Konten dari Pengguna

Perdebatan Sengit di Kantor Dukcapil

Afe Erma Telaumbanua
Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Darma Agung.
4 Juni 2024 11:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afe Erma Telaumbanua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berdebat. Foto: TimeImage Production/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berdebat. Foto: TimeImage Production/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Waktu itu, saya mendapat panggilan dari kakak perempuan saya lewat telepon. Dia minta bantu untuk mengurus akta lahir anaknya yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tentu saja, saya dengan senang hati menyanggupi permintaannya itu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, melihat keponakanku yang penuh semangat dan ingin melanjutkan sekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di kampung halaman. Tentu saja saya bantu.
Esok harinya, saya bergegas menuju Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) setempat. Saya berharap semoga pembuatan akta lahir ponakan saya ini cepat selesai karena minggu depannya saya pergi keluar kota.
Sesampainya di sana, ada salah seorang pegawai kantor Dukcapil itu menyambut saya dengan senyuman. Singkat cerita, Ibu itu (pegawai Dukcapil) mempersilakan saya duduk sambil menanyakan “Apa yang bisa kami bantu Pak?”
"Ini Bu, kebetulan keponakan saya telah menyelesaikan pendidikan di SMP dan dia sudah mencoba mendaftar di salah satu sekolah SMA namun berkasnya ditolak karena keponakan saya itu tidak memiliki surat akta kelahiran, makanya saya datang kesini untuk mengurusnya."
ADVERTISEMENT
"Oke Pak, siap kami bantu," jawab ibu pegawai kantor Dukcapil dengan wajah yang begitu ramah. "Mana berkasnya, Pak?"
Tanpa basa-basi saya langsung saja menyerahkan berkas keponakan saya itu yang berisikan fotokopi kartu keluarga, fotokopi kartu tanda penduduk kedua orang tuanya serta fotokopi ijazah SMP dan fotokopi surat Baptisan ponakan saya.
Namun betapa terkejutnya saya, ketika pegawai kantor dukcapil mengatakan bahwa: "ada satu lagi dokumen yang kurang, Pak."
"Apa Bu?" jawab saya sambil geleng-geleng kepala.
"Belum Bapak lampirkan fotokopi surat akta nikah kedua orang tua ponakanmu, Pak."
"Maaf Bu, bukankah dalam pengurusan akta kelahiran hanya memerlukan fotokopi kartu keluarga, fotokopi KTP orang tua dan juga fotokopi ijazah yang bersangkutan jika ada. Kenapa harus ada akta nikah orang tua? Dan bukankah akta nikah orang tua itu dibutuhkan dalam pengurusan Kartu Keluarga?" jawab saya dengan heran.
ADVERTISEMENT
Petugas dukcapil itu pun menjelaskan dengan sabar, “memang benar Pak. Tapi untuk pembuatan akta kelahiran anak, kami membutuhkan akta nikah orang tua sebagai syaratnya dan itu sudah menjadi aturan di sini."
Saya terdiam sejenak dan mencoba mencerna penjelasan tersebut. Namun, saya masih merasa persyaratan itu tidak masuk akal. Dengan tegas, saya pun berkata “Tapi Bu, anak ini lahir dalam pernikahan yang sah. Kenapa harus ada akta nikah orang tuanya? Jika memang seperti itu syaratnya, dari awal dong dimintakan akta nikah itu pada saat ayah dan ibunya mengurus Kartu Keluarga mereka."
Perdebatan pun tak terelakkan, saya dan petugas Dukcapil saling berargumen. Saya dengan tegas mengatakan bahwa syarat itu tidak adil. Justru mempersulit pihak-pihak yang mengurus akta kelahiran.
ADVERTISEMENT
Suasana di kantor Dukcapil pun semakin memanas. Perdebatan kami menarik perhatian banyak orang yang sedang mengurus administrasi kependudukan di sana.
Beberapa menit kemudian, datang kepala bidang dinas kependudukan dan pencatatan sipil setempat. “Ada apa, Pak” ujarnya?
Saya jawab dengan nada yang begitu keras “Saya mau urus akta lahir keponakan saya, Pak. Kenapa diharuskan melampirkan surat akta nikah orang tua ponakan saya ini?"
Dia pun memberikan jawaban yang sama “Itu wajib, Pak”.
"Udahlah, Pak. Bapak dan Ibu bertugas di sini untuk membantu dan mempermudah masyarakat dalam pengurusan administrasi pencatatan sipil. Dengan ada aturan yang seperti ini, bukan semakin memudahkan masyarakat dalam pengurusan akta kelahiran," jawab saya dengan wajah yang terlihat begitu kecewa dan kesal.
ADVERTISEMENT
Tak lama kemudian, pihak pegawai kantor dukcapil memutuskan untuk mengurus akta lahir keponakan saya, tanpa meminta lagi fotokopi akta nikah orang tua keponakan saya.
Sambil menunggu keluarnya akta lahir keponakanku, saya duduk di kursi yang ada di sudut kantor itu sambil berkata dalam hati “Ngeri juga ya aturan di sini”. Beberapa jam kemudian pengurusan akta lahir keponakan saya kelar juga.
Meskipun pada akhirnya akta lahir keponakan saya diurus oleh pegawai kantor Dukcapil, saya tetap berharap bahwa semoga peraturan-peraturan di Dukcapil lebih fleksibel dan sesuai dengan realitas yang diharapkan masyarakat. Setidaknya tidak menyulitkan masyarakat yang mengurus administrasi kependudukan.