Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Fenomena Banter Sepak Bola, dari Perdebatan di Rental PS sampai Jurgenholic
20 Februari 2024 17:06 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Di masa kecil, di mana media sosial belum hadir di tengah-tengah masyarakat, olok-olok atas dukungan di sepak bola kesayangan dilakukan secara frontal dan langsung. Misalnya lewat obrolan di rental PlayStation, adu argumentasi tentang tim dan pemain terbaik selalu ada.
ADVERTISEMENT
Tensi selalu tinggi jika tim kesayangan—juga pemain idola—disenggol dengan keras oleh kawan. Mulai dari Milan, Juve, dan Inter, kemudian Manchester United dan Liverpool, lantas Barcelona dan Real Madrid.
Media sosial muncul belakangan sebelum persaingan riuh dari warkop ke warkop, dari koran dinding ke koran dinding. Hadirnya media sosial, membuat luas adu argumen liar tentang sepak bola. Siapa pun bisa meramaikan. Argumen yang bagus, opini yang jelek, pun sekadar caci-maki—melampiaskan emosi—muncul dan menjadikan banter makin liar.
Perdebatan-Perdebatan Awal
Internet membuat manusia pintar, sekaligus sebaliknya. Itu yang terjadi dalam perdebatan sepak bola. Internet memberikan berbagai informasi yang sebelumnya tak pernah diberikan majalah, koran, dan televisi. Trivia aneh, fakta unik, gosip basi, dan obong-obong rivalitas dua tim elit, seakan menambah bumbu persaingan dengan rival. Ya, internet hadir memenuhi hal ini.
ADVERTISEMENT
Namun, terciptanya media sosial dan forum, diperbolehkannya manusia membuat akun anonim, internet membuat sebuah tradisi banter yang cukup menyebalkan. Sekitar 2010 di Facebook, opini jelek dilawan dengan logical fallacy, dan itu sering terjadi.
Jika perdebatan tak berujung itu terus berlangsung, kata-kata andalan saat itu adalah, “Halah, cuma fans layar kaca!” Namun, istilah tersebut tak hanya menjadi trend saat itu. Namun membentuk sebuah diskusi menarik dan banyak mahasiswa mengangkatnya jadi penelitian: fanatisme terhadap tim luar.
Mereka yang tak pernah lahir di Holloway, akan marah dan tersinggung ketika ada yang bilang Arsenal tak pernah menang Piala Eropa. Pun dengan mereka yang belum pernah tahu bentuk dan rupa Munich, misuh-misuh ketika ada yang beropini bahwa Bundesliga itu adalah liga petani.
ADVERTISEMENT
Hal-hal lucu namun dapat dimaklumi macam ini akan sering kita temui satu dekade belakangan—atau bahkan beberapa dekade ke depan? Ya, siapa juga yang bisa menjamin, kan?
Lantas dari mana fans layar kaca bisa menghadirkan fanatisme padahal tak berhubungan secara langsung dengan daerah di mana klub itu berada? Jawabannya adalah media massa.
Menyukai klub di Eropa sana, juga berasal dari faktor lingkungan. Entah warisan dari orangtua atau dari tongkrongan. Media massa membantu memfasilitasi. Majalah, misalnya, dengan memberikan bonus berupa poster logo klub dan pemain yang sedang terkenal saat itu, turut mendukung hadirnya rasa cinta tersebut.
Koran dinding berganti ke majalah, begitu pula ketika majalah digantikan dengan internet. Media sosial membentuk komunitas online, akun-akun fanbase, dan banter menjadi liar saat itu. Sampai pada akhirnya, penawar itu datang. Ia bernama engagement.
ADVERTISEMENT
Para Fanspage dan Pundit-Pundit Pencari Exposure
Media sosial seperi Facebook dan Twitter membuat semacam kultur baru dari suporter layar kaca. Fanspage muncul dan menjamur. Satu klub, bisa memiliki banyak fanspage dan para pengguna Facebook bisa bebas mengakses banyak fanspage sekaligus.
Kecenderungan barter baru muncul, di mana nabi-nabi baru—admin yang mengelola fanpage—disanjung dan kadang pendapat mereka dianggap sebagai kebenaran yang mutlak.
Open war kadang bukan lagi dibuka oleh satu atau dua orang, melainkan oleh antar-fanspage. Setelah fanspage satu banter, disambut oleh fanspage lainnya, lantas para pengikut mereka bak tentara perang yang berbondong-bondong menuju Kurukshetra, yakni kolom komentar.
Setelah itu, era baru muncul. Sebuah era di mana pundit waton njeplak demi exposure media sosial merajalela. Mereka punya pengikut, dan para pengikut ini tak jarang adu sikut. Kita berada di zaman ini.
ADVERTISEMENT
Suara-suara yang harusnya pantas didengar, justru tenggelam oleh fanspage yang hanya cari ribut dan pundit serakah demi konten. Apalagi yang akan terjadi pada fans sepak bola layar kaca? Apakah makin suram?
Pengamatan saya, harusnya sih tidak seperti itu. Masih ada harapan. Ada berbagai banyak cara untuk memperoleh engagement, namun beberapa akun ini memilih jalan terjal dengan “menjadi lucu”.
Banter yang Menjemukan dan Datangnya Kelucuan sebagai Penawar
@thejurgenholic menjadi perbincangan, baik di Twitter maupun di TikTok. Banyak gimmick yang admin akun tersebut bangun, namun caranya memperoleh massa pendukung patut diperhitungkan. Akun Twitter yang seharusnya berbasis mendukung Liverpool, menjadi ruang aman dan menyenangkan bagi para penggemar sepak bola keseluruhan. Baik para fans Liverpool itu sendiri, maupun tim rival.
ADVERTISEMENT
Juga Extra Time Indonesia. Satu atau dua cuitan mereka memang kadang menyebalkan, namun di satu sisi pengelola akun ini menciptakan gimmick yang bisa mereduksi tingkat emosi para pengikutnya. Caranya simple: interaksi dengan para pengikutnya.
Cara mereka, baik Jurgen atau ETI, bisa dibilang anomali. Mereka memilih menciptakan trend dan adaptasi terhadap trend. Mereka begitu hati-hati memilih isu lantaran membuat orang tertawa, sama halnya berbahaya dengan memaki orang lain. Ya, walau dalam ranah ini, blunder kadang menanti dan tak bisa dihindari.
Twitter (X) tentu sarang berkumpulnya akun-akun bola menyebalkan, namun @thejurgenholic memilih mengandalkan meme-nya untuk membahas sesuatu. Semisal ketika berebut pemain di jendela transfer—hal biasa yang terjadi di sepak bola—ketika Liverpool kalah power dengan Madrid, @thejurgenholic memilih untuk memposting meme-meme Naruto bertemakan galau alih-alih open war dengan fanspage Madrid.
ADVERTISEMENT
Memang cukup menggelikan jika membayangkan gagal mendapatkan pemain idaman, karena ditikung oleh klub rival, yang terjadi justru open war. Namun cara ini justru menambah relasi pertemanan dengan para penggemar Madrid di Indonesia. Baik Jurgen itu sendiri, atau malah para penggemar Liverpool yang mengikuti Jurgen. Aneh, bukan?
Sepak bola terus berinovasi selayaknya kehidupan manusia melawan modernitas. Beradaptasi sekaligus berupaya menemukan—atau bahkan menciptakan—pasar. Begitu juga dengan kultur suporter. Jika di luar sana berkembang kultur macam Ultras, Hooligan, Barra Brava, fans sepak bola layar kaca di Indonesia membentuk kultur tersendiri yang unik dan orisinil.
Kultur suporter layar kaca ini bisa berubah menjadi toxic sepenuhnya jika para fanspage dan pundit konyol terus diberi ruang, sedang Jurgen dan ETI akhirnya datang dan mengajak kita untuk bersenang-senang.
ADVERTISEMENT