Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Check & Balances: Pentingnya Keseimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
18 Januari 2024 11:09 WIB
Tulisan dari Adji Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2024 ini, Indonesia dan beberapa negara, seperti India hingga Amerika Serikat akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu Indonesia sendiri akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Dalam Pemilu tersebut, Rakyat Indonesia mendapatkan hak bukan hanya untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden, tetapi juga calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam memilih calon penguasa negara, penting bagi masyarakat mengetahui tugas dan wewenang lembaga negara, khususnya calon anggota DPR dan calon presiden dan wakil presiden sebagai Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif yang juga merupakan lembaga utama dan tertinggi yang menjalankan pemerintahan.
Lembaga Eksekutif adalah lembaga yang memiliki tugas untuk melaksanakan undang-undang dan menjalankan segala kebijakan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden serta dibantu dengan menteri-menteri.
Sementara lembaga legislatif yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat memiliki tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Legislasi berarti DPR bertanggung jawab untuk membentuk undang-undang. Anggaran berarti DPR berhak untuk memberikan persetujuan mengenai anggaran yang diajukan eksekutif. Pengawasan berarti DPR berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran, dan kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh eksekutif.
ADVERTISEMENT
Eksekutif dan Legislatif memiliki peranan berbeda dan saling mengisi satu sama lain. Hal tersebut ditujukan agar kekuasaan tidak menumpuk di satu lembaga saja, melainkan dibagi ke beberapa lembaga. Pembagian kekuasaan tersebut adalah suatu implementasi dari konsep trias politica yang ditemukan oleh John Locke yang pada intinya, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga jenis, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep trias politica tersebut pada intinya ingin memastikan terjadinya keseimbangan kekuasaan dan check and balances pada suatu pemerintahan.
Check and balances adalah suatu prinsip dalam ketetatanegaraan yang menghendaki bahwa eksekutif, legislatif, dan yudikatif sederajat dan memiliki wewenang untuk mengontrol satu sama lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari abuse of power dari pihak yang menjalankan kekuasaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Implementasi dari check and balances ini juga dapat dilihat dari kekuasaan DPR dan Presiden. Presiden memiliki wewenang besar untuk membuat kebijakan dan menjalankan kebijakan serta menentukan anggaran dari kebijakan tersebut. Akan tetapi, terdapat DPR yang dapat menyeimbangi kekuatan tersebut dengan memberikan persetujuan mengenai angaran yang diminta, pengawasan terhadap kebijakan yang dilakukan, dan DPR juga berhak untuk meminta keterangan kepada eksekutif mengenai kebijakan yang dijalankan (hak interpelasi), sehingga segala kebijakan yang dijalankan oleh eksekutif akan diawasi dan harus dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan begitu, menjadi penting untuk memisahkan orang atau kelompok (dalam hal ini partai yang menaungi orang tersebut) dari eksekutif dan legislatif atau dengan kata lain, eksekutif dan legislatif tidak boleh dikuasai oleh orang atau kelompok yang sama untuk mempertahankan sistem check and balances.
Idealnya, DPR merupakan oposisi alami dari pemerintah (eksekutif) karena fungsinya sebagai pengawas dan juga diberi hak istimewa berupa hak interpelasi. Akan tetapi, realitanya, anggota DPR masih banyak dipengaruhi oleh elite partai politiknya. Hal ini pernah diungkapkan oleh Bambang Pacul, Ketua Komisi III DPR RI yang mengatakan bahwa tidak dapat mengesahkan RUU Perampasan Aset karena tidak diperintahkan oleh Ketua Umum Partai Politik. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa anggota DPR masih berada di bawah bayang-bayang partai politiknya.
ADVERTISEMENT
Fenomena partai politik mengusai lembaga eksekutif dan legisaltif telah terjadi di Indonesia pada periode 2019-2024 masa kepemimpinan Joko Widodo, dimana partai politik pemenang pemilihan presiden, yaitu Partai PDIP mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif serta ditambah dengan banyaknya partai koalisi yang bergabung dengan PDIP yang membuat minimnya partai oposisi dalam anggota Legislatif.
Implikasi dari penguasaan eksekutif dan legislatif oleh partai atau koalisi partai yang sama, akan membuat legislatif kehilangan fungsinya, seperti yang terjadi saat ini. Legislatif yang seharusnya memiliki tugas untuk mengawasi segala kebijakan yang dijalankan pemerintah dan menjadi pihak utama yang mengkritisi segala kebijakan pemerintah, tetapi tugas tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Legislatif hanya sekedar tempat "rubber stamp" untuk mengabsahkan kebijakan yang ingin dilakukan eksekutif.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang hanya dibahas hanya dalam 43 hari. Pembahasan yang tergesa-gesa tersebut mengakibatkan minimnya partisipasi publik (meaningfull participant).
Alhasil, eksekutif dapat mengambil tindakan dengan leluasa tanpa harus memalui proses yang ideal dan tanpa harus mendengarkan aspirasi masyarakat mengenai kebijakan yang akan diambil.
Karena itu, kita sebagai orang yang telah mendapatkan hak untuk memilih pada Pemilu mendatang harus benar-benar bijak dalam memilih calon pemimpin negeri ini. Salah satunya adalah dengan membedakan pilihan antara eksekutif dan legislatif dalam hal partai politik afiliasinya.
Dengan begitu, partai yang menguasai eksekutif dan legislatif menjadi tidak sama dan terjadi keseimbangan persebaran kekuasaan, sehingga anggota DPR sebagai oposisi alami dari pemerintah (eksekutif) dapat bertindak sebagaimana layaknya seorang oposisi dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Contoh: Terdapat dua calon presiden dan calon wakil presiden. Saya akan memilih calon presiden dan wakil presiden paslon nomor 50 yang diusung oleh partai A dan didukung oleh partai B dan partai C. Lalu pada Pemilu anggota DPR, saya memilih seseorang yang diusung oleh partai D sebagai partai yang mengusung calon presiden dan wakil presiden nomor 51 atau partai E dan partai F sebagai partai pendukung calon presiden dan wakil presiden nomor 51.
Politisi lebih baik dibiarkan berkelahi daripada bersengkongkol. Hal tersebut dikarenakan jika politisi telah bersengkokol, pihak yang akan sangat dirugikan adalah rakyat itu sendiri karena mereka bisa berbuat seenaknya.
ADVERTISEMENT