Konten dari Pengguna

Perempuan dalam Kisah Mahabharata

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
15 Desember 2022 22:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Image from Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Image from Unsplash.com
Berbicara tentang perempuan sepertinya selalu terhubung dengan budaya patriarki yang mengikat kedua kaki. Perempuan terkurung pada satu keadaan dimana langkahnya dibatasi, suaranya dibungkam, tubuhnya dikonstruksikan bagaimana keinginan sosial, serta mimpinya dipasung oleh budaya.
ADVERTISEMENT
“Perempuan tidak perlu sekolah tinggi!” kata mereka yang menganggap bahwa pendidikan tidak terlalu penting bagi perempuan yang akan berakhir di dapur setelah menikah. “Perempuan tidak perlu banyak berkomentar!” kata mereka yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk inferior. “Perempuan harus menikah sebelum usia 25, harus pandai memasak, harus lemah lembut!” kata mereka yang menganggap kehidupan perempuan diatur oleh konstruksi sosial. “Perempuan tidak perlu punya cita-cita tinggi!” kata mereka yang menganggap kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga.
Perempuan dicap sebagai makhluk inferior yang akhirnya akan berada di bawah kendali laki-laki, haknya dibatasi dan kewajibannya dianggap hanya berpusat pada urusan dapur, kasur, dan sumur. Mirisnya, masyarakat selalu mewariskan konsep budaya patriarki pada anak perempuannya, saudara perempuannya, atau teman perempuannya. Hingga akhirnya budaya patriarki selalu tertanam dalam pikiran masyarakat, khususnya yang mengatur perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda dengan perempuan yang digambarkan dalam kisah Mahabharata yang ditulis oleh Nyoman S. Pendit dalam versi terbaru dan lebih segar. Kisah Mahabharata merupakan karya sastra yang dikenal oleh banyak orang dengan berbagai versi dan tersaji dengan bahasa yang indah. Cerita di dalamnya selalu sarat akan ajaran moral yang bermanfaat untuk kehidupan. Berangkat dari kisah yang tertulis pada bab 1, berjudul Cinta Dushmanta Terpaut di Hutan. Penulis mencoba menggambarkan sosok perempuan dengan keberanian bersuara, mengungkapkan pendapatnya, dan melawan ketidakadilan yang didapatkannya.
Gambaran perempuan berani dan teguh pada pendirian milik tokoh Syakuntala. Dalam kisah Mahabharata, Syakuntala dicampakkan oleh suaminya Dushmanta yang merasa malu telah memiliki istri yang tidak jelas asal-usulnya. Hingga akhirnya Dushmanta memilih untuk meninggalkan Syakuntala, bahkan ketika mereka sudah dikaruniai seorang anak. Sedangkan Dushmanta tidak mengakui anak tersebut adalah hasil dari memadu kasih dengan Syakuntala. Akhirnya dengan keberanian dan keteguhan hati Syakuntala, sebagai perempuan ia memberanikan diri untuk melawan Dushmanta dari ketidakadilan yang didapatkannya.
ADVERTISEMENT
Syakuntala berdiri dengan kekuatannya, amarah yang menguasai pikirannya, ia berbicara dengan lantang. Ia menyuarakan kemarahannya, isi hatinya yang penuh dengan kekecewaan, serta memperjuangkan hak sang anak yang seharusnya didapatkan dari suaminya tersebut. Syakuntala digambarkan sebagai sosok perempuan yang berani menyuarakan ketidakadilan. Hal ini tentu dapat dijadikan pedoman bagi perempuan-perempuan untuk bebas menyuarakan suaranya. Keadilan yang dianggap tabu bagi perempuan benar-benar harus diperjuangkan.
Saat ini beberapa perempuan telah berhasil keluar dari konstruksi sosial, mereka menunjukkan nilai dalam dirinya di tengah masyarakat, dan ikut berkontribusi dalam kemajuan bangsa. Namun, tidak sedikit pula perempuan yang masih merasa takut, ragu, dan bimbang ketika harus menyuarakan aspirasinya. Suara perempuan juga harus digaungkan dengan kuat.
Masyarakat yang terbiasa membungkam suara perempuan, melarang mereka untuk berbicara, pasalnya telah tertanam begitu dalam. Bahkan, korban pelecehan seksual yang kini marak bertebaran di mana-mana merasa ragu untuk bercerita dan meminta pertolongan. Mereka menganggap bahwa suara mereka tidak akan didengar. Akhirnya, tidak sedikit pula perempuan yang memilih untuk mengakhiri hidupnya karena menganggap tidak ada wadah untuk menceritakan kesedihannya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi alasan yang kuat bahwa suara perempuan tidak boleh dibungkam, langkah perempuan tidak boleh dibatasi, dan tubuh perempuan bukan badut sosial. Seperti yang digambarkan dalam kisah Mahabharata di atas, bagaimana perempuan harus memperjuangkan keadilan bagi dirinya. *
*Adinda Destiana Aisyah, penulis dan mahasiswi Universitas Pamulang