawasan ini sebagai jalur strategis yang tidak boleh dikuasai sepenuhnya oleh Tiongkok, karena hal itu dapat mengganggu keseimbangan kekuatan dan melemahkan pengaruh Amerika di Asia-Pasifik. Untuk itu, AS kerap melakukan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations/FONOPs) sebagai respons langsung terhadap klaim Tiongkok yang dianggap melanggar hukum internasional. Kehadiran kapal perang dan pesawat militer AS di kawasan ini bertujuan menyeimbangkan kekuatan (balance of power) sekaligus meyakinkan sekutu-sekutunya, seperti Filipina dan Jepang, bahwa AS tetap berkomitmen menjaga stabilitas regional.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Tiongkok melihat langkah-langkah AS sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan dan klaim teritorialnya, yang didasarkan pada peta "sembilan garis putus-putus." Tiongkok menilai bahwa kehadiran militer AS di Laut Cina Selatan bukan hanya campur tangan dalam urusan regional, tetapi juga upaya untuk membendung kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar dunia. Tiongkok merespons dengan memperkuat militerisasi di wilayah yang disengketakan, termasuk membangun pangkalan militer di pulau-pulau buatan, guna mempertegas klaimnya. Rivalitas ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral antara AS dan Tiongkok, tetapi juga menciptakan ketegangan di antara negara-negara ASEAN, yang terjebak dalam dilema antara mendukung AS untuk mempertahankan stabilitas atau bekerja sama dengan Tiongkok demi manfaat ekonomi. Akibatnya, konflik ini memperburuk dinamika geopolitik kawasan dan meningkatkan risiko konfrontasi langsung antara kekuatan besar yang dapat berdampak luas secara global.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Kesimpulannya, konflik di Laut Cina Selatan mencerminkan persaingan geopolitik yang kompleks, dengan rivalitas utama antara Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai penggerak utama dinamika di kawasan. Dalam kacamata realis, konflik ini merupakan konsekuensi dari upaya negara-negara untuk memaksimalkan kepentingan strategis, menjaga kedaulatan, dan memperluas pengaruh mereka dalam sistem internasional yang anarkis. Amerika Serikat berusaha menyeimbangkan kekuatan untuk mencegah dominasi Tiongkok, sementara Tiongkok memandang kawasan ini sebagai bagian integral dari kepentingan nasionalnya. Situasi ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral kedua kekuatan besar tetapi juga menimbulkan ketegangan di antara negara-negara ASEAN yang terjebak dalam dilema geopolitik. Tanpa solusi diplomatik yang efektif, konflik ini berisiko berlanjut dan mengancam stabilitas regional serta tatanan global berbasis aturan.
ADVERTISEMENT