Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
PLN: Transparansi atau Ketakutan?
7 Juni 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Afe Erma Telaumbanua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari itu langit mendung, hatiku pun galau karena dompetku isinya lagi kosong. Kawan saya, sebut saja namanya Yuce, mengajak saya dan temanku Linus datang ke kantor PLN terdekat. Alasannya? Tagihan listriknya menunggak.
ADVERTISEMENT
Sebelum pergi ke kantor PLN, kami bertiga mendiskusikan tagihan yang belum dibayar itu. Beberapa menit kemudian tanpa menunggu lama, kami pun bergegas pergi ke kantor PLN.
Sekitar pukul 13.30 WIB, kami pun tiba di kantor PLN, mata saya tertuju pada sebuah tulisan di dinding. “Demi kenyamanan dan ketertiban bersama, dilarang mengambil gambar, foto, video dan audio,” tulisnya dengan tegas.
Saya mengernyitkan dahi sambil memikirkan apa maksud dari tulisan itu di dinding kantor PLN? Apakah kantor PLN ini menyimpan sebuah rahasia? Atau mungkin mereka takut wajah petugasnya yang kelelahan tertangkap kamera?
Yuce, yang mengajak kami ke kantor PLN itu, hanya tertawa dengan suara yang begitu kecil. “Ah, biasa lah,” katanya. “Mereka mungkin takut ada yang merekam dan menyebarkan video petugasnya yang galak.”
ADVERTISEMENT
Kami pun dipersilakan duduk di ruang tunggu. Sambil menunggu pegawai bagian pembayaran tagihan listrik yang sedang istirahat. Kami pun bercerita dan bergurau untuk menghilangkan sedikit rasa capek dan rasa ngantuk.
Jarum jam sudah menunjukkan angka 13.50 WIB, hujan yang begitu deras turun membasahi bumi. Kami bertiga yang ada ruang tunggu merasa kedinginan apalagi ruang itu dipenuhi dengan AC.
Pas pukul 14.00 WIB, staf penerima tamu datang menghampiri kami dan bertanya. “Ada keluhan apa Pak?”
Kami mau cek tagihan listrik, sekaligus mau bayar tagihannya Bu. Kata Yuce. Sontak pun saya bertanya, “Ini sudah jam 14.10 Bu. Jam berapa nanti kami ini dilayani?”
“Bentar lagi Pak, Bapak/Ibu petugas lagi rapat,” jawabnya.
“Oh, iya, Bu,” jawabku.
ADVERTISEMENT
Sambil menunggu pegawai yang melayani kami, saya pun kembali bertanya sama ibu tadi.
“Bu, apa arti tulisan itu di dinding demi kenyamanan bersama dilarang mengambil gambar, foto, video dan audio?”
Petugas itu pun menjawab “Di sini Pak tidak boleh berfoto, merekam video dan audio.”
“Ha, iya ya,” jawab saya. Kami bertiga lanjut cerita lagi dan kembali membahas tulisan itu yang seolah-olah bunyi dari tulisan mengganggu pikiran saya dan kedua teman ku.
Tiba-tiba kawan ku Linus menyuruhku, untuk minta izin sama petugas tadi, agar kami bisa berfoto di ruangan itu. Awalnya saya ragu karena yang namanya aturan tetap aturan.
Dengan berat hati, saya pun minta izin sama ibu petugas. Eh, tahu-tahu diijinkan pula. Wkwk.
ADVERTISEMENT
Aku pun langsung keluarkan HP dari kantong celana jeans ku yang kurang keren itu. Kami bertiga berfoto secara bergiliran.
Setelah Yuce dan Linus berfoto, saatnya giliranku. Saya yang hanya bisa bergaya angkat jempol dan salam dua jari saat berfoto, merasa tidak puas dengan hasil potretnya.
Saya coba membuat gaya baru dengan menunjuk gambar yang ada tulisan larangan tadi. Menurutku gaya itu lebih keren, hehe.
Jarum jam sudah menunjukkan 14.30 WIB. Pegawainya masih rapat. Kebetulan di pintu masuk kantor itu ada sign board “open and close”. Saya pun bilang sama ibu pegawai tadi, “Bagaimana kalau kita close aja ini Bu? Sama saja halnya karena yang datang pun masih belum dilayani,” kataku sambil ketawa.
ADVERTISEMENT
“Jangan Pak,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kami sudah lebih 35 menit disini lho, Bu.”
“Sabar Pak, rapat bentar lagi siap kok.”
Jam 15.00 WIB, datanglah petugas yang melayani pembayaran tagihan tadi. Yuce mengurus tagihannya, sementara saya dan Linus lagi ngobrol.
Tiba-tiba, Yuce bertanya. “Eh, kok tagihan saya malah naik?” dengan nada yang begitu keras. Saya mendekat dan melihat tagihan Yuce. Benar, tagihannya naik drastis. Yuce pun protes kepada petugas PLN.
“Kenapa tagihan saya naik?” tanya Yuce.
“Itu karena ada kenaikan tarif pemakaian arus listrik,” jawab petugas PLN dengan nada yang biasa saja.
“Tapi, kok tagihan gak seperti biasanya, Pak?” protes Yuce.
“Ya, memang sesuai pada pemakaiannya Pak,” jawab petugas PLN.
Yuce semakin kesal. “Sesuai pemakaian? Kok gede kali kenaikannya Pak, padahal tidak ada pemakaian tambahan yang saya pakai di rumah?”
ADVERTISEMENT
“Ya, memang seperti itu,” ujar petugas PLN.
Perdebatan pun terjadi. Yuce berargumen dengan keras, sementara petugas PLN tetap bersikeras dengan apa yang sedang Yuce protes. Saya, yang awalnya hanya mengamati, akhirnya ikut campur.
“Maaf, Pak,” kata saya. “Saya ingin bertanya. Dari mana kita tahu rincian pemakaiannya dan kenapa kenaikan pembayaran tidak seperti biasanya?”
Pegawai PLN pun menjelaskan dan menjawab apa yang saya tanyakan. Lalu saya tanya lagi.
“Tagihannya berapa yang nunggak Pak? Dan berapa bulan tagihan yang belum dibayar?”
PLN menjawab, “Tagihannya Rp 824.000 selama 2 bulan.”
Saya terdiam dan merasa heran, kok bisa ya segede itu, kata saya dalam hati. Padahal kata Yuce tagihannya paling tinggi tiap bulan Rp 30.000.
ADVERTISEMENT
Yuce pun bertanya, “Apa solusinya Pak, agar tagihan saya ini kembali seperti semula?”
“Diganti saja meteran Bapak. Siapa tahu meteran itu sudah mulai rusak. Tapi dengan syarat wajib melunasi dulu tagihan yang belum dibayar,” kata Pak pegawai PLN.
Tanpa berpikir panjang, Yuce pun mengiyakan kata petugas itu. Hujan sudah mulai reda dan kami bertiga pulang.
Dari rangkaian cerita di atas, menurut saya bertanya adalah satu hal penting yang tidak boleh diabaikan. Seperti saya menanyakan arti dari aturan yang tertulis di dinding kantor PLN tadi. Bertanyalah supaya tahu, bertanyalah supaya tidak sesat di jalan dan bertanyalah supaya tidak melanggar aturan.