Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membandingkan Strategi Jenderal dan Strategi Nabi Menghadapi Wabah Penyakit
19 Maret 2020 11:35 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari adhi nur seto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah mewabahnya Virus Covid-19, seorang purnawirawan jenderal yang juga pensiunan panglima TNI dalam sebuah postingan di media sosial mengajak umat Islam untuk melaksanakan salat berjemaah di masjid. Ia berdalih, masjid adalah tempat paling aman untuk berlindung dari segala bencana. Ajakan ini tentu sebuah kebaikan jika disampaikan dalam situasi yang normal. Pasalnya, saat ini kita sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Wabah Covid-19 menghantui kita, ditularkan dari manusia ke manusia melalui cairan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin. Oleh karena itu masyarakat diminta untuk menghindari tempat di mana biasanya banyak orang berkumpul dan berkerumun, seperti masjid.
ADVERTISEMENT
Seperti kita ketahui, Covid-19 menyebar dengan tidak pandang bulu. Tak hanya orang kafir saja yang akan terjangkit, ulama pun bisa tertular. Tidak hanya kaum miskin yang hidup di gang senggol, bahkan seorang menteri pun terbukti suspect Covid-19. Oleh karena itu, ajakan kepada umat islam untuk tetap menjalankan salat berjemaah di masjid di tengah wabah virus Covid-19 tentu perlu dipertanyakan.
Perlu diingat, bahwa darah kita masih merah Jenderal! Tidak ada manusia berdarah biru yang mendapat privilege kebal dari Covid-19. Jenderal mungkin bisa mendapatkan privilege dalam mengakses pelayanan kesehatan, namun bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah. Apakah mereka akan mendapat privilege yang sama jika tertular virus Covid-19 akibat mengikuti seruan jenderal melaksanakan salat berjemaah di masjid?
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu ajakan tersebut tentu bukan ajakan yang bijak di kala masyarakat saat ini sedang bergandengan tangan melawan wabah Covid-19. Apalagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa agar umat Islam melaksanakan salat di rumah masing-masing untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19. Sebab, wabah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan berdoa saja. Harus ada usaha yang berlipat-lipat untuk melawannya.
Belajar dari Nabi
Saat Nabi Muhammad SAW berperang melawan kaum kafir, nabi tidak hanya menengadahkan tangan, berdoa kepada Allah SWT agar diberi kemenangan. Namun, nabi mempersiapkan strategi dan senjata perang sebaik-baiknya. Bahkan dalam salah satu perangnya, Nabi Muhammad harus menerima kekalahan akibat pasukan yang ia pimpin kurang disiplin menjalankan strategi perangnya. Walhasil, nabi harus rela kehilangan giginya karena terkena sabetan senjata musuh.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa perang yang dimenangkan, Nabi Muhammad juga benar-benar menerapkan strategi perang jitu untuk menaklukan lawan. Salah satunya adalah saat Perang Khandak, atau Perang Parit. Dalam perang tersebut, Nabi bersama kaum muslimin bersusah-payah membuat parit untuk menghadang pasukan musuh masuk ke wilayahnya. Dengan begitu, pasukan musuh pun kewalahan menembus parit yang dibuat oleh Nabi dan kaum muslimin. Di tengah kelelahan pasukan musuh, Nabi dan kaum muslimin menyerbu pasukan musuh hingga mundur berhamburan. Menanglah Nabi dan kaum muslimin melawan kaum kafir.
Setelah peperangan yang melelahkan, barulah Allah SWT memberi kemenangan kepada kaum muslimin. Begitu pula dalam melawan wabah penyakit. Nabi tidak serta-merta menyerahkan sepenuhnya urusan wabah tersebut kepada Allah SWT. Nabi melakukan berbagai macam ikhtiar untuk melawan wabah tersebut, yang juga disertai tawakal kepada Allah SWT. Karena ikhtiar manusia mengikuti hukum sebab akibat. Ada usaha, ada hasil. Setelah itu baru kita serahkan kepada Allah SWT karena manusia tidak bisa mengontrol semua faktor sebab-akibat.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi Ayub AS pernah ditimpa musibah berupa penyakit kulit yang tak kunjung sembuh. Lantas, apa yang dilakukan Nabi Ayub AS? Dengan kapasitas beliau sebagai nabi mestinya sangat mudah baginya untuk memohon pertolongan Allah agar diberi kesembuhan dari penyakit yang diderita, dengan segera. Bahkan, istrinya pernah kesal karena Nabi Ayub tak kunjung berdoa memohon kesembuhan pada Allah SWT. Nabi Ayub AS justru melakukan karantina dengan cara mengasingkan diri dari lingkungan sosial agar penyakit kulit yang menimpanya tidak menular ke orang lain. Setelah ikhtiar mengasingkan diri, baru kemudian beliau berdoa memohon pertolongan Allah SWT.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadisnya bersabda: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari). Bukankah mudah bagi Nabi Muhammad yang memiliki privilege di hadapan Allah SWT untuk memohon agar wabah tersebut bisa segera dicabut? Sehingga tak perlu susah-susah menjauhi daerah wabah atau mengkarantina diri bila berada di dalam daerah tersebut, apalagi hal tersebut jelas dapat menghambat usaha dakwah Islam.
ADVERTISEMENT
Maka, di tengah mewabahnya Covid-19, himbauan melaksanakan salat wajib di rumah adalah salah satu strategi karantina melawan wabah Covid-19. Selain itu, himbauan tersebut juga mengandung tujuan syariat Islam (Maqasid Syariah) yaitu menjaga nyawa/jiwa (Hifz Nafs). Sedangkan membiarkan wabah tersebut menyebar melalui medium masjid adalah sebuah kezaliman yang nyata. Apalagi kita bukan nabi Ibrahim yang mendapat privilege dari Allah SWT sehingga tidak terbakar oleh api Raja Namrud.
Bahkan, di beberapa negara mayoritas penduduknya muslim diberlakukan kebijakan yang lebih ekstrem. Sebut saja Arab Saudi yang mengosongkan Masjidil Haram dari jemaah di luar Makkah. Kebijakan itu tentunya bukanlah tidak berdasar atau mengada-ada seperti yang dispekulasikan oleh sebagian umat Islam. Kebijakan tersebut justru untuk mengontrol penyebaran Covid-19. Apalagi, kondisi Masjidil Haram yang ramai dipenuhi jemaah akan menjadi medium efektif bagi penyebaran Covid-19. Sehingga mengosongkan Masjidil Haram dan meniadakan umrah untuk sementara waktu merupakan udzur syar'i yang dibenarkan oleh Islam.
ADVERTISEMENT
Wabah Covid-19 sendiri telah ditetapkan oleh World Health Organitation (WHO) sebagai pandemi karena telah menyebar di 156 negara dan menimpa kurang lebih 198.193 penduduk, dengan 7.954 angka kematian. Wabah ini bukan hanya berkembang di negara China saja, yang disinyalir sebagai negara pertama penyebaran Covid-19. Bahkan hingga saat ini, wabah Covid-19 telah menyebar rata di seluruh penjuru Eropa dan benua Amerika yang letaknya jauh dari China.
Sayangnya, di Indonesia muncul stigma bahwa wabah Covid-19 hanya menyerang kelompok tertentu saja. Padahal wabah ini jelas tidak pilih kasih, tidak hanya orang dalam terminologi kafir menurut umat Islam saja yang terdampak, atau bahkan salah satu kelompok politik pendukung capres tertentu di pemilu 2019 saja. Wabah ini menyerang seluruh masyarakat, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, serta penduduk usia tua hingga muda. Oleh karena itu, pandangan bahwa wabah Covid-19 adalah azab bagi negara atau kelompok agama tertentu, bukan saja tidak tepat, tapi juga menyesatkan. Sebab, seperti dipaparkan di atas, bahkan Nabi Ayub pun pernah terkena wabah penyakit kulit. Selain itu kota Madinah yang ditempati oleh nabi Muhammad juga pernah terjadi wabah penyakit yang mengharuskan nabi melakukan lockdown.
ADVERTISEMENT
Umat Islam semestinya melakukan hal-hal produktif yang dapat mencegah penyebaran wabah Covid-19, dengan melipatgandakan ikhtiar dalam mencegah penyebaran wabah Covid-19 sembari tetap bertawakal kepada Allah SWT, sebagaimana seruan Nabi dalam menghadapi kasus serupa di kota Madinah dahulu. Selevel nabi saja berusaha dengan sepenuh tenaga mencegah wabah penyakit, masa kita hamba yang dhaif ini hanya berharap privilege dari Allah agar kebal dari Covid-19?