Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kirab Budaya Yogyakarta : Wujud Pelestarian Warisan Budaya Nusantara
17 November 2024 15:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Adena Sashi Adiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta - Perayaan Tahun Baru Islam biasanya beriringan dengan malam satu suro, Tradisi malam satu suro menjadi sebuah adat sakral masih dipercaya masyarakat Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta. Tanggal satu Suro merupakan pertanda tahun baru di penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan satu Muharram di kalender Hijriyah (tahun baru Islam)
ADVERTISEMENT
Sebagai bulan yang istimewa, masyarakat Jawa selalu menyelenggaran berbagai tradisi unik untuk menyambut tahun baru Saka. Agar kamu bisa memaknai datangnya bulan Suro, simak pembahasan lengkapnya !
Suran merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat Jawa untuk menyambut tahun baru sesuai dengan sistem penanggalan Jawa. Tradisi ini semula merupakan tradisi besar yang dikembangkan di Istana Kerajaan Mataram Islam, kemudian menyebar dikalangan masyarakat biasa dalam berbagai bentuk kegiatan atau perilaku sosial.
Sejarah Tradisi Suro
Awal mula tradisi satu ini terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Bulan Suro dalam penanggalan Jawa dapat diartikan dengan bulan suci serta menyimpan energi spiritual yang tinggi. Di bulan Suro, seluruh masyarakat Jawa yang masih mempercayai tradisi Kejawen diharapkan untuk melakukan intropeksi diri serta memanjatkan doa untuk satu tahun berikutnya. Karena suro dianggap sebagai bulan yang sakral untuk masyarakat Jawa, munculnya sebuah larangan tak tertulis mengenai "dilarangnya menyelenggarakan hajat saat Suro."
ADVERTISEMENT
Dilansir dari sumber sejarah yang ada, Sultan Agung Hanyarakusuma selaku raja ketiga (1613-1645) dari Kerajaan Mataram Islam merupakan sosok yang menciptakan penanggalan Jawa yang terdapat unsur kalender Islam di dalamnya. Proses penyatuan kalender Jawa dan Islam terjadi di Jumat Legi, Jumadil Akhir 1555 Saka atau 8 Juli 1633 yang sering disebut kalender Sultan Agungan.
Akhirnya, pada bulan Suro inilah beliau ingin rakyatnya untuk mengolah tata batin mereka dari hal duniawi. Sikap inilah kemudian membuat banyak orang yang tidak menggelar perayaan atau pesta apapun pada bulan Suro, karena fokus pada intropeksi diri. Tradisi Suro terus dilestarikan oleh masyarakat Jawa terutama di Jogja serta Solo walaupun sudah beberapa abad berlalu. Rangkaian tradisi bulan Suro juga tak hanya jadi sebuah ritual kebudayaan, namun menjadi magnet pariwisata di dua kota. Dalam kegiatan suran, banyak kebudayaan yang diukur di Yogyakarta salah satunya suran Mbah Demang, Sleman.
ADVERTISEMENT
Upacara Adat Suran Mbah Demang, Sleman
Cokrodikromo, adalah anak seorang Bekel ketika kecil diberi nama Asrah. Tidak selaknya anak pemuka masyarakat, ia berperilaku nakal dan dititipkan kepada Demang Dawangan yang memiliki sifat tegas.
Ketika beranjak dewasa, Ki Demang Dawangan menyurug Asrah bertapa sebulan lamanya. Laku prihatin membawa Asrah dengan figur bijak yang kemudian mengajarinya tentang kesejatian hidup dan memberinya sebuah kitab. Pada batas antara hidup dan mati. Asrah mencari kitab yang ia terima ketika bertapa dan akhirnya ditemukan di pinggir Kali Bedog.
Setelah bertapa dan memegang kitab, Asrah dikenal sakti hingga diangkat menjadi mandor di perkebunan tebu. Sunan Ki Demang juga selalu memberi hidangan kepada tamu yang datang berupa kendi ijo, nasi bungkus dengan lauk ketan tholo dan gudangan. Inilah yang menjadi cikal bakal tradisi Suran Mbah Demang.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Suran Mbah Demang Sleman
Pelaksanaan Suran Mbah Demang di Banyuraden, Yogyakarta adalah upacara adat yang rutin diadakan setiap bulan Suro dalam kalender Jawa. Acara ini bertujuan untuk mengenang jasa dan nilai-nilai luhur Ki Demang Cokrodikromo, seorang tokoh lokal yang dikenal karena dedikasinya pada masyarakat dan tradisi leluhur. Prosesi dimulai dengan kirab budaya yang diikuti oelh tujuh kelompok bregada (pasukan tradisional) dan delapan kelompok seni, serta ogoh-ogoh khas. Kirab dimulai dari rumah Tabon Ki Demang dan diakhiri dengan acara tahlilan dan nyekar(ziarah) di makam Mbah Demang. Puncak acara adalah memperbutkan gunungan, yang melambangkan keberkahan dan rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta.
Acara ini tidak hanya menjadi ajang melestarikan tradisi, tetapu juga mendidik masyarakat, khususnya generasi muda tentang pentingnya menjaga warisan budaya. Dengan kehadiran ribuan pengunjung. Suran Mbah Demang menjadi simbol kekayaan budaya Sleman yang mulai dikenal di tingkat nasional bahkan internasional.
ADVERTISEMENT
Kirab Suran di Era Modern
Kegiatan Suran Mbah Demang di era modern tetap mempertahankan nilai tradisional dengan hadirnya ogoh-ogoh, gunungan, bregada dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Pelaksanaan acara ini di Banyuraden, Sleman, Yogyakarta menjadi lebih inklusif dengan melibatkan masyarakat yang lebih luas, termasuk generasi muda dan ditampilkan sebagai bagian dari upaya mempromosikan pariwisata budaya lokal.
Acara ini berfungsi tidak hanya sebagai pelestarian budaya, tetapi juga sebagai cara mempererat hubungan antarwarga, mempromosikan pariwisata dan menanamkan nilai luhur Cokrodikromo dalam kehidupan sehari-hari.
Redaksi :