Konten dari Pengguna

Perempuan dan Kemampuan BerDiKaRi

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
19 Agustus 2024 8:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image From Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Image From Unsplash
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, saya pikir perempuan tidak punya pilihan selain berdiri di kaki sendiri (selamanya). Bagi saya setiap perempuan, tidak ada alasan untuk tidak belajar. Setiap perempuan, tidak ada alasan untuk tidak punya tujuan dan cita-cita. Setiap perempuan, tidak ada alasan untuk menggantungkan kebahagiaan sepenuhnya kepada pasangan bahkan setelah menikah. Fenomena yang terjadi saat ini, ketidakpastian diri pasangan dalam jangka panjang, fakta manusia yang terlalu dinamis, dan kepercayaan patriarki, merupakan alasan mengapa perempuan harus selalu siap dan memiliki kemampuan berdiri di kaki sendiri.
ADVERTISEMENT
Kemampuan berdiri di kaki sendiri artinya perempuan menjalani kehidupannya dalam segala hal, tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Kemampuan ini kian dimiliki oleh sebagian besar perempuan. Hal tersebut terbukti ketika perempuan bisa dengan bebas berkarir, mengejar cita-cita, berpendidikan, berkarya, dengan usahanya sendiri. Beberapa influenser atau konten kreator perempuan, kerap menunjukkan bagaimana perempuan dapat berdiri di kaki sendiri dalam mengusahakan segala aspek kehidupan tanpa bergantung kepada laki-laki.
Kemampuan ini sepertinya tidak boleh luntur atau hilang dari dalam diri perempuan selamanya. Mengapa demikian? Mari sekilas menoleh kepada kasus-kasus dalam rumah tangga yang terjadi baru-baru ini. Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tetapi memilih bertahan bertahun-tahun hanya karena takut tidak dapat bertahan hidup tanpa suaminya. Alasan lain adalah, anak-anak yang masih membutuhkan biaya dan satu-satunya sumber penghasilan adalah dari suami. Walaupun wajah sering lebam, biru sana-sini, tulang-tulang terancam patah, goresan dimana-mana, atau bahkan nyawa di ujung tanduk, rela tetap bertahan hanya karena ketidakmampuan dan ketidakyakinan untuk hidup tanpa suami. Terdeteksi atau tidak oleh media, masalah seperti ini pasti sering terjadi di masyarakat, dan perempuan yang paling dirugikan.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, kekerasan, pengkhianatan, kepercayaan patriarki, adalah hal yang tidak akan mudah hilang begitu saja. Pelaku kekerasan, perselingkuhan, dan patriarki akan selalu melakukan hal yang sama jika tidak ada kesadaran atau keinginan untuk berubah dari DIRI SENDIRI. Saya ingatkan dan pertegas, hanya dari DIRI SENDIRI. Seseorang yang dicintai, bahkan anak-anak dari spermanya sendiri bahkan tidak akan mampu membuat para pelaku kekerasan, perselingkuhan, dan patriarki, jera begitu saja jika tidak dari DIRI MEREKA SENDIRI. Jadi, jangan pikir hanya karena para pelaku mampu meminta maaf, berjanji untuk tidak mengulangi, dan bertingkah seolah paling mencintai, otomatis mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya pikir, bertahan dengan pasangan yang kerap melakukan kekerasan, berselingkuh, atau terlalu patriarki, hanyalah cara menggali kuburan sendiri.
ADVERTISEMENT
Banyak perempuan yang menormalisasi kekerasan, perselingkuhan, atau kepercayaan patriarki dari pasangannya bahkan sejak tahap perkenalan. Mereka seolah percaya hal tersebut akan hilang begitu saja ketika sudah menikah. Deteksi dan sadari sejak dini bahwa hal tersebut tidak akan berubah bahkan Anda menjadi secantik Ariana Grande atau Maudy Ayuna. Jadi, penting untuk tidak menormalisasi hal tersebut, jika Anda tidak siap untuk mengambil risiko jangka panjang. Jika Anda siap menerima kekerasan, perselingkuhan, dan kepercayaan patriarki yang sudah terdeteksi sejak dini, maka tidak masalah untuk lanjut ke jenjang yang lebih jauh. Namun, jangan sampai kebiasaan menormalisasi ketidaknyamanan itu malah jadi boomerang di kemudian hari.
Pasangan yang terlihat sangat mencintai atau sering disebut bucin juga tidak dapat dijadikan sebagai patokan bagi perempuan untuk terlena, sehingga menggantungkan segalanya kepada pasangan. Pada dasarnya manusia adalah makhluk dinamis. Bahkan diri sendiri tidak bisa menjamin jika di masa depan akan selalu sama dengan hari ini, bahkan dari segi sikap atau pola pikir. Jadi, jangan semudah itu meyakini seseorang yang saat ini sangat mencintai akan selalu sama selamanya. Cinta yang tidak pasti definisinya itu, tidak dapat dijadikan tolak ukur dalam memercayai pasangan sepenuhnya. Mereka yang mencintai hari ini, tidak menutup kemungkinan akan berselingkuh di kemudian hari, akan memukul ketika emosinya terlalu membuncah. Saya bukan menakuti, tapi hal tersebut adalah fakta yang terlalu terang. Bahkan satu dua orang di sekitar Anda mungkin pernah mengalaminya, hanya saja mereka memilih diam.
ADVERTISEMENT
Melihat fakta di atas, mengharuskan perempuan untuk tidak bodoh, tidak kehilangan eksistensi diri, tidak kehilangan nilai diri, dan tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri di kaki sendiri bahkan setelah menikah. Hal sederhana dalam kemampuan tersebut adalah, tetap memiliki sumber finansial bagi diri sendiri, mampu mengusahakan kebutuhan ekonomi sampai jangka panjang, tidak takut bersuara dan melawan ketidakadilan dalam rumah tangga, mampu berjuang untuk diri sendiri dan anak. Menurut saya, hal tersebut perlu dipersiapkan oleh perempuan sebelum memutuskan untuk menikah. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjamin bagaimana seorang manusia akan bersikap, dalam jangka panjang. Jadi, daripada terlena dengan hal yang tidak pasti, lebih baik mempersiapkan diri.