Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ujung Jalan Pertelevisian Nasional ?
29 Agustus 2020 10:45 WIB
Tulisan dari adrial akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tindakan menggungat kegiatan live pada media sosial youtube, facebook, instagram dan lainnya, yang dilakukan oleh dua stasiun televisi swasta Indonesia, yaitu INews dan RCTI, telah menimbulkan banyak reaksi di media sosial. Di twitter contohnya, pada saat tulisan ini dibuat (8/28/2020) sore, #boikotRCTI telah menjadi trending topik. Banyak sekali netizen yang budiman kesal dengan tindakan dua stasiun televisi swasta tersebut.
ADVERTISEMENT
Secara singkat, INews dan RCTI melakukan gugatan kepada mahkamah konstitusi ( MK ), terkait live di media sosial seperti, youtube, facebook, instagram, dan lainnya. Dua stasiun televisi tersebut mengajukan permohonan uji materi atau judicial review pada UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran. Gugatan tersebut diajukan agar layanan – layanan over the top (OTT) dapat diatur dalam UU Penyiaran.
Sebuah tindakan yang bagi sebagian orang dianggap dapat membatasi kreativitas. Namun pihak penggugat berdalih, hal itu dilakukan untuk tangung jawab moral bangsa. Agar layanan - layanan OTT dapat diawasi dan memberikan konten yang bermoral. Kalau tujuannya seperti itu mungkin dapat dibenarkan. Eh tunggu dulu, memangnya tayangan di stasiun televisi anda sudah bermoral ?.
ADVERTISEMENT
Pokoknya kita tunggu saja bersama perkembangan gugatannya akan seperti apa, sambil terus berdoa agar gugatannya tidak diterima. Karena kalau sampai diterima, kita bisa diproses hukum cuman karena live di instagram. Kan gak lucu.
Terlepas dari benar atau salahnya tindakan kedua televisi swasta tersebut, ada hal lain yang dapat diperhatikan. Tindakan yang dilakukan oleh INews dan RCTI adalah penggambaran tentang mulai terusiknya para media konvensional terhadap ekosistem media baru, seperti media sosial dan konten digital lainnya. Namun alih – alih memperbaiki kualitas dan beradaptasi dengan situasi, tindakan menjegal fitur dan konten dari ‘pesaingnya’ yang dipilih menjadi jalan keluar. Hal tersebut memang sah – sah saja, tapi sebuah tindakan yang terkesan kekanak – kanakan. Ibarat anak kecil yang mengadu ke orang tua karena selalu kalah saat bermain. Sungguh brilian kan?.
ADVERTISEMENT
Saya akan gambarkan betapa briliannya ide penjegalan tersebut dengan sebuah analogi. Ibaratnya ada sebuah jalan yang sudah rusak dan berlubang, tapi karena satu – satunya jalan yang ada, semua orang hanya bisa melewati jalan tersebut. Lalu tiba – tiba muncul jalan yang kedua, jalannya mulus dan jauh dari kata rusak. Orang – orang pun mulai beralih menggunakan jalan yang kedua dan mulai meninggalkan jalan yang pertama. Pemilik jalan yang pertama kesal karena sudah sedikit orang yang menggunakan jalannya. Bukannya memperbaiki jalan miliknya yang rusak dan berlubang, pemilik jalan yang pertama menyewa preman untuk mengganggu kenyamanan pengguna jalan yang kedua, dengan harapan semua orang kembali menggunakan jalan yang pertama karena lebih aman.
ADVERTISEMENT
Brilian kan?
Hal yang yang dilakukan dua televisi swasta tersebut mungkin juga tanda – tanda dari ‘ujung jalan’ pertelevsian nasional. Karena semakin tersaing dengan konten – konten media baru yang lebih baik dari segi kualitas. Alhasil stasiun televisi swasta nasional menjadi mulai ditinggalkan dan tergantikan. Sudah tidak menarik lagi, sudah bukan rajanya lagi.
Saya rasa kalau perteleivisian nasional enggan untuk berinovasi dan masih menggunakan format yang sama seperti saat ini, tinggal menunggu waktu saja sampai benar – benar tergantikan. Karena lama – kelamaan penonton muak juga dengan tayangan yang disajikan.
Saya pun secara pribadi sudah jarang menyaksikan stasiun televisi nasional. Menyaksikan televisi pun hanya sebatas adzan magrib. Setelah itu TV saya matikan lagi.
ADVERTISEMENT
Entah kenapa menonton TV tidak semenggairahkan seperti dulu, mungkin karena mayoritas konten televisi sekarang cenderung seragam dan kurang dalam kualitas. Sinetron, menjual kesedihan, saling membongkar aib, setingan murahan sana sini, dan konten budak rating lainnya. Entah kenapa seperti itu. Mungkin karena mendewakan rating melulu.
Saran saya kepada industri pertelevisian diluar sana yang mulai terganggu dengan munculnya konten – konten media digital, mulailah berbenah memperbaiki kualitas konten yang diproduksi. Dengan sumber daya yang kalian miliki, saya rasa tidak sulit untuk menciptakan konten yang jauh lebih baik dan lebih mengedukasi. Tingkatkan kualitas dan berhenti jadikan televisi sebagai komoditas. Jangan mengesampingkan nilai guna demi mendapatkan nilai jual. Saluran yang kalian gunakan itu milik publik wahai televisi swasta. Tolong gunakan saluran publik itu sebaik mungkin. Berikan timbal balik pada publik dengan memberikan tontonan yang berkualitas dan mendidik, agar kembali mendapatkan simpati publik. Semoga kalian berbenah. Semoga kalian bisa bertahan lama ya.
ADVERTISEMENT