Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dunia Lewatkan Momentum Transisi Energi
20 Juni 2022 17:41 WIB
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meski banyak negara berkomitmen melakukan pemulihan dengan cara hijau setelah pandemi Covid-19, nyatanya transisi energi terbarukan global tidak terjadi. Di tengah krisis energi dan melonjaknya harga energi fosil, sebagian besar negara justru kembali ke energi kotor ini untuk mengatasinya, yang menghasilkan lonjakan emisi karbon dioksida terbesar dalam sejarah, naik lebih dari 2 miliar ton di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Peringatan tersebut tercantum dalam laporan Status Global Terbarukan 2022 (GSR 2022). Mengacu laporan tersebut, penambahan kapasitas energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan yang mencapai rekor, yakni 314,5 gigawatt (GW) atau naik 17% dari 2020, ternyata tidak cukup untuk memenuhi kenaikan konsumsi listrik global 6%.
Di sektor transportasi, porsi energi terbarukan hanya naik 1,2% menjadi 3,7% dalam jangka waktu 2011-2019, meski permintaan energi keseluruhan naik hingga 24% pada dekade ini. Untuk sektor penerbangan, pengapalan, dan logistik jarak jauh tetap sulit untuk melakukan dekarbonisasi.
Tak hanya itu, antara 2018 dan 2020, pemerintah menghabiskan US$ 18 triliun–7% dari PDB global pada 2020–untuk subsidi bahan bakar fosil, dalam beberapa kasus sambil mengurangi dukungan untuk energi terbarukan (seperti di India).
ADVERTISEMENT
Padahal, menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) pada November 2021, tercatat 135 negara berjanji mencapai nol emisi gas rumah kaca pada 2050. Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah KTT Iklim PBB, deklarasi COP26 menyebutkan perlu mengurangi penggunaan batu bara.
“Meskipun bukti bahwa energi terbarukan adalah sumber energi paling terjangkau untuk meningkatkan ketangguhan dan mendukung dekarbonisasi, pemerintah dunia terus memberikan subsidi energi fosil. Gap antara ambisi dan tindakan negara memberi peringatan yang jelas bahwa transisi energi global tidak terjadi,” kata Rana Adib, Direktur Eksekutif REN21.
Menurut Adib, respons atas krisis dan tujuan iklim tidak boleh bertentangan. Energi terbarukan adalah solusi yang paling terjangkau dan terbaik untuk mengatasi fluktuasi harga energi. “Kita harus meningkatkan pangsa energi terbarukan dan menjadikannya prioritas kebijakan ekonomi dan industri. Kita tidak bisa memadamkan api dengan lebih banyak api,” Adib menegaskan.
ADVERTISEMENT
Laporan GSR 2022 mencatat ada banyak peluang dan manfaat dari transisi ke ekonomi dan masyarakat berbasis terbarukan, termasuk kemampuan untuk mencapai tata kelola energi yang lebih beragam dan inklusif melalui pembangkitan energi lokal dan rantai nilai. Negara-negara dengan pangsa energi terbarukan yang lebih tinggi dalam konsumsi energi totalnya menikmati kemandirian dan keamanan energi yang lebih besar.
“Ketimbang menganaktirikan energi terbarukan dan bergantung pada subsidi energi fosil untuk meringankan beban biaya tagihan listrik masyarakat, pemerintah seharusnya memberikan dukungan langsung untuk memasang sistem energi terbarukan di rumah-rumah yang rentan (secara ekonomi). Pada akhirnya jalur energi terbarukan akan terbukti lebih murah (dalam hal efektifitas anggaran) walaupun memerlukan investasi awal yang besar,” kata Adib.
ADVERTISEMENT
Wakil Presiden Spanyol dan Menteri untuk Transisi Ekologis dan Tantangan Demografi Teresa Ribera menambahkan, transisi energi memungkinkan model bisnis dan bentuk organisasi yang inovatif, mengubah rantai nilai, mendistribusikan kembali kekuatan ekonomi, dan membentuk tata kelola dengan cara baru yang lebih berpusat pada manusia.
“Dengan investasi yang tepat dalam teknologi, energi terbarukan adalah satu-satunya sumber energi yang menawarkan setiap negara di dunia kesempatan untuk otonomi dan keamanan energi yang lebih besar,” kata dia.
Karenanya, Presiden REN21 Arthouros Zervos menyerukan harus ada target dan rencana jangka pendek dan panjang untuk beralih ke energi terbarukan, berikut tanggal akhir yang jelas untuk bahan bakar fosil. “Penyerapan energi terbarukan harus menjadi indikator kinerja utama di semua sektor ekonomi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Di Asia, Indonesia, bersama Tajikistan dan Kirgistan, tercatat sebagai negara yang terdepan dalam hal porsi energi terbarukan dalam konsumsi energi finalnya. Bersama China, Malaysia, Mongol, dan Korea Selatan, Indonesia telah menggunakan taksonomi hijau.