Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nasib Syiah Sampang: Ajaran Menyimpang atau Skeptisme Semata?
15 Juli 2024 14:31 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Adnan Halim Husni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dikenal dengan keragaman agama dan budayanya. Meskipun mayoritas penduduknya menganut Islam Sunni, kehadiran aliran Syiah juga merupakan bagian tak terpisahkan dari keberagaman ini. Di tengah keragaman ini, konflik komunitas Syiah di Sampang, Madura, mengundang perhatian dan menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah Syiah adalah ajaran menyimpang, ataukah sebuah ajaran murni yang layak mendapat tempat di tengah pluralisme agama dan budaya Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu meninjau perspektif Islam tentang keragaman dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sering muncul dari perbedaan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Sejarah Singkat Syiah di Indonesia
Syiah, salah satu dari dua cabang utama dalam Islam, memiliki sejarah panjang yang berakar pada perpecahan awal Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad. Di Indonesia, jejak-jejak kehadiran Syiah dapat ditelusuri kembali ke masa Kesultanan Aceh pada abad ke-16. Meski demikian, perkembangan dan penerimaan Syiah di Indonesia mengalami pasang surut, sering kali terhimpit oleh dominasi Sunni yang lebih besar.
Syiah, secara etimologis berarti “pengikut” atau “partai,” merujuk kepada pengikut Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad Saw. Setelah wafatnya Nabi Muhammad, terjadi perpecahan di kalangan umat Islam mengenai siapa yang berhak menjadi penerus beliau. Kelompok yang mendukung Ali sebagai penerus disebut Syiah. Mereka percaya bahwa Ali dan keturunannya memiliki hak untuk memimpin umat Islam.
ADVERTISEMENT
Secara doktrin, Syiah memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan Sunni, seperti konsep Imamah (kepemimpinan spiritual), keyakinan terhadap keturunan Ali sebagai pemimpin yang sah, dan beberapa praktik ibadah yang berbeda. Namun, Syiah juga memegang teguh prinsip-prinsip dasar Islam seperti rukun Islam dan rukun iman, yang menunjukkan bahwa mereka tidak menyimpang jauh dari ajaran Islam itu sendiri.
Perspektif Islam tentang Syiah
Dari perspektif Islam, perbedaan antara Sunni dan Syiah terutama terletak pada persoalan kepemimpinan setelah Nabi Muhammad. Syiah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah pemimpin yang sah, sementara Sunni mengakui khalifah pertama, Abu Bakar, sebagai penerus Nabi. Meskipun demikian, kedua aliran ini berbagi dasar-dasar keimanan yang sama, termasuk keyakinan pada Allah, Nabi Muhammad, Al-Qur'an, dan hari kiamat.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam konteks Sampang, pandangan bahwa Syiah adalah “ajaran menyimpang” sering kali diperkuat oleh narasi yang menganggap perbedaan ini sebagai ancaman terhadap keutuhan Islam Sunni. Hal ini diperparah oleh kurangnya pemahaman mendalam tentang Syiah di kalangan masyarakat umum, serta oleh pengaruh politik dan sosial yang memanfaatkan perbedaan agama untuk kepentingan tertentu.
Keragaman Agama dan Budaya: Sebuah Keniscayaan
Indonesia adalah negara yang secara konstitusional menjamin kebebasan beragama. Pluralisme agama dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas nasional. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan tantangan dalam mewujudkan toleransi dan keharmonisan antaragama. Kasus Sampang mencerminkan kesulitan dalam mengintegrasikan keragaman agama ke dalam kehidupan sosial yang harmonis.
Dalam pandangan Islam, pluralisme dapat diterima sebagai bagian dari sunnatullah (ketetapan Tuhan) dalam penciptaan manusia yang beragam. Al-Qur’an menyebutkan dalam Surah al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...” Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman adalah sarana untuk saling mengenal dan memahami, bukan untuk saling bermusuhan.
ADVERTISEMENT
Konflik dan Kekerasan terhadap Syiah Sampang
Di Indonesia, kasus Syiah Sampang adalah contoh nyata dari konflik yang muncul akibat perbedaan keyakinan. Pada tahun 2012, komunitas Syiah di Sampang, Madura, mengalami serangan dan pengusiran oleh sekelompok orang yang menganggap mereka sebagai ajaran menyimpang. Peristiwa ini menimbulkan trauma mendalam bagi korban dan menyoroti tantangan besar dalam mengelola keragaman agama dan budaya di Indonesia.
Mengapa konflik ini terjadi? Salah satu faktor utama adalah kurangnya pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan. Banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi yang memadai tentang ajaran Syiah dan cenderung menerima informasi yang bias atau tidak akurat. Selain itu, politisasi agama oleh pihak-pihak tertentu juga turut memperkeruh situasi, dengan memanfaatkan isu perbedaan mazhab untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
ADVERTISEMENT
Mengatasi Konflik: Perspektif Islam dan Keragaman
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik dan mempromosikan perdamaian. Salah satunya adalah prinsip Ukhuwah Islamiyah, atau persaudaraan dalam Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta, kasih sayang, dan empati adalah seperti satu tubuh; apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya...” (HR. Bukhari dan Muslim). Prinsip ini menekankan pentingnya solidaritas dan empati antar sesama Muslim, terlepas dari perbedaan mazhab atau keyakinan.
Selain itu, Islam juga mengajarkan pentingnya musyawarah dan dialog dalam menyelesaikan perselisihan. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “...dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka...” (Q.S. asy-Syura: 38). Dialog dan musyawarah memungkinkan terciptanya pemahaman yang lebih baik dan solusi yang lebih adil bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi konflik seperti yang terjadi di Sampang, diperlukan pendekatan yang komprehensif, meliputi pendidikan, dialog antarumat beragama, dan penegakan hukum yang adil. Pertama, pendidikan tentang keragaman Islam harus ditingkatkan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di lembaga pendidikan formal. Materi pendidikan harus mencakup sejarah, doktrin, dan kontribusi berbagai mazhab dalam perkembangan Islam, sehingga masyarakat dapat memahami dan menghargai perbedaan.
Kedua, dialog antarumat beragama harus difasilitasi oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Dialog ini bukan hanya untuk membahas perbedaan, tetapi juga untuk menemukan kesamaan dan memperkuat rasa persaudaraan. Misalnya, dialog antara ulama Sunni dan Syiah dapat membantu menghilangkan prasangka dan memperkuat kerjasama dalam berbagai bidang.
Ketiga, penegakan hukum yang adil dan tidak memihak sangat penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk komunitas Syiah, mendapatkan perlindungan hukum yang sama. Pelaku kekerasan dan intoleransi harus diadili secara adil untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
ADVERTISEMENT
Nasib Syiah di Sampang: Sebuah Refleksi
Nasib komunitas Syiah di Sampang menggambarkan kompleksitas keragaman agama di Indonesia. Diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami menunjukkan bahwa ada pekerjaan rumah besar dalam membangun masyarakat yang benar-benar menghargai perbedaan. Pendidikan agama yang inklusif dan dialog antaragama yang terbuka menjadi kunci dalam mengatasi prasangka dan membangun kesadaran akan pentingnya toleransi.
Bagi komunitas Syiah sendiri, mempertahankan identitas mereka dalam lingkungan yang tidak selalu ramah adalah tantangan besar. Mereka harus berjuang untuk hak-hak mereka sebagai warga negara sambil tetap berusaha menjalin hubungan baik dengan komunitas Sunni. Ini adalah perjalanan yang penuh dengan rintangan, tetapi juga menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan keyakinan.
Ajaran Murni atau Menyimpang?
Pertanyaan apakah Syiah adalah ajaran menyimpang atau ajaran murni sejatinya bersifat subyektif dan tergantung pada perspektif masing-masing individu atau kelompok. Dalam Islam, perbedaan pandangan teologis bukanlah hal baru dan telah ada sejak awal sejarah Islam. Yang terpenting adalah bagaimana perbedaan tersebut dikelola dalam kerangka saling menghormati dan memahami.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, penting untuk melihat Syiah sebagai bagian dari keberagaman Islam yang ada. Menghargai dan memahami perbedaan intra-agama akan memperkuat kohesi sosial dan mengurangi potensi konflik. Penerimaan terhadap Syiah sebagai salah satu aliran Islam yang sah dapat menjadi langkah besar menuju masyarakat yang lebih inklusif dan toleran.
Nasib komunitas Syiah di Sampang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan merawat keragaman agama dan budaya di Indonesia. Konflik yang terjadi bukan hanya persoalan teologis semata, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, politik, dan budaya yang kompleks. Pendidikan dan dialog antaragama menjadi sangat penting dalam membangun pemahaman dan toleransi.
Pertanyaan apakah Syiah adalah ajaran menyimpang atau ajaran murni harus dilihat dalam konteks pluralisme agama dan budaya. Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap warga negara, apapun keyakinan mereka, dapat hidup dengan damai dan dihormati. Melalui upaya bersama dalam mempromosikan dialog dan pemahaman, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat belajar dari kasus Syiah Sampang dan membangun masa depan di mana keragaman dihargai sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman. Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam kedamaian dan saling menghormati, dan ini adalah prinsip yang harus kita pegang teguh dalam menghadapi tantangan keragaman agama dan budaya.