Konten dari Pengguna

Jangan Jadikan Momen Silaturahmi Menjadi Ajang Evaluasi

Ade Tuti Turistiati
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto. Alumni SSEAYP 89. Senang menulis tentang kisah perjalanan, budaya, pendidikan, dan masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Hobi main pingpong dan membaca.
18 April 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Tuti Turistiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca Idul Fitri, undangan acara halal bihalal pun berdatangan. Ajang silaturahmi ini dijadikan momen saling bermaafan secara tatap muka dengan harapan kita kembali suci jangan sampai meninggalkan luka di hati.
ADVERTISEMENT
Kunci utama silaturahmi pada momen halal bihalal agar tidak mengurangi amal baik kita adalah menahan diri untuk tidak sibuk mengevaluasi orang lain. Ya, silaturahmi pada berbagai kesempatan seperti halal bihalal, reuni atau sekadar sowan pada handai tolan, jangan justru menuai ketidaknyamanan.
Ilustrasi body shaming. Sumber: www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi body shaming. Sumber: www.freepik.com
Beberapa bentuk evaluasi dan komentar terhadap orang lain yang berpotensi membuat orang lain kurang bahkan tidak suka adalah body shaming, diantaranya:
1. Menyoal berat badan. Pada umumnya orang tidak suka disebut gemuk, gembrot, melar, besar, atau sematan sejenis untuk mengungkapkan kelebihan berat badan. Sebaliknya bisa juga orang tidak suka disebut defisit berat badan dengan disebut kurus, ceking, cungkring, dan sejenisnya.
2. Mengomentari muka. Misalnya, muka yang jerawatan, warna kulit yang tidak putih, tidak cerah, kusam atau tidak glowing.
ADVERTISEMENT
3. Mengomentari rambut yang mungkin bertambah memutih atau rontok (bisa jadi ada yang jadi botak karena faktor usia dan lainnya).
4. Mengevaluasi penampilan lebih tua dari usia sebenarnya.
Komentar-komentar seperti itu biasanya diperparah dengan adanya tawa dari orang-orang di sekitarnya atau sekadar anggukan tanda mengiyakan. Sederhana saja, jika kita tidak senang dan tidak mau dikomentari seperti itu, maka jangan pernah melakukannya pada orang lain.
Pertemuan antar keluarga atau reuni berbalut silaturahmi dengan teman sekolah/kuliah atau teman sekantor lama, jangan juga dijadikan ajang “studi banding”. Misalnya, dengan mengomentari “koq tidak kuliah?, belum lulus juga?, koq belum kerja?, koq belum nikah?, koq belum punya anak?” Kalimat pertanyaan itu biasanya dilanjutkan dengan “perbandingan” si anu sudah kuliah di universitas ternama, si Fulan sekarang bekerja di perusahaan swasta, anaknya si Fulanah sudah berusia sekian tahun, si X sudah nikah lho”.
ADVERTISEMENT
Topik-topik tentang sekolah, kuliah, pekerjaan dan sebagainya boleh saja dibahas. Namun, kita harus lihat situasi dan kondisi. Pandai-pandailah melihat sinyal non-verbal orang lain ketika kita berkomunikasi. Gesture, mimik wajah, gerakan tangan, tatapan mata, dan bentuk komunikasi non-verbal lainnya sering kali "berbicara" lebih banyak dibanding kata yang terucap. Sejatinya, jika kita peka terhadap sinyal yang diberikan oleh teman bicara, kita akan relatif mudah menangkap situasi ketidaknyamanan seseorang. Sebelum sinyal itu kita tangkap, lebih bijaksana jika kita bertanya pada diri sendiri. Apakah pertanyaan atau komentar yang kita sampaikan bermanfaat bagi orang lain atau hanya sekadar memenuhi keingintahuan kita. Jika jawabannya yang terakhir, sebaiknya tahan diri dan lihat situasi. Bisa jadi, diam menjadi pilihan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT