Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Media Massa Dalam Bayang-Bayang Kapitalisme: Perspektif Postmodernisme
23 Oktober 2024 18:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Adi Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media massa merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern, yang tidak hanya berfungsi untuk menyebarkan informasi, tetapi juga membentuk opini publik, budaya, dan bahkan politik. Dalam perkembangannya, media telah menjadi kekuatan raksasa yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan politik dan sering kali dikendalikan oleh elit-elit tertentu. Kritikus media terkemuka Noam Chomsky menjelaskan dalam teorinya tentang “manufacture of consent” bagaimana media, terutama di negara-negara kapitalis, berfungsi sebagai alat propaganda yang melayani kepentingan bisnis besar dan pemerintah dengan menciptakan narasi yang menguntungkan elit yang berkuasa. Alih-alih bertindak sebagai pengawas kekuasaan, Chomsky mengatakan bahwa media sering kali memperkuat struktur kekuasaan yang ada dengan membatasi akses terhadap informasi yang obyektif, menekan kritik, dan mengendalikan pandangan masyarakat. Pandangan ini juga relevan di Indonesia, di mana kepemilikan media yang terkonsentrasi pada beberapa konglomerat mempengaruhi pemberitaan yang condong ke arah kepentingan politik dan ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
Media massa secara tradisional telah berfungsi sebagai media kritis, instrumen pesan-pesan kritis yang memberi energi pada kehidupan sosial yang demokratis. Media massa secara tradisional berfungsi untuk mengelola komunikasi antara banyak orang yang kritis dan menginginkan kehidupan bersama mereka diatur oleh kehendak mereka sendiri dan bukan oleh kehendak kekuasaan feodal. Artinya, media massa sebagai saluran ruang publik yang kritis. Ruang publik adalah domain komunikasi kritis antara warga negara yang rasional dan pemerintah yang diberi kekuasaan oleh rakyat untuk memerintah. Ini adalah komunikasi politik publik dan sebagai komunikasi, media massa menjadi ruang publik interaksi egaliter yang mengarah pada konsensus tentang bagaimana kehidupan sehari-hari diatur. Mempertahankan komunikasi kritis berarti mempertahankan ruang publik yang kritis. Media, sebagai ruang publik yang kritis, harus dipertahankan demi kekuatan demokrasi. Dalam hal ini, media yang tidak lagi kritis akan berujung pada runtuhnya demokrasi. Runtuhnya demokrasi melalui kebangkitan media yang tidak kritis merupakan masalah sosial saat ini. Publik sendiri sering menuding media yang seharusnya menjadi ruang publik yang kritis justru tidak lagi menjadi ruang publik yang kritis (Kodoati & Maida, 2023).
ADVERTISEMENT
Media massa sering kehilangan independensi karena dikuasai kapitalisme dan digunakan sebagai alat kekuasaan politik dan situasi Indonesia saat ini memberikan contoh yang sangat relevan. Misalnya, PT. Visi Media Asia, yang dimiliki oleh Grup Bakrie, memiliki utang kepada Lativi milik Abdul Latief. Di sisi lain, TV 7 yang dimiliki oleh Kompas Gramedia dan Para Grup (sekarang CT Corp) juga mengalami kesulitan beroperasi karena biaya produksi program. Awal 2007, Lativi diberi manajemen baru dan berganti nama menjadi TV One. Sementara itu, TV 7 berganti nama menjadi Trans 7, karena suntikan dana korporasi kepada keduanya. Memang, media massa membutuhkan dana untuk biaya produksi program. Namun, kenyataannya adalah bahwa media massa telah terjebak dalam sistem kapitalisme dan diperalat sebagai pundi-pundi penghasil laba bagi korporasi (Kodoati & Maida, 2023).
ADVERTISEMENT
Media massa telah menjadi alat yang sangat efektif untuk memengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat. Namun, kritik terhadap teori ekonomi politik menyatakan bahwa media massa sering dikendalikan oleh kelompok elit ekonomi atau borjuis yang menggunakannya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dalam situasi seperti ini, media tidak hanya menyampaikan informasi, mereka juga membentuk budaya kapitalis dan ideologi konsumtif yang menggambarkan masyarakat sebagai "masyarakat massa". Kapitalisme media di Indonesia mirip dengan yang ada di negara-negara kapitalis lainnya, di mana keuntungan finansial dan kontrol perusahaan lebih penting daripada kepentingan publik. Fenomena konglomerasi media di Indonesia menunjukkan bahwa segelintir pemilik modal menguasai beberapa media, yang sering memengaruhi isi dan orientasi mereka untuk kepentingan bisnis atau politik mereka (Widyawati, 2017).
ADVERTISEMENT
Hal ini sejalan dengan perspektif postmodernisme, yang berpendapat bahwa media telah beralih dari merefleksikan realitas nyata dan beralih untuk menghasilkan citra dan simulasi yang menguntungkan kapitalis. Media tidak hanya menjual produk, mereka juga menjual nilai, gaya hidup, dan ideologi yang mendorong orang untuk mengonsumsi lebih banyak lagi, memperkuat dasar kapitalisme kontemporer. Dinamika ini diperkuat oleh munculnya media sosial, yang memungkinkan orang untuk terus memproduksi dan mengonsumsi konten, seringkali tanpa mengetahui nilai sebenarnya dari konten tersebut. Dalam konteks postmodernisme, masyarakat secara cepat menjadi konsumen konten digital, yang didorong oleh "simulasi" kehidupan nyata. Kapitalisme digital, yang mengubah data dan interaksi sosial menjadi komoditas yang menguntungkan pemilik platform, mempercepat fenomena ini (Saumantri dkk, 2023). Media sosial memungkinkan setiap orang membuat dan mendistribusikan konten, tetapi pada saat yang sama, platform teknologi besar seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menguasai aliran informasi dan mengambil data pengguna sebagai komoditas ekonomi. Dalam hal ini, media sosial memperkuat mekanisme kapitalisme dengan model bisnis berbasis iklan yang bergantung pada data pengguna untuk menghasilkan uang, sekaligus membatasi kebebasan individu.
ADVERTISEMENT
Media massa dan media sosial telah menjadi alat yang semakin kuat untuk mendorong kapitalisme di era digital, membuat masyarakat menjadi konsumen pasif yang terus terpapar pada konten yang mendukung logika konsumsi. Media saat ini berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dominasi politik-ekonomi borjuasi, baik melalui simulasi realitas gaya postmodernisme atau kontrol ekonomi digital oleh platform teknologi besar. Budaya konsumsi dan disinformasi menghalangi masyarakat dari realitas nyata dan memperkuat ketimpangan sosial. Akibatnya, sangat penting untuk mempertimbangkan dengan cermat peran media dalam kapitalisme kontemporer.